PARA PENGUNJUNG MEMBENTUK KERUMUNAN KECIL tepat di luar museum, menunggu diperbolehkan masuk. Di atas pintu, terbentanglah spanduk bercat norak yang mengiklankan Sirkus Kutu Jenderal Farnum yang Tersohor Sedunia dan menggambarkan kutu-kutu berukuran diperbesar yang mengenakan kostum sirkus rumit sedang melompat di trampolin, menunggangi sepeda roda tiga mungil, serta melakukan beragam aksi akrobatik. Tamu-tamu yang antusias mungkin sekali merasa kecewa saat melihat kutu-kutu yang asli—saking kecilnya, sulit untuk melihat di mana saja kutu-kutu berada, apalagi memastikan apakah mereka betul-betul bersalto ke belakang—tetapi Pippa bersyukur atraksi baru tersebut mengalihkan perhatian masyarakat sehingga mereka urung menggubris keajaiban hidup Forty-Third Street, yaitu dirinya sendiri, Thomas, Sam, dan Max.
Meski hanya sebentar, mereka sempat menjadi selebritas—yang tidak disangka-sangka dan, secara umum, juga tidak disukai—dan hampir setiap hari artikel baru mengenai mereka, banyak di antaranya bernada negatif, dimuat di koran-koran. Saat itu, mereka kerap diteriaki dengan ejekan atau dihadiahi bisik-bisik atau sekadar dipelototi kapan pun berkeliaran di jalanan. Namun, saat ini, mereka menyelinap ke jalanan dengan hati plong, tanpa diperhatikan ataupun diusik.
Hari musim gugur itu indah, hangat tetapi segar, sedangkan matahari bertengger tinggi di langit seperti telur matang sempurna. Di seberang jalan, Barney Bamberg sedang membersihkan jendela kedai makanan barunya dengan spons, sementara aroma pastrami, daging sapi asinan, dan sauerkraut terhanyut dari pintu depan yang terbuka. Beragam kunci pas, paku, kunci, dan palu nan berantakan terpajang di etalase Majestic Hardware. Henry, portir siang di Hotel St. Edna, sedang tidur pada jam kerjanya, seperti biasa.
“Hei,” tukas Thomas. “Mau mendengar lelucon?”
“Tidak,” kata Max dan Pippa berbarengan.
Thomas mengabaikan mereka. “Bagaimana cara membuatkan liang lahat untuk mengubur kimiawan?”
Sam merengut. “Jangan sekarang, Thomas. Kau tahu sains membuatku sakit kepala.”
“Ayolah. Tebak saja.”
“Jangan gerecoki dia, Thomas,” ujar Max. Wajah Sam menjadi merah padam sampai-sampai Pippa yakin mukanya akan terbakar sendiri. Sudah jelas bahwa Sam naksir berat kepada Max. Kapan dia akan mengaku? Pippa bertanya-tanya.
“Di-galium saja,” kata Thomas. Ketika tidak ada yang mengatakan apa-apa, dia mendesah. “Galium. Paham?”
Sam mengerang.
“Akan kugali liang lahat untukmu kalau kau tidak tutup mulut,” kata Max sambil memelotot.
“Tidak punya selera humor,” Thomas menggerutu, tetapi langsung bungkam ketika Max mengancam dengan menggerakkan tangan ke sakunya.
Walaupun rasa penasaran akan orangtuanya sontak menggerogoti kapan pun Pippa memikirkan masa lalunya akhir-akhir ini, dia bahagia. Dia bahagia berjalan di sini, di bawah sinar matahari, berdampingan dengan teman-temannya—termasuk Max. Pippa membiarkan pikirannya mengembara dan berkelebat seperti batu yang dipentalkan ke permukaan sungai, mengarungi lautan manusia di Broadway, menyenggol saku-saku dan dompet-dompet. Informasi kini mengalir dengan mudah ke dalam benaknya. Dia bahkan tidak perlu bersusah payah, seolah seisi dunia adalah origami yang lipatan-lipatannya terbuka untuk menampakkan rahasianya kepada Pippa. Pippa bisa melihat permen kenyal leleh melekat di bawah dompet seorang wanita dan roti isi di saku seorang pria; Pippa bisa melihat kotak kartu nama dan lembaran uang kertas, keping-keping recehan, dan pena bermata emas.
Sesekali, dia bahkan bisa menyelinap ke dalam pikiran orang lain. Aneka citra merekah dalam benaknya sekejap saja, seperti lampu kilat kamera yang membekaskan gambar, bentuk dan makna yang meninggalkan impresi singkat. Itu! Sepasang kaus kaki bertambalan yang digantung di tali jemuran. Juga yang itu! Kenangan tentang gadis cilik yang jarinya lengket terkena selai. Ada lagi! Ruang kantor sempit di gedung tinggi kelabu; bau tinta dan kertas. Kesemuanya menggelegak di kepala Pippa dan lantas tenggelam lagi, seperti barang-barang yang hilang dibawa arus.
