The Curiosity House #2 The Screaming Statue

Noura Publishing
Chapter #2

#2

“Aku tidak mengerti,” kata Max. “Apa istimewanya si Richbone—Witchstone—siapalah namanya?”

“Anakku Sayang.” Mr. Dumfrey melepas kacamatanya dan memicingkan mata ke arah Max seolah hendak memastikan bahwa dia bukan gadungan. “Pembunuhan atas Mrs. Richstone adalah sensasi besar! Kejahatan abad ini!”

Enam bulan lalu, Rachel Richstone yang kaya raya ditemukan tewas terbunuh dalam kamar tidur di apartemennya di Park Avenue. Kepalanya dipukul tongkat golf milik suaminya. Menurut rumor, wanita itu sempat menjalin hubungan dengan seorang pemburu harta belia dari Australia, Mr. Edmund Snyder, dan sang suami, Manfred Richstone, hilang akal saking cemburunya. Walaupun Manfred bersikeras tidak bersalah, dia ditahan dan segera saja dinyatakan bersalah atas pembunuhan tersebut.

“Menurutku yang Max maksud, Mr. Dumfrey,” Pippa menengahi dengan lembut, “apa hubungannya pembunuhan Mrs. Richstone dengan kita?”

“Semuanya!” jawab Mr. Dumfrey riang. “Masyarakat heboh dan mendambakan informasi sampai sekecil-kecilnya mengenai kasus itu. Kitalah yang akan menjawab rasa penasaran mereka—betul. Akan kita tunjukkan kepada mereka! Bayangkan saja: instalasi lilin baru. Diorama lengkap TKP yang seram mencekam, mulai dari ranjang sampai noda darah. Komponen-komponennya saja sudah menjanjikan status klasik: perempuan cantik kaya raya, Rachel, digetok sampai mati oleh suaminya yang tampan! Kita akan kebanjiran bisnis! Kita akan tenggelam saking suksesnya!”

Thomas akhirnya meletakkan buku dan beralih membaca surat kabar. “Kata Mr. Richstone, dia tidak bersalah,” ujarnya sambil mendongak dari artikel.

Dumfrey melambaikan tangan, seperti mengusir lalat. “Dia tidak mungkin mengaku bersalah, ‘kan?” tepis pria itu. “Dia diancam dihukum mati dengan kursi listrik.”

“Bagaimana, ya?” Pippa tidak pernah menyukai Ruang Patung Lilin, sedangkan Deret Pembunuh adalah tempat yang paling tidak dia sukai di museum. Ruangan kecil berdebu di lantai dua memuat banyak koleksi patung lilin seukuran manusia sungguhan dan boneka model, yang menggambarkan TKP-TKP terkenal dan pembunuhan-pembunuhan keji. Pippa menghindari Deret Pembunuh sebisa mungkin; ketika tidak bisa, dia berjalan cepat-cepat melewati pajangan-pajangan sambil menahan napas, sama seperti ketika melewati kuburan. “Kesannya … keliru.”

Dumfrey menepuk-nepuk bahunya penuh kasih sayang. “Pippa yang Manis dan Budiman,” kata Mr. Dumfrey, seolah anak itu baru lima, bukannya dua belas tahun. “Tiada yang lebih tepat daripada ini. Kita akan melestarikan kenangan Mrs. Richstone Tersayang. Kita akan menjaga rohnya agar tetap hidup!”

Pippa bergidik. Itulah persisnya yang dia khawatirkan. Alangkah menakutkan apabila pada suatu tempat di museum ini, dalam raga patung-patung lilin tersebut, ada roh hidup terperangkap.

“Nah, biar kupikir-pikir ….” Mr. Dumfrey mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari, sebagaimana kebiasaannya ketika sedang memutar otak. “Akan kita ambil dua boneka dari ruang kostum—aku yakin Miss Fitch bersedia menyisihkannya. Kita akan membutuhkan kepala baru, tentu saja ….”

Thomas mengerang. “Kukira kita sudah sepakat. Tidak ada kepala lagi.”

Musim semi lalu, Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey sempat mengalami sejumlah kesialan, dimulai dari pencurian kepala mengerut nan berharga, yang konon adalah relikui peninggalan suku Amazon Kuno. Kutukan Kepala Mengerut menggemparkan seisi kota, terutama ketika beberapa orang ditemukan tewas. Anak-anak terpaksa turun tangan untuk membersihkan nama Mr. Dumfrey sewaktu dia dituduh sebagai pembunuh.

Mr. Dumfrey belakangan dibebaskan. Namun, pencarian pembunuh sebenarnya mengantarkan anak-anak secara langsung ke pelukan Profesor Rattigan. Brilian, kejam, dan baru saja kabur dari penjara, Profesor Rattigan menculik mereka sewaktu kecil untuk dijadikan subjek eksperimennya yang sinting. Sekarang, dia ingin menggunakan anak-anak itu untuk membangun kembali imperiumnya. Mereka hampir saja tidak lolos dan, selama dua bulan terakhir, mereka hidup sambil dibayang-bayangi ketakutan kalau-kalau pria itu kembali. Namun, enam puluh hari lebih sudah berlalu dan masih belum ada tanda-tanda kemunculannya, maka mereka akhirnya mulai merasa tenang.

“Tidak ada kepala mengerut lagi,” ralat Mr. Dumfrey sambil menggoyang-goyangkan jari ke depan wajah Thomas. “Ini lain. Aku harus mengunjungi teman lama kita Eckleberger sekarang juga.”

Lihat selengkapnya