Randy mendengus malas saat melihat mobil putih yang terparkir rapi di garasi rumahnya. Mobil dengan nomor plat 0121 milik sang papa yang sebenarnya tak harus berada di sini, melainkan di kantor perusahaan miliknya—mengingat sang papa yang tak pernah pulang awal. Niatnya yang ingin cepat pulang ke rumah, sedikit disesali saatt melihat mobil tersebut.
Tak peduli, Randy melangkah dengan santai. Membuka pintu dan masuk tanpa menutup pintunya kembali. Biarkan saja kucing atau apapun itu masuk, Randy memang sengaja. Ia berjalan menuju dapur, berusaha untuk meminum minuman kaleng yang berada di kulkas. Belum sempat Randy meneguknya, terdengar suara yang ia rasa dari arah ruang keluarga. Huh, suara itu lagi.
“Tumben jam segini udah pulang, Ran. Biasanya nongkrong dulu bareng temen-temenmu yang berandal itu.”
Randy tak menjawab sindiran Papanya itu. Ia lebih memilih untuk mengambil tas dan segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sungguh, Randy semalas itu! Masih ada kesibukan lain yang harus ia kerjakan. Dan kesibukan itu lebih bermanfaat dibandingkan pembicaraan antara anak dan Papa ini.
Samar-samar, ia masih mendengar suara Papanya. Hingga saat Randy telah sampai di kamar dan menutup pintu, Papanya tak henti berbicara. Tak terdengar jelas memang, tapi Randy masih bisa menangkap inti pembicaraan sang Papa.
Setelah mengganti baju, Randy kembali mengambil kunci motornya yang berada di atas meja. Segera keluar dari kamar dan berjalan ke garasi dimana ia memarkirkan motornya—tepat di sebelah mobil sang Papa.
“Sabtu depan mereka datang. Jadi di hari itu kamu kosongin jadwal kamu. Kamu harus ikut Papa, Papa mau kenalin kamu ke rekan kerja Papa.” Erlangga—Papa Randy—masih terus berbicara. Menyampaikan keinginannya yang harus disetujui oleh anaknya semata wayangnya tersebut.
Randy semakin mempercepatkan langkahnya. Berusaha mengabaikan dan tak menoleh sedikitpun pada sang Papa yang kini tengah duduk di sofa sembari memperhatikan dirinya turun. Sempat terdengar teguran dari Papanya saat Randy menutup pintu dengan keras.
Bodo amat, pikir Randy.
Tangan Randy meraih helm yang berada di atas motornya. Untuk meredam emosi, ia sempat menendang ban mobil sang Papa. Harap-harap dalam hati ban tersebut akan bocor. Merasa telah membuang-buang waktu dan tenaga, Randy mengalihkan perhatian dengan memakai helm dan memasang safebelt demi keselamatan. Setelah dirasa nyaman, ia pun menaiki motornya.
Sejenak Randy berpikir. Ia melirik kertas kecil yang digenggamnya. Kertas yang berisikan alamat suatu tempat yang akan menjadi tujuan Randy selanjutnya. Baiklah, Randy siap saat ini.
***
Dengan terburu-buru, Melody memasukkan semua peralatan perangnya—buku, alat tulis dan kawan-kawan—ke dalam tas tanpa peduli nasib barang tersebut di tasnya nanti. Entah akan rusak, terlipat, atau bagaimana, Melody tak memikirkan itu. Yang jelas, ini harus cepat saat ini. Jika tidak, ia pasti akan menyesal. Apapun hasilnya nanti, setidaknya Melody telah mencoba, bukan?
Setelah semua sudah masuk ke dalam tas mungil berwarna hitam-biru miliknya, ia segera beranjak keluar kelas. Menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok berperawakan tinggi dengan rambut yang sedikit ikal.
Disana, Melody melihatnya, sedang menunduk seperti sibuk dengan sesuatu. Dari mana pun sudut pandang melihat Zidane, ia tetap tampan. Tersenyum sekilas, Melody mengejar Zidane yang berjalan tak jauh dari kelasnya berada. Melody tebak, sepertinya Zidane juga baru saja berencana untuk pulang. Waktu yang tepat untuk Melody.
“Hai, Zidane!” sapa Melody saat ini telah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Zidane. Sedikit sulit memang untuk menerobos lautan manusia yang memisahi antara keduanya. Wajar saja, karena saat ini memang jamnya pulang sekolah.
“Oh, hei.” balas Zidane yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggam miliknya. Walaupun jemari Zidane fokus mengetik, namun kaki Zidane tak kalah cepat melangkah.
‘Far, lo lagi dimana?’
‘Lo ada di rumah, kan?’
‘Gue mampir ke rumah lo, ya? Sekalian gue bawain kue Bika Ambon kesukaan lo.’
