The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #2

Chapter 2: WHEN YOU SILENT'S

Randy mengusap wajahnya kasar pertanda frustasi. Sudah setengah jam Randy berkutat dengan buku dan pena. Memang baru setengah jam, namun Randy merasa waktu berjalan sudah begitu lamanya. Dan sayangnya... tugas yang Randy buat belum selesai juga. Randy bingung, mengapa soal yang begitu mudahnya tak bisa ia kerjakan? Padahal biasanya, jika melihat satu contoh soal pun, ia bisa mengerjakan soal yang sama berkali-kali lipat. Entahlah, mungkin saat ini Randy memang benar-benar sedang error.

Tak ingin bertambah pusing, Randy memilih untuk menutup bukunya. Biar sajalah Pak Yono marah, Randy benar-benar pasrah saat ini. Ingat Pak Yono, kan? Iya, Pak Yono yang itu. Pak Yono guru matematika yang galak itu loh. Yang kalau marah selalu saja berdampak pada nilai. Jika dipikir-pikir, Randy adalah murid yang paling sering dipotong nilainya oleh Pak Yono—dan hal itu sudah biasa bagi Randy. Kesimpulannya; Randy hanya perlu menutup buku dan tak lagi memikirkan soal yang diberi Pak Yono.

Randy beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menyusuri beberapa rak buku yang tertata rapi di setiap lorong. Jangan heran, saat ini Randy memang berada di perpustakaan kota. Entahlah mengapa Randy memilih perpustakaan kota ini sebagai tempat pengerjaan tugasnya—ya, walaupun tidak selesai sih. Namun ia merasa bosan saja dengan suasana rumah.

Berbeda dengan anak-anak remaja lainnya yang akan menjadikan caffe sebagai tempat nongkrong, Randy lebih memilih tempat yang sunyi dan tenang untuk melakukan suatu aktifitas. Seperti saat ini contohnya, perpustakaan kota menjadi pilihan Randy. Tak menutupi kemungkinan jika Randy juga berkumpul di tempat keramaian, pasalnya ia juga mempunyai teman se-geng yang memiliki tipe tempat berbeda seperti Randy.

Oke, balik lagi ke topik perpustakaan. Jika boleh jujur, Randy memang tak sefanatik itu dengan buku hingga memilih perpustakaan kota, namun perpustakaan ini merupakan tempat terdekat dari rumah Randy. Dan menurut Randy, perpustakaan merupakan salah satu tempat yang memenuhi kriteria Randy.

Dengan teliti, Randy mengamati setiap judul buku yang memiliki cover menarik. Terdapat buku-buku komik yang sudah usang berjejer di rak buku yang berada di hadapan Randy. Kedua mata Randy tertuju pada komik yang berada di rak teratas. Komik ... yang merupakan komik legenda sepanjang tahun ....

Tanpa pikir panjang, tangan Randy menggapai-gapai bermaksud untuk mengambilnya. Jarang Randy menjumpai komik ... ini. Bagi pecinta komik sejati, sudah jelas menjumpai komik tersebut merupakan suatu kebanggan tersendiri. Sebenarnya, Randy sedikit terkkejut. Ia merasa heran saja, mengapa jenis komik yang dicap legenda seperti ini bisa ada di perpustakaan kota? Entahlah, yang jelas Randy hanya ingin meminjam dan membawa komik tersebut pulang.

Karena tak berhasil, Randy menjinjitkan kakinya. Ia berusaha meraih komik ... yang memang diletakkan di ujung rak atas. Randy menggerutu kesal. Lagi-lagi, ia tak berhasil mengambilnya. Randy jadi beranggapa; komik ini memang sengaja diletakkan di tempat tersembunyi—agar tak dilihat orang lain, mungkin. Apapun itu alasannya, Randy tak putus asa.

Mencoba cara lain, Randy mengambil ancang-ancang. Ia bermaksud untuk melompat kecil demi komik yang ia idam-idamkan. Lompatan pertama, masih belum berhasil. Lompatan kedua, kurang sedikit lagi. Bosan dengan kegagalan, akhirnya Randy melompat dengan sekuat tenaga. Randy harus tersenyum puas karena komik yang berhasil ia dapatkan. Namun, Randy juga merasa harus memasang wajah melongo karena rak buku yang berada di hadapannya perlahan-lahan jatuh dan mengakibatkan tiga rak buku di sebelahnya ikut terjatuh. Dan lebih menyebalkannya lagi, Randy melihat adanya sosok Farah di depan pintu masuk ruangan. Baiklah, ia sedang dalam masalah sekarang! Tambahan, mau ditaruh dimana muka Randy nanti???

***

Aldo memberhentikan motornya di depan rumah Farah. Tanpa pikir panjang, Farah pun turun dari motor yang baru pertama kali ia naiki. Jika diingat-ingat, memang benar. Ini pertama kalinya Farah menaiki motor Aldo—yang notabene-nya sebagai partner Farah sendiri.

Biasanya, jika ada sesuatu yang harus diselesaikan bersama, baik dari pihak Farah maupun Aldo , mereka sama-sama sepakat untuk berangkat terpisah. Dan biasanya, Zidane lah yang akan mengantarkan Farah ke tempat yang sebelumnya sudah ditentukan. Namun, untuk hari ini Farah juga sedikit terkejut saat satu pesan dari Aldo masuk ke telepon gengggamnya. 

