Zidane mengernyit heran saat melihat satu buah motor terparkir di halaman rumah Farah. Motor yang tak asing di mata Zidane. Ia rasa, ia seperti pernah melihat motor berwarna abu-abu perak tersebut. Hanya saja, entahlah dimana—atau mungkin hanya rasa penasaran Zidane saja?
Ketika Zidane pulang sekitar lima belas menit yang lalu, ia sama sekali tak melihat adanya motor asing di halaman rumah Farah. Hal itu membuat Zidane berspekulasi bahwa Farah sedang tidak dikunjungi tamu. Tapi lihat saja sekarang, hanya ditinggal untuk mengganti pakaian saja, ia sudah kecurian start. Zidane tau, seharusnya ia gerak cepat.
Zidane memandang kotak kue yang digenggamnya. Hanya berisi kue Bika Ambon memang, bukan hal yang se-istimewa cincin berlian atau sebagainya. Tapi Zidane merasa, ia harus memberikan kotak kue tersebut. Lagipula, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri—ya, janji konyol itu. Janji yang membuat ia menolak permintaan Melody dan mem-pending latihan basketnya. Dan sekarang, ia berniat untuk mengingkari janjinya? Huh, tentu saja Zidane bukan tipikal cowok seperti itu.
Sudah cukup Zidane berdiam diri. Kali ini, saatnya Zidane bertindak. Kali ini, saatnya Zidane menulis alur hidupnya sendiri. Kali ini, ups… tunggu! Zidane mengerjap sekali lagi. Mengecek mata dan memastikan ia tak salah melihat. Di motor tersebut, terdapat plat kendaraan bernomor 2292 dengan nama Randy.
Randy? Hhmm, ada satu orang bernaman Randy yang Zidane kenal. Randy Anugrah, jika Zidane tidak salah, ia bersekolah di sekolah yang sama dengan Zidane. Jika Randy yang dimaksud benar adalah Randy Anugrah, berarti Randy yang ini juga sama dengan Randy yang dibicarakan Farah. Randy dan segala hal tentang UKS.
Jangan-jangan…
Tanpa berpikir ulang, Zidane melangkahkan kakinya menuju rumah Farah. Sedikit berlari agar mepersingkat waktu. Ia memencet bel beberapa kali dengan tak sabar. Memencet bel secara beruntun membuat suara gaduh dari dalam.
Pintu terbukalah yang membuat tangan Zidane berhenti bermain dengan bel rumah tersebut. Zidane melihat Farah membuka pintu, dengan pakaian santai sembari mengelus-elus jidatnya. Itu…, bukan karena Zidane, kan?
“Zidane?” Farah terlihat terkejut dan heran dengan kadatangan Zidane. Sadar benar itu adalah Zidane, ia segera melangkah keluar teras dan menutup pintu rumahnya—berharap cowok dengan perawakan tinggi tersebut belum sempat melihat ke dalam rumahnya.
Zidane tersenyum canggung. “Hai.”
“Hhhmm, ada apa, Dane?”
“Gue tebak, pasti lo belum ngecek chat gue, kan?”
Farah sempat mengernyit sebelum membuka room chat dari Zidane. “Oh, iya, sorry deh. Tadi gue aktifin mode silents, jadi gak denger notif masuk.”
“Gak papa.” Zidane menyodorkan kotak kue yang langsung disambut oleh Farah. “Bika Ambon, makanan yang baru masuk ke list favorit lo.”
Farah membuka kotak kue berwarna maroon tersebut. Mendapati beberapa potong kue Bika Ambon dengan warna kuning mentega yang sukses menggugah selera Farah. “Thanks, Dane. Lo tau aja, hehehe.”
“Jadi, gimana keadaan lo?” Tanya Zidane berhati-hati. Berusaha tak menyentuh topic yang mungkin membuat Farah tidak enak. “Tadi lo gak masuk kelas. Malah ada Claudia sama Angel yang ngambilin tas lo.”
Farah berdehem pelan, sekadar untuk membasahi tenggorokan. “Yah, tadi gue izin untuk pulang duluan. Gue rada pusing gitu, gak enak badan. Tapi, its okay, I’m fine right now.”
Zidane terdiam sebentar, sibuk memperhatikan wajah Farah yang terlihat begitu enggan. “Kalau lo butuh sesuatu, lo tau cara ngehubungi gue, kan?”
“Pasti!” Farah mengacungkan dua jempolnya. “Dan sekarang, kayanya gue mau istirahat dulu deh.”
Zidane mengangguk. Tangan kanannya terulur untuk mengacak rambut Farah. “ Ya udah, jangan lupa dimakan ya, berdoa dulu dan cuci tangan.”
“Siap…” Farah sedikit memberenggut dan merapikan rambutnya kembali. Menatap kepergian Zidane yang melambaikan tangannya kepada Farah. Dirinya hanya membalas dengan senyuman, melirik kotak kue yang diberikan Zidane, lalu kembali memusatkan pandangan pada Zidane yang kini telah berada di pekarangan rumahnya.
Setelah dirasa Zidane sudah masuk ke dalam rumahnya dan tak lagi terdeteksi di mata Farah, ia pun memutuskan untuk kembali menuju ruang tamu. Sedikit terkejut saat melihat Randy tengah berdiri di ambang pintu sembari memegang toples berisikan keripik kentang pedas.
“Siapa?” ekspresi santai Randy memakan keripik kentang sehingga menimbulkan bunyi kriuk-kriuk dari mulutnya, berbanding terbalik dengan ekspresi Farah yang membelalakkan mata.
Farah menggelang kaku. “Bukan, bukan siapa-siapa.”
Belum sempat Randy berkomentar, ia sudah lebih dulu digiring Farah menuju ruang tamu. Toples yang berada di tangan Randy, direbut oleh Farah lalu menaruhnya di atas meja. Sebagai gantinya, Farah memberikan kunci motor dan helm kepada Randy.
“Oke, saatnya lo pulang.” ujar Farah. Lagi-lagi menggiringRandy hingga sampai di teras rumah.
“Lo ngusir gue?” tanya Randy sedikit sewot.
“Enggak kok. Gue gak ngusir lo.”
“Terus?”
Farah mendengus. Ia tak lupa kata pepatah; “Tamu adalah raja.” Ia juga tak lupa dengan perkataan Ibunya—yang ngomong-ngomong, baru saja diucapkan 10 menit yang lalu, “Sebagai tuan rumah, kita harus menyambut tamu dengan baik, Farah. Udah sana, buatin minum.”
Tapi serius, tanpa bermaksud terdengar seperti tak berterima kasih, sampai kapan Randy mau disini? Sampai kapan Randy terus-terusan menghabisi cemilan Farah yang harusnya untuk stock selama sebulan? Sampai kapan Randy... ah, entahlah, yang laki-laki ini lakukan hanya mengunyah dan mengganti siaran televisi.
“Emangnya, masih ada yang perlu lo sampein lagi ya?” tanya Farah memastikan.