Rintik hujan mengetuk kaca jendela, embun merayap perlahan melawan pengaruh ceria dari lampu neon warna-warni gedung-gedung tinggi pengait langit yang melampiaskan amukannya dalam bentuk awan abu-abu bergelombang-gelombang. Asap tipis beraroma gurih mengepul dari untaian panjang mi instan yang kutarik bersama garpu ke dalam mulutku, menyentuh langit-langit tinggi kamarku sekaligus rumahku. Aku makan di atas kasur sekeras batu sungai berseprai biru yang menghadap ke layar tipis hasil evolusi bertahun-tahun televisi. Di sebelahnya ada koridor kecil yang bercabang dua dan mengarah ke dapur juga ke kamar mandi, lalu di sebelahnya lagi ada lemari pakaian dan menara Oak Street—bangunan tengara paling terkenal di wilayah ibu kota sebab siapa yang bisa lupa akan rupa tinggi dan menyerupai bilah pedangnya? Sebenarnya, itu hanyalah sebuah gambar tempel buatan Lyra, kakakku. Gedung itu selalu jadi bahan lamunannya setiap kali salju pertama turun menyapa dunia. Namun, seperti bintang di tengah malam, sejauh apapun tangannya menggapai, ia tidak akan pernah mendapatkannya.
Pikiranku sendiri menerawang orang-orang dan binatang yang lari-lari kecil di trotoar basah melalui mata sayu kelabu, bertanya-tanya apa yang ada di kepala mereka. Wujud mereka sekilas serupa dari atas, payung kelam dan kemeja juga potongan rambut yang mirip, namun nyatanya, manusia kembar pun memiliki perbedaan walau terkesan buram. Para Penyihir yang samar-samar merapalkan mantra agar air menyingkir, Para Peubah Wujud yang mewujud sebagai serigala atau harimau agar orang-orang menyingkir dari lintasan lari mereka, dan Para Penerawang yang meratapi langit dengan mata bewarna cerah elektrik mereka, berharap hujan mereda. Mungkin seperti ini rasanya memiliki penglihatan Tuhan. Semuanya sama sekaligus berbeda dengan cara yang tidak pernah diduga manusia.
Selesai makan, Jane menelponku melalui jam tangan pintarku atau biasa disebut sebagai Watch. Tentu saja ia akan melakukan itu. Kami semua terhubung melalui Watch, yang mana itu juga berarti penerobosan privasi, tapi keefektifitasannya melampaui keinginan pribadi, terutama bagi kami.
“Lynx? Kau serius masih berada di rumah?”
Kabar baiknya, Jane tidak mampu menerawang isi otakku yang sedang memakinya sekarang, hanya saja, Watcher tidak mungkin berdusta. Aku bangkit dan melintasi apartemen sempitku untuk menuju kamar mandi. Belum sempat aku menjawabnya dan telanjang, seseorang mengetuk pintuku. Aku dengar nada ketukannya dan berharap aku salah dengar. Hanya dua orang yang mau mengetuk pintu apartemenku seperti itu; orang tolol dan Jane.
Jane menungguku di luar seperti orang beradab versi dirinya saat aku membuka pintu. Merokok di area dilarang merokok dan sengaja menyingkap tato serigala setengah naganya meski itu berarti menampakkan setengah bagian payudaranya kepada tatapan liar orang-orang. Kepulan pekat asap dari hisapan rokoknya membingkai wajah berbintik tegasnya dan membuat kemilau hijau jernihnya terasa misterius. Rokok itu mencekikku melalui asapnya. Aku berusaha menghalaunya namun tidak berguna.
“Ayolah, Jane!” Aku terbatuk lagi dan Jane terbahak seakan itu adalah hal terlucu yang ia lihat hari ini.
“Kenapa? Kau tidak suka?” Nadanya berubah dingin dan tajam, seperti kepingan salju di tengah bulan Desember. Sekarang, kepulan asap dari rokoknya mengelilingi dirinya bagaikan selendang putih murni yang melilit tubuh atletis dan berlekuk juga jenjangnya. Aku khawatir dalam tiga tahun ke depan ia akan kehilangan seluruh bentuk di badannya akibat rokok.
“Simpan rasa kasihanmu, bung! Aku tidak butuh!”