Randy menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan perlahan. Sesekali ia melirik jam tangan yang ada di tangannya. Pukul 08.20 pagi, sudah setengah jam Randy menunggu di ruang UKS—Unit Kesehatan Sekolah. Sudah setengah jam pula ia mendesis menahan sakit di daerah lutut. Randy melihat kembali luka lebamnya, lalu ia berdecak sebal.
Untuk membunuh bosan, Randy pun memutuskan untuk mendial salah satu nomor temannya. Namun, hingga empat kali panggilan tak kunjung dijawab. Dengan kesal, ia melempar telepon genggamnya di atas ranjang.
“Lo kenapa lagi sih, Ran?!”
Seruan perempuan mengejutkannya dari ambang pintu. Dia adalah Nabila Farah Soraya. Gadis kelas XI-IPA-1 yang terkenal dengan kepintarannya. Gadis berdarah campuran Indonesia-Australia yang menjabat sebagai ketua PMR—Palang Merah Remaja—di sekolahnya. Dengan wajah cantik dan lesung di kedua pipinya membuat banyak kaum Adam yang mengagumi Farah.
Namun, itu semua berbanding terbalik dengan pendapat seorang Randy Anugrah. Menurut Randy, Farah hanyalah seorang murid yang selalu mencari muka di depan semua guru. Seorang gadis yang ambisius dan egois. Kesimpulannya, Randy benci Farah!!!
“Ngapain lo ke sini?” tanya Randy sewot. Tangannya masih asik mengarahkan puntung rokok ke mulutnya.
Farah menghiraukan pertanyaan Randy. Ia lebih memilih untuk merebut puntung rokok tersebut dan segera membuangnya di tong sampah. Hal ini membuat Randy melotot marah, namun ia hanya menghembuskan nafas kasar.
“Lo bisa baca gak sih? ‘DILARANG MEROKOK DI AREA INI!’” ucap Farah kesal sembari menunjuk poster yang tertempel besar di ujung ruangan. “Di sekolah, gak ada tempat bagi perokok.”
Randy memutar bola mata pertanda malas. “Bodo amat.”
Farah menyerah. Ia segera mengambil perlengkapan obat dan berencana membersihkan luka yang terbuka di lutut Randy. Walau pun dengan sedikit paksaan, Randy akhirnya menerima perlakuan Farah.
“Kenapa lo mulu sih yang ngerawat gue? Bosen gue ngeliat muka lo.” celetuk Randy di tengah-tengah proses pengobatan.
“Heh, lo harusnya bersyukur dong! Masih mending gue mau bantuin lo!” sembur Farah tak terima.
“Ya, kan masih ada anggota PMR yang lain. Minta tolong dong sama adek-adek angkatan di bawah lo.”
“Asal lo tau ya, gak ada yang mau ngerawat lo. Mereka pada takut tau gak sih ngeliat lo. Rambut berantakan, baju gak dikancing, Sumpah, lo setiap hari datang ke sekolah ngeliat dandanan lo gak sih?” Farah melirik Randy dari atas hingga bawah. Lalu pandangannya terhenti pada daerah lutut Randy. “Pasti lo habis berantem lagi, kan? Untung kaki lo gak patah.”
“Gak usah sok nyeramahin gue deh, lo bukan nyokap gue.”
Cukup, Farah sudah tak tahan! Dengan kesal Farah menyentuh bagian lebam Randy yang sudah dibersihkan. “Urus sendiri nih kaki lo!”
Tanpa menghiraukan teriakan kesakitan Randy, Farah meninggalkan ruangan UKS dan menutup pintu dengan keras. Lebih baik Farah menjauh dari Randy sebelum emosinya tak terkontrol. Jika sudah berkaitan dengan Randy, Farah memang selalu makan hati. Ada seja kelakuan Randy yang membuatnya geram.
Farah dan Randy memang tak dapat disatukan. Bagaikan air dan minyak. Walaupun berada di satu wadah yang sama, mereka tetap tak bisa bercampur. Seluruh siswa SMA Djuwita-pun tau hal itu. Sama halnya dengan seorang lelaki berseragam olahraga yang tengah berjalan menghampiri Farah.
Sedikit tentangnya; dia adalah Zahwana Zidane. Ketua ekskul mading yang menjadi idolanya Djuwita. Tak hanya mading, Zidane juga aktif dalam berbagai ekskul lainnya, seperti basket dan photography. Mengenai hubungannya dengan Farah, keduanya terlihat akrab sejak kecil. Sangking akrabnya, sudah seperti adik kakak sendiri.
“Gue tebak, pasti soal Randy yang selalu lo ceritain ke gue, kan?” tanya Zidane membenarkan semuanya. “Kenapa lagi sih?”
“Biasalah, Dane, berulah lagi.” Jawab Farah malas sembari berjalan.
Zidane mengikuti langkah Farah. “Lo terlalu perhatian kalau udah urusan Randy. Jangan-jangan... lo suka lagi sama Randy?”
Dengan spontan, Farah memelototi Zidane. “Gue gak akan pernah suka sama tuh bocah. That’s impossible!”
“Ya, gue harap juga gitu sih.” ucap Zidane dengan mengecilkan suaranya. “BTW, minggu depan giliran ekskul lo yang ngisi mading. Bisa, kan?”
“Bisa, ntar gue kabarin lagi.” saat sudah berada di depan pintu perpustakaaan, Farah memberhentikan langkahnya. “Thanks udah ngingetin. Gue masuk dulu ya.”
“Siip.” jawab Zidane dengan ragu-ragu. “Em... Far, lo udah makan belum? Ke kantin bareng yuk, gue traktir.” karena dihadiahi kerutan dahi oleh Farah, dengan cepat Zidane menyinggahi. “Gak usah mikir yang aneh-aneh deh. Muka lo tuh udah kaya orang gak makan seminggu. Liat deh badan lo, makin kurus, kan? Otak itu butuh banyak asupan untuk berpikir keras.” ucap Zidane menyentik kepala Farah pelan.