The Curiosity House #2 The Screaming Statue

Noura Publishing
Chapter #3

#3

Freckles menghuni bangunan batu cokelat sempit berlantai tiga dengan fasad kumuh dan setengah lusin tumbuhan cokelat yang layu di undakan depan. Semua kerai jendela tertutup rapat, tapi Max memekik karena merasa melihat wajah jelek menyeringai kepadanya dari lantai dua: rambut hitam berantakan, gigi-gigi kuning bengkok, mulut terbuka seperti hewan yang mengaum.

Mr. Dumfrey mengikuti arah tatapannya.

“Jangan takut, Max,” kata Mr. Dumfrey. “Itu cuma lelucon kecil Herr Eckleberger. Patung, asal kau tahu. Dirancang untuk menjauhkan anak-anak pada hari Halloween, kuduga.”

Max mengerjapkan mata. Mr. Dumfrey benar, tentu saja. Ketika Max memperhatikan lebih saksama, dia melihat bahwa pria di jendela tidak bergerak ataupun berkedip. “Lebih miring daripada Menara Pisa,” gerutu Max. Malu karena mudah sekali dikadali, dia luntang-lantung di belakang sementara yang lain berkumpul di depan pintu. Pada daun pintu, terpampang plakat kuningan kecil bertuliskan Pergi Sana.

Kata-kata itu diulangi ketika Mr. Dumfrey mengangkat kepalannya untuk mengetuk. “Pergi sana!” teriak suara parau yang berlogat kental, alhasil kedengaran seperti Perghi sana.

“Siegfried yang Budiman,” kata Mr. Dumfrey, meninggikan suara supaya terdengar dari balik pintu. “Ini Horatio Dumfrey. Aku membawa serta anak-anak juga.”

Terbukalah lubang intip segi empat. Sepasang mata gelap muncul, dikelilingi oleh banyak sekali garis keriput dan lipatan kulit sampai-sampai terkesan seperti kismis yang ditancapkan di tengah-tengah soufflé gembos.

“Halo, Freckles,” kata Sam ceria. Selain Dumfrey, hanya dia seorang yang cukup tinggi sehingga dapat dilihat oleh pria di balik pintu.

“Dumfrey, ya?” koak pria itu, matanya melirik Dumfrey dan Sam silih berganti.

“Persis,” kata Dumfrey riang.

“Buktikan!” raung pria di balik pintu. “Apa kata kunci rahasianya?” Ucapannya terdengar seperti Apa khata khunci rakhasianya?

Mr. Dumfrey mengernyitkan kening. “Setelah bertahun-tahun ini, Siegfried, tentunya ….”

“Khata khuncinya!”

“Demi Tuhan.” Mr. Dumfrey mulai menepuk-nepuk rompi kotak-kotaknya. “Sudah sedari dulu aku bermaksud mencatatnya ….”

“Coba buku agenda di saku kiri celana Anda,” usul Pippa.

“Apa kataku, Pippa, tentang membaca isi saku orang tanpa izin? Walaupun kali ini kurasa ….” Dari saku mantelnya yang berekor, Mr. Dumfrey mengambil buku kecil bersampul kulit yang—saking penuhnya karena dijejali kertas ekstra, bon kusut, dan carikan catatan macam-macam—terkesan seolah hendak menelan isi pabrik kertas. Begitu Mr. Dumfrey membuka sampul, lusinan carikan kertas melayang ke undakan depan. “Astaganaga,” kata Mr. Dumfrey sambil membalikkan beberapa halaman lagi, alhasil menggugurkan semakin banyak catatan dan kartu nama. “Biar kupikir-pikir. Aku yakin aku menuliskannya entah di mana. Apa kata kuncinya ‘Seperempat galon susu, dua kaleng tuna, dan selusin telur’? Bukan, tunggu. Itu daftar belanja untuk Miss Fitch. Bagaimana dengan ‘pemberitahuan saldo negatif’? Bukan. Sudah pasti bukan. Itu surat dari bankku. Bagaimana dengan,” dia memandangi secarik kertas di tangannya sambil memicingkan mata, “‘musang berkepala dua’?”

“Mendekhati pun tidak!” raung Herr Eckleberger.

Mr. Dumfrey menggaruk-garuk kepala sambil mengernyitkan dahi. “Hmm. Berarti itu bagian dari daftar keinginanku untuk Natal. Nah, biar kupikir-pikir ….”

“Aku kehilangan kesabaran,” kata Herr Eckleberger. Alisnya—besar dan terajut menjadi satu seperti kaus kaki bulu—berkerut di atas mata gelapnya yang berkilat-kilat.

“Sebentar, Kawanku, sebentar,” kata Mr. Dumfrey, masih membolak-balik buku agendanya. “Bukan ‘piton Meksiko’ atau ‘guci perabuan Tiongkok’ atau ‘kol isi’ …?”

“Bukan, bukan, dan bukan.”

“Ini, Mr. Dumfrey.” Pippa telah berlutut untuk meraup kertas-kertas yang terjatuh di undakan. Dumfrey menjejalkan semuanya sembarangan ke dalam saku.

“Anda melewatkan satu,” Max berkata, lalu memungut bon cetak kecil dari semak azalea kusut yang sekarat.

Lihat selengkapnya