The Curiosity House #3: The Fearsome Firebird

Noura Publishing
Chapter #1

1

“Sam!”

Terperanjat gara-gara suara yang menggemuruh di loteng sempit, Sam tak sengaja meremas model kapal Viking kecil berskala sesuai aslinya, alhasil meremukkannya hingga berkeping-keping.

“Luar biasa.” Thomas mengerutkan kening. “Sekarang kita harus menggunakan apa sebagai Pemundur?”

Thomas dan Sam sedang bermain Jebakan Maut, permainan kompleks ciptaan Thomas sendiri yang memanfaatkan motif bergelombang di karpet sebagai papan dan beragam benda pampasan dari museum sebagai pion. Kapal Viking memiliki peran kritis nan penting: kapal mesti diputar sampai berhenti dan, tergantung kepala naganya menghadap ke mana, pemain bisa saja harus mundur beberapa langkah atau bahkan memulai dari awal.

“Maaf.” Sam dengan hati-hati mengambili serpih-serpih kayu dari tangannya dan menumpuknya dengan rapi di karpet. “Aku tidak berniat merusak.”

“SAM!” Goldini sang Pesulap muncul dari balik labirin rak buku yang mendominasi bagian tengah loteng. Dia serupa jack-in-the-box sinting. Pipinya merah padam, sedangkan ujung kumisnya yang melengkung bergetar. “Kalau tidak salah, monster ini milikmu?” Dia menyodorkan Freckles—kucing putih berbulu lebat yang dulunya milik Siegfried Eckleberger sang pematung terkenal—dengan wajah berkerut-kerut jijik seperti sedang memegangi kaus kaki lama yang teramat bau.

“Aduh, tidak.” Sam buru-buru berdiri. Lantai sekejap berguncang di bawah tekanan bobotnya. Sekalipun Sam baru saja berulang tahun ketiga belas dan berbadan sekurus kacang panjang, dia memiliki kemampuan demikian: pagar tangga remuk menjadi serbuk ketika dia pegang, pintu roboh ketika dia dorong. Sebagai anak laki-laki terkuat di dunia, itulah sejumlah efek samping kesaktiannya.

Dalam kurun dua bulan terakhir, Freckles si kucing—dan Sam juga, secara tidak langsung—telah menyulut rasa permusuhan hampir semua penghuni tetap Museum Aneh tapi Nyata Dumfrey gara-gara ulahnya. Kucing itu menggigiti sikat rambut favorit Betty sang Nyonya Janggut sampai hancur, merontokkan bulu-bulunya ke kasur Smalls sang Raksasa tidak sampai sehari setelah Smalls menyatakan bahwa dia alergi parah terhadap bulu kucing, dan mencakar-cakar selendang yang lazimnya disampirkan Caroline dan Quinn, si Kembar Albino, ke pundak mereka selagi tampil di panggung. Ia meneror kakaktua piaraan Mr. Dumfrey, Cornelius. (Cornelius masih memekikkan “Pembunuhan, pembunuhan!” kapan pun Freckles sekadar menjejakkan kaki ke dalam kantor Mr. Dumfrey.) Freckles bahkan sempat mengencingi sandal favorit Danny setelah sang Manusia Kerdil keras-keras membicarakan keunggulan anjing dibandingkan kucing.

“Kali ini,” kata Goldini sambil menegakkan tubuhnya yang setinggi 170 sentimeter, “makhluk buas ini meneror burungku.” Sang pesulap mengacungkan jari pucat ke sangkar, tempat seekor burung merpati mengepak-ngepakkan sayap dengan kalut sambil memandangi Freckles seakan kucing itu mungkin saja melompat dari pelukan Sam dan menerkamnya sekonyong-konyong. Burung tersebut merupakan bagian penting dari trik terbaru Goldini, Incrediballoon. Dalam trik tersebut, Goldini meletuskan sebuah balon dengan jarum jahit panjang dan alhasil menampakkan seekor merpati hidup, atraksi yang niscaya menyenangkan penonton.

“Maafkan aku, Goldini,” kata Sam tulus. Dia tidak pernah mendengar Goldini meninggikan suara sebelum ini. Biasanya, sang pesulap berbicara dengan nada setengah bergumam setengah serak, bahkan ketika di atas panggung. “Akan kupastikan supaya kejadian ini tidak terulang lagi.”

“Awas saja kalau terulang,” kata Goldini sambil mendengus dongkol. “Mana bisa aku mengubah balon menjadi burung kalau burung itu masuk ke sistem pencernaan kucingmu?”

Dengan hati-hati, dengan lembut—masih teringat jelas bagaimana kapal kayu Viking kecil retak di tangannya—Sam menggendong Freckles ke tempatnya yang biasa di atas kasur Sam. Untuk itu, Sam mesti berbelok-belok ke sela-sela beragam barang berantakan yang, seiring berjalannya waktu, mendekam permanen di loteng: rak-rak kayu dan tumpukan laci terbalik, meja-meja berkaki tiga, lemari-lemari rusak, bahkan sebuah kulkas mati.

