KANTOR MR. DUMFREY HANYA DAPAT diakses dari tangga khusus penampil, yang melingkar seperti per di bagian belakang museum dan berujung di loteng. Seperti biasa, pintu kantornya tertutup, sekalipun dari jarak beberapa meter, Pippa bisa mendengar suara terkekeh Mr. Dumfrey yang menggemuruh di dalam.
“Wah, coba lihat ini,” gumam Mr. Dumfrey. “Sungguh, aku sudah lupa sama sekali … dan Miss Annie Priggs! Betapa cepat waktu berlalu. Manis sekali dia, luar biasa manis. Aku ingin tahu bagaimana jadinya Miss Annie Priggs dan apakah dia berkesempatan tampil solo seperti yang dia inginkan. Barangkali aku sebaiknya … tidak, tidak.”
Kestrel mengetuk sekali dan, tanpa menunggu jawaban, membuka pintu. “Antaran untukmu, Mr. D,” katanya.
Di balik meja, dengan kacamata kecil bundar bertengger di ujung hidung, duduklah Mr. Dumfrey sambil membungkuk ke buku yang saking penuhnya dengan pamflet, foto, dan lembaran kertas sampai-sampai menyerupai akordeon. Mr. Dumfrey serta-merta menutup buku sambil terlompat. Namun, selembar foto menguning terlepas dari sela-sela halaman buku dan melayang-layang ke kaki Pippa. Dia menyambar foto tersebut dan nyaris tercekik.
“Mr. Dumfrey,” kata Pippa. “Apa ini Anda?”
“Coba kulihat,” Max berkata, lalu merebut foto dari tangan Pippa.
Di foto itu, Mr. Dumfrey berdiri di depan tenda sirkus beratap lancip di antara dua pria jangkung ramping: Kestrel dan Langtry, keduanya langsung dapat dikenali, sekalipun wajah Kestrel berubah total berkat senyum lebar menyilaukan, sangat berbeda dengan mimik cemberutnya yang biasa.
Mr. Dumfrey berjanggut gelap, berambut cokelat tua—entah mengapa, Pippa otomatis mengasumsikan bahwa Mr. Dumfrey sedari dulu sudah botak seperti bayi baru lahir—dan, yang paling mencengangkan, berbobot kira-kira tiga puluh kilogram lebih ringan. Sementara satu tangannya terangkat ke depan mata untuk menghalau sinar matahari dan sudut mulutnya terangkat membentuk senyum. Dia hampir-hampir mirip dengan saudara tirinya, Nicholas Rattigan.
Kecuali fakta bahwa Rattigan jarang tersenyum, sebagaimana yang Pippa ketahui. Dan, ketika Rattigan tersenyum, ekspresinya tetap tidak memancarkan humor ataupun kehidupan. Senyum Rattigan adalah senyum seekor ular yang membuka rahang lebar-lebar untuk menelan tikus.
Dumfrey mendorong dirinya ke belakang untuk bangkit dari kursi, kemudian menjulurkan tubuh untuk mengambil foto dari tangan Max sekaligus menyenggol sejumlah pulpen dengan perutnya hingga jatuh. “Ya, ya. Konyol sekali. Mengenang masa lalu, takutnya begitu. Jangan salahkan aku ... sekian banyak teman lama di dekatku ... besar kepala gara-gara kejayaan silam, barangkali ….” Wajah Mr. Dumfrey semerah rambu tanda berhenti.
Mulut Kestrel memipih, alhasil mengurangi ekspresinya yang cemberut. “Dumfrey adalah bintang pertunjukan.”
“Mr. Dumfrey, Anda dulu unjuk kebolehan?” pekik Pippa. Dia pernah melihat Mr. Dumfrey di atas panggung, tentu saja. Pria itu sering ikut naik ke panggung untuk mengumumkan atraksi teranyar di museum—misalkan Jenderal Farnum dan kutu-kutu sirkusnya yang tersohor sedunia, baru-baru ini. Namun, sepengetahuan Pippa, satu-satunya bakat istimewa Mr. Dumfrey adalah mengaburkan kebenaran. Misalkan saja, dia mengklaim bahwa sejumlah boneka yang punggungnya ditempeli sayap serangga adalah sekeluarga peri Irlandia; atau bahwa gagang sapu lama yang dihiasi cangkang kerang dan bulu sejatinya adalah tombak suku asli Polinesia, yang digunakan dalam ritual kurban. Keyakinan melahirkan fakta, Mr. Dumfrey gemar berkata begitu.
“Unjuk kebolehan?” Kestrel menggerakkan rahang, kiri kanan, memindahkan tusuk gigi bolak-balik di mulutnya. Selama tiga minggu dia bekerja di museum, Pippa belum pernah melihatnya tanpa tusuk gigi. Bahkan, ketika makan, Kestrel semata-mata menyisihkan tusuk gigi ke satu sudut mulutnya dan menyuapkan makanan ke sudut satunya lagi. “Di timur Mississippi, tidak ada yang menandingi keahlian Mr. D. Di barat juga, sebenarnya.”
“Tapi ... apa yang Anda lakukan?” tanya Sam, agak kikuk.
“Sekarang tidak penting,” kata Mr. Dumfrey buru-buru. Dia melemparkan tatapan galak ke arah Kestrel, seolah memperingatkannya agar tutup mulut. “Semua sudah menjadi masa lalu.”