Kemudian, tiba-tiba saja, meruyaklah sebuah citra baru yang membuat Pippa terkesiap, kehabisan napas seolah dia baru saja terempas ke batu karang. Sebuah pabrik, berpenerangan remang-remang, dan seseorang yang menjerit ... wajah Rattigan, berkerut membentuk senyum kejam ... lengan memiting seorang anak perempuan bermata membelalak ke dadanya ... memiting Pippa ke dadanya ....
Pippa mengeluarkan pekik kesakitan singkat, memutar tubuh, mencari-cari di tengah keramaian.
Seseorang—salah satu dari sekian banyak laki-laki dan perempuan di jalan—hadir di pabrik malam itu, kali terakhir mereka berhadapan dengan Rattigan dan Pippa meyakini dia akan mati.
Namun, keraguan muncul hampir serta-merta di hati Pippa. Dia melihat bahwa tidak ada yang tampak mencurigakan atau bahkan samar-samar dia kenali. Massa di sekitarnya sama saja seperti biasa: pedagang keliling dan pria-pria kantoran yang cemberut, kaum ibu yang menggiring anak kecil, pengunjung teater yang menengadah untuk melihat baliho. Apakah Pippa hanya berkhayal? Mungkin memorinya sendirilah yang muncul ke permukaan—sesekali, sulit membedakan pikirannya sendiri dengan pikiran orang lain, ibarat dua benda lengket yang terkadang menempel satu sama lain.
“Awas.” Seorang pria gendut menyikut Pippa dengan kasar dan tersadarlah Pippa bahwa dia telah berhenti berjalan di tengah trotoar. Dia buru-buru menyusul kawan-kawannya, yang baru saja sampai di belokan.
“Hei.” Sam menunjuk ke seberang jalan, tempat seorang pemuda dengan rambut sewarna jerami yang menyembul dari balik topi sedang berjongkok di atas peti susu terbalik. “Bukankah itu Chubby?”
Ternyata benar. Rambut berantakan, hidung setipis dan sepanjang pensil, serta selera berbusananya yang ganjil mustahil salah dikenali. Hari ini Chubby mengenakan sepatu bot usang, tidak diikat sehingga bagian lidah sepatunya terjulur; kaus kaki garis-garis merah-hijau; celana panjang yang kependekan beberapa inci untuknya; dan sejumlah kemeja yang ditumpuk-tumpuk, beserta topi wol berkelepai. Kesannya seolah Chubby memilih pakaian dengan cara terjun begitu saja ke dalam keranjang cucian.
Mereka menyeberangi jalan, menghindari trem yang melaju. Chubby duduk sambil menumpukan siku ke lutut, dikelilingi oleh sejumlah wadah dan sikat. Di sebelah Chubby, terpampang kardus bertuliskan huruf-huruf hitam pencong yang berbunyi: SEMIR ATAW LAP SEPATU.
“Halo, Leonard,” sapa Pippa manis.
Chubby menatapnya sambil merengut. Sudah bertahun-tahun Chubby menyiksa Pippa menggunakan nama lengkapnya, Philippa, yang dia benci. Namun, Pippa baru-baru ini mengetahui bahwa Chubby terlahir dengan nama Leonard dan tidak membuang-buang waktu untuk sering-sering mengingatkan pemuda itu.
“Sedang apa kau?” tanya Sam sambil mengamat-amati beragam perlengkapan Chubby.
“Kelihatannya aku sedang apa?” ujar Chubby, menggosok hidungnya dengan jari dan membekaskan selarik semir sepatu hitam. “Baca plang ini.” Dia menunjuk tulisannya dengan bangga.
“Tapi, jualan koran bagaimana?” tanya Thomas.
Chubby anak yatim piatu dan bangga akan statusnya itu. Selama bertahun-tahun, dia menguasai semua pojok jalan antara Herald Square dan Forty-Second Street, berjualan koran dan juga mengutip taruhan untuk apa pun mulai dari menang kalahnya Yankees pada pertandingan kandang mendatang hingga jumlah merpati yang bersarang di baliho Pepsi pada waktu tertentu. Dia sempat juga tinggal sebentar bersama sekelompok pencuri kelas teri dan mencari nafkah dengan mencopet.
Namun, setelah Rattigan menculik Chubby dalam rangka mengancam Thomas, Pippa, Sam, dan Max supaya mau bekerja sama dengannya, Chubby bersumpah untuk mengubah haluan.
Chubby melambaikan tangan. “Aku memberikan wilayahku kepada Tallboy,” katanya, mengucapkan nama Tallboy seperti Presiden Roosevelt atau Mickey Mouse, seakan semua orang sudah pasti mengenal nama itu. “Aku bosan berjualan surat kabar tiap hari demi uang receh. Aku bisa mendapatkan penghasilan dua kali lebih banyak di sini, plus aku tidak butuh berdiri seharian.”
“Tidak perlu berdiri seharian,” Pippa meralatnya.
“Sudahlah,” kata Max. “Bicaramu seperti Cabillaud saja.”
“Kabi-apa?” Chubby menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi, menurut kalian bagaimana? Semir sepuluh sen, lap lima sen.” Dia memamerkan sikat kotor kepada mereka.
“Bedanya apa?” tanya Thomas.