Itu adalah Minggu siang nan sempurna pada awal September. Semua jendela dibuka sehingga angin sepoi-sepoi membawa masuk bau dari jalanan dekat sana—hot dog dan kacang panggang, minyak oli dan asap knalpot, semerbak toko bunga dan secercah aroma sampah yang belum diambil.

Museum akhir-akhir ini sedang untung. Pertunjukan siang sukses besar. Kursi bertambalan di lantai pertama Odditorium hampir semuanya penuh. Goldini tidak gagap mengerjakan triknya barang sekali pun. Aksi lempar pisau Max, yang kini dia tampilkan dengan mata ditutup, meraih tepuk tangan meriah dari hadirin, bahkan ada yang sampai berdiri. Philippa berhasil membaca semua isi dompet penonton, sampai ke bungkus pepermin Life Savers yang tinggal setengah. Selepas pertunjukan, Pippa dikerumuni sekelompok perempuan lajang yang menyodorkan koin seperempat dolar ke telapak tangannya dan menanyakan kapan serta di mana mereka akan berjumpa calon suami, bahkan setelah Pippa menjelaskan dengan sabar bahwa membaca pikiran dan meramal masa depan merupakan dua disiplin yang berlainan.

Pada saat-saat seperti sekarang, sulit dipercaya bahwa, tidak sampai delapan pekan lalu, museum nyaris saja tutup untuk selamanya. Yang malah lebih sulit dipercaya, Sam, Thomas, Max, dan Pippa hampir kehilangan nyawa di tangan Nicholas Rattigan: ilmuwan, buron, dan monster, yang satu dari sekian banyak kejahatannya adalah membunuh orangtua kandung Sam. Sulit untuk memercayai apa pun selain yang tampak saat ini, yakni hari yang indah dan museum bobrok nan nyaman, yang bagi seluruh penampil sudah sefamilier selop lawas, saking seringnya terinjak-injak sehingga berbentuk persis seperti kaki si pemakai. Bahkan Caroline dan Quinn, si Kembar Albino, sedang damai di dalam harmoni—padahal jarang-jarang—duduk berdampingan, kening mereka bersentuhan, mengepangkan rambut putih panjang satu sama lain dan menyenandungkan Happy Days Are Here Again secara bergantian.

Bagi Sam, kepedihan karena kehilangan orangtua—yang dia tahu menyayanginya semasa mereka masih hidup—diredakan oleh rasa lega karena kini dia tahu pasti bukan dirinyalah yang bersalah atas kematian mereka, sebagaimana yang dia takutkan selama ini. Lagi pula, sekarang setelah dia tahu nama mereka—Priscilla dan Joe—dia bisa betul-betul berduka atas kepergian mereka. Itulah yang Sam lakukan, hingga duka sekadar menyisakan denyut-denyut kebas belaka, seakan hatinya adalah sepatu dan kenangan akan orangtuanya adalah sebutir kerikil yang tersangkut dalam-dalam di sana.

Anehnya, perasaan itu justru membuat nyaman. Karena kehilangan seseorang sama artinya dengan memiliki orang terdekat yang bisa membuat kita merasa kehilangan.

“Sekarang giliran siapa?” tanya Sam kepada Thomas sambil menjatuhkan diri ke karpet. Ronde terakhir dimenangi Thomas. Berkat langkah briliannya dengan menggunakan pena bulu (yang konon dipakai Thomas Jefferson untuk menandatangani Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) untuk menulis ulang aturan sementara, alhasil memungkinkannya untuk mengambil kait perompak Sam dengan pin tentara AS yang bernilai lebih kecil.

Namun, Thomas rupanya sudah bosan dengan permainan itu. Buku mahabesar terbuka di pangkuannya. Sam menangkap judulnya sekilas: Senyawa Kimia dan Terapan Praktisnya. “Lupakan permainan ini,” kata Thomas kesal. “Kita tidak bisa bermain tanpa Pemundur. Kita nyatakan seri saja.”

“Akhirnya,” Max angkat bicara dari pojokan. Dia sedang duduk di kursi berlengan favoritnya—besar dan luar biasa nyaman, terkecuali karena tonjolan pegas yang menyembul di sana sini—sambil memoles pisau-pisaunya. “Kalau aku harus mendengarkan kalian mempertengkarkan aturan permainan lagi, bisa-bisa kuiris telingaku sendiri.”

Sam merasakan wajahnya memanas, sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini kapan pun Max berbicara kepadanya—sekalipun anak perempuan itu jarang mengucapkan yang baik-baik. Sejak Howie si Manusia Burung Hantu, yang memiliki kemampuan menyebalkan memutar kepalanya nan sempurna sampai 180 derajat, muncul kemudian berhenti tiba-tiba (atau, lebih tepatnya, didepak) dari museum, Max malah lebih ketus daripada biasanya. Sam tidak tahu apakah Max malu karena sempat naksir Howie, murka karena Howie mengkhianati mereka, atau masih sedih karena pemuda itu pergi. Sam amat sangat berharap semoga bukan yang terakhir.

“Diam, kalian semua.” Pippa sedang telungkup di sofa, beralaskan selimut rajutan kasar yang konon adalah milik Geronimo. “Aku tidak bisa mendengar apa-apa.” Dia lantas menggapai kenop radio untuk mengeraskan volume.

Lihat selengkapnya