Far, entar berangkatnya bareng aja ya? Gue jemput sekitar jam 2-an

Mari kita deskripsikan; singkat, padat dan jelas. Satu pesan aneh yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Karena menurut Farah, isi pesan itu sendiri bukanlah sebuah pertanyaan. Melainkan berisi perintah dan penegasan untuk Farah. Kejanggalan ini bukan cuma sekali. Entahlah, Aldo memang sedikit tak terdeteksi belakangan ini.

“Far, gue gak diajak masuk nih?” tanya Aldo membuyarkan lamunan Farah. 

“Hah?” tanya Farah terkejut.

“Maksud gue, gue gak diajak main ke rumah lo?” ulang Aldo dengan memperjelas setiap kata.

“Em..., buat apa?”

“Main-main doang sih. Lagian gue belum pernah main ke rumah lo, kan? Jadi sekalian aja hari ini. Lagipula, ini juga baru jam berapa, gak terlalu sore.”

“Eh, itu...” Farah sibuk merangkai alasan-alasan yang logis dibenaknya. “Apa tuh..., eh, gini loh...”

Aldo tersenyum miris. “Ya udah, kapan-kapan aja kalau gitu. “

“Gak gitu maksudnya, Al.” sanggah Farah dengan cepat tak mengharapkan adanya kesalah pahaman.

“Iya, ngerti-ngerti.” ucap Aldo penuh makna. Tangannya memasang kembali helm sport berwarna dongker yang matching dengan motornya. “Jangan lupa ya, besok kita masih harus ngehias madingnya. Gue duluan ya..”

Farah mengangguk ragu. Lalu ekor matanya mengikuti kepergian Aldo hingga berbelok di persimpangan jalan. Bukan maksud Farah untuk menolak tawaran Aldo untuk main ke rumah. Lagipula Ibunya memang sedang masak makanan spesial hari ini. Kepiting asam pedas yang merupakan makanan kesukaan Farah. Jika Aldo jadi main ke rumahnya, sudah pasti Farah akan mengajaknya makan bersama. Ah, sudahlah. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. 

Berusaha tak memikirkan lagi, Farah pun berjalan memasuki rumah. Tanpa sengaja, Farah melihat Zidane yang sedang asik memainkan gitarnya. Farah jadi teringat, sudah lama Zidane tak memainkan gitar hitamkesayangannya tersebut. Gitar yang diberikan saat Zidane berumur tujuh belas tahun. Hadiah ulang tahun terbaik yang pernah Zidane dapatkan. Gitar dari sang Mama.

Seketika Farah terhenyak. Benar juga, mengapa Farah tak memberikan sebagian dari rumahnya untuk Zidane? Farah yakin, Zidane pasti akan senang.

Tanpa pikir panjang, Farah berlari kecil menuju dapur. Menyeleksi tempat bekal dari lemari piring, lalu pilihannya jatuh pada tempat bekal berukuran sedang dengan motif dedaunan. Diisinya kepiting asam pedas ke dalam ttempat bekal tersebut. Masih hangat, dan itu info bagus untuk Farah.

Setelah dirasa semua sudah siap, Farah beranjak meninggalkan dapur. Berpamitan pada Ibunya dan segera melangkahkan kaki ke rumah Zidane yang hanya berjarak sepuluh langkah dari rumahnya. Disana, Farah melihat Zidane yang sedang duduk di kursi taman. Taman yang dulu sering dijadikan Farah dan Zidane sebagai tempat bermain. Farah ttak pernah lupa bagaimana serunya saat kecil dulu. Tertawa bergembira tanpa memikirkan beban masalah. Jika boleh jujur, Farah jadi rindu masa-masa kecilnya dulu. Msa-masa yang tak akan pernah terulang kembali.

Saat ini, Farah bisa merasakan kenangan yang sama. Entahlah. Fakta bahwa ia akan bermain di rumah Zidane membuatnya tersenyum. Lagipula Farah memang sudah lama tak menginjakkan kaki di rumah Zidane. Hitung-hitung, ini bisa mendekatkan antara Farah dan Zidane lagi. 

“Zidane!” sapa Farah semangat membuat yang dipanggil menoleh kaget. “Kenapa? Kok muka lo serius banget?”

“Enggak papa. Bukannya lo ke perpustakaan kota ya? Gak jadi?” tanya Zidane yang masih belum percaya. Bagaimana tidak kaget, ini Farah loh! Farah yang dari kemarin tidak bisa Zidane jumpai. Farah yang belakangan ini sibuk itu loh. Sangking sibuknya, jika ingin bertemu, harus diberi jadwal terlebih dahulu karena banyaknya aktivitas.

“Udah kok. Bentaran doang, soalnya di perpus ada insiden. Bayangin aja, gue baru masuk dan perpusnya langsung tutup. Gue sama Aldo diusir coba. Ngeselin banget, kan?” gerutu Farah kesal sembari mengingat-ingat kejadian siang tadi. Kejadian antara perpus, komik, rak buku, ...dan Randy!

“Loh, kok bisa gitu?” tanya Zidane tak mengerti. “Langsung tutup gimana maksudnya?”

“Udahlah, lupain aja.” Farah menyanggah fakta bahwa Randy lah penyebab semuanya. 

Lihat selengkapnya