Selesai, Zidane sudah mengabari Farah. Memang tak dibalas ataupun dibaca sih. Hanya saja, menurut Zidane itu saja sudah cukup. Lagipula, pasti Farah juga akan membuka chatnya meski itu dalam kurun waktu beberapa jam. Atau hari? Entahlah, Zidane tidak yakin.
Bagi Zidane, ini hanyalah masalah waktu. Terkadang... memang terdapat beberapa hal yang hanya bisa dijawab oleh waktu. Dan kali ini, Zidane berharap waktu berpihak padanya.
“Jadi, lo bisa, kan?” tanya Melody membuat Zidane tersadar.
“Eh, sorry, gimana tadi, Mel?”
Melody mengernyit tak senang. “Lo gak dengerin gue ya?”
“Bukan gitu. Tau kan disini rame banget, suara lo kecil, jadi gue rada gak jelas.” alibi Zidane berusaha serasional mungkin. Salah Zidane juga sih malah asik dengan telepon genggamnya sendiri.
Melody menghela napas sebelum mengulangi pernyataannya, “Jadi gini, lo ingat kan tugas biologi yang tadi Mister Fino kasih?” Melody berhenti untuk melihatt tanggapan Zidane. Dan ia kembali meneruskan penjelasannya saat Zidane telah mengangguk sebagai isyarat jawaban—lagipula, siapa juga yang bisa melupakan tugas yang belum ada 12 jam diberikan itu? “Nah, bagus karena lo inget. Gue tau tugas itu harus dikumpul minggu depan, masih lama emang. Tapi lo tau gue kan? Gue gak suka yang namanya nunda-nunda pekerjaan. I mean, lebih cepat lebih baik.”
Zidane menyetujui prinsip Melody. “Ya, lo bener.”
“Sayangnya, gue kurang ngerti sama soal-soal itu. Soal-soal dari bab baru, yang gak gue ikutin dari awal Mister Fino jelasin karena gue sakit—“
“Oh, gue tau!” potong Zidane heboh. “Yang katanya sakit maag lo itu kambuh, kan? Yang terus lo pingsan dan langsung dibawa ke UKS itu, kan? Lo sih, Mel, gak dengerin kata Farah. Harusnya lo sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah—“ melihat ekspresi Melody yang menyipitkan mata, Zidane tersadar bahwa ia salah memilih topik pembicaraan. “Sorry, lo bisa lanjut.”
“Jadi, gue rasa, gue butuh bantuan seseorang. Butuh banget karena serius, gue nge-stuck parah sama soal itu. Tapi sayangnya, temen-temen gue gak ada yang sempet hari ini. Terpaksa deh, gue ngerepotin lo lagi. Gue minta bantuan lo ya, Dane? Gak papa kan… kalau gue datang ke rumah hari ini? Lo bisa, kan?”
“Eh, gimana ya…” jawaban Zidane membuat ekspresi Melody yang tadinya berbinar memancarkan puppy eyes berubah menjadi murung. Yah, Melody seharusnya tidak perlu kaget dengan reaksi yang diberikan Zidane. Namun, entah mengapa, rasanya sakit juga ya.
Zidane kikuk. “Sorry banget nih, Mel. Kayanya gue gak bisa deh. Gue ada janji yang lain hari ini.” Tiga detik berlalu, dan Melody masih dalam kebungkamannya. “Tapi…, kalau besok, gue usahain bisa kok.”
Meski akan terlihat aneh, Melody tetap memaksakan senyumannya. “It’s okay, Dane. Maybe next time.” tipikal Melody yang memakai bahasa asing jika dalam keadaan berbohong.
Akhirnya. Zidane bernapas lega. Terlalu keras sebenarnya hingga sampai ke telinganya Melody. Syukurlah, Melody bisa menerima alasannya. Bicara soal alasan, Zidane sama sekali tak menambahkan bumbu kebohongan ke dalam alasan itu. Ia memang sungguh-sungguh berjanji—meskipun berjanji pada dirinya sendiri, sih—untuk mengecek keadaan Farah.
Janjinya sederhana; seperti datang ke rumah Farah, lalu menanyakan kondisi Farah (atau mungkin juga bisa meyinggung soal kejadian yang menghebohkan sekolah tersebut—karena serius, Zidane penasaran!), menghibur Farah dengan memberikannya Bika Ambon (karena belakangan ini Farah sedikit terobsesi dengan kue dari Medan itu), dan ditutup dengan pulang ke rumah serta malamnya yang sibuk membalas chat dari Farah. Wah, Zidane tak pernah merasa sekeren ini sebelumnya.
“Ya udah, gue duluan ya, Mel.” ucap Zidane lalu segera melangkah menuju parkiran. Meninggalkan Melody yang hanya bergeming.