The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #6

Chapter 6: WHEN YOU START'S

Melody memperhatikan kembali penampilannya di depan cermin. Tangan kanannya menyibak pelan poni yang sedikit mengganggu pendangan Melody. Tak ketinggalan, ia memoleskan liptint pada bibirnya agar tak kentara pucat. Dasinya yang sedikit miringpun, dirapikan kembali. Mari kita lihat; rambut oke, ceklis. Wajah oke, ceklis. Seragamnya juga sudah bagus, ceklis. Baiklah, Melody siap untuk berangkat sekolah pagi ini.

Kaki yang dilapisi sepatu Nike hitam-putih miliknya, ia langkahkan menuju meja makan. Di sana sudah terdapat Mama dan Papanya yang sedang menyantap sarapan. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng balado dengan telur mata sapi setengah matang kesukaan Melody. Dilengkapi dengan susu putih hangat sebagai penambah energi.“

Pagi, Ma, Pa.” sapa Melody riang. Ia menarik salah satu kursi dan menempatinya dengan nyaman.“

Pagi, sayang.” balas Mama Melody.“

Hari ini ada kegiatan apa di sekolah?” tanya sang Papa dengan tangan yang tak lepas dari koran.“

Biasa, Pa, gak ada yang spesial. Belajar, praktek, ulangan.” jawab Melody sembari menyantap sarapannya. “Gitu-gitu doang.”

Hanyamembutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk menghabiskan sarapannya, Melody segera berpamitan dengan kedua orang tuanya. Menyalimi tangan Mama dan Papa serta tak lupa membubuhkan ciuman singkat di pipi. Setelah berpamitan, Melody beranjak menuju garasi mobil. Mang Ujang sudah stay di kursi pengemudi saat Melody memasuki mobil. Selama dirinya belum memiliki SIM—Surat Izin Mengemudi—memang menjadi tugas Mang Ujang lah untuk mengantar Melody kemana pun ia ingin. Dan syukurlah, di bulan ini usia Melody akan memasuki 17 tahun. Itu tandanya, sebentar lagi ia akan diberi izin untuk mengendarai mobil sendiri.

Saat telah sampai di depan gerbang sekolahnya, Melody mengucapkan terima kasih kepada Mang Ujang. Ia dapat dengan mudah melewati Mister Rofi yang menjaga di depan gerbang karena atribut sekolahnya telah lengkap. Ditambah lagi dengan sepatunya yang bersih, membuat Mister Rofi tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga untuk memarahi Melody. Tidak seperti salah satu murid yang mengantri di belakangnya tersebut.“

Aduh... kamu lagi, kamu lagi!” keluh Mister Rofi. “Udah Mister bilang berapa kali sih, Randy. Pakaian kamu rapiin! Masukin bajunya, pake dasi kamu, jangan dilepas lagi!”

Melody memilih untuk mengacuhkan. Walaupun sekolahnya sudah dinilai unggul, tetapi tetap saja, masih ada beberapa murid yang tak mematuhi peraturan. Well, bukan urusan Melody juga sih. Kembali, ia melangkahkan kaki menuju kelas. Sepanjang koridor yang dilaluinya, ia membalas beberapa sapaan kecil dari teman-temannya. Bukan hal yang mengherankan karena predikat Icon of Djuwita yang melekat padanya.

Suasana kelas sudah mulai ramai saat Melody datang. Beberapa bangku sudah diisi dengan tas dan segala macam perlengkapannya. Sama halnya dengan bangku paling depan di barisan nomor tiga dari pintu yang sudah terdapat tas di atasnya. Itu pertanda sang pemilik bangku telah datang. Dan itu adalah bangku Farah. Walaupun Melody dapat melihat tas Farah, namun ia sama sekali tak melihat batang hidung gadis tersebut di kelas.

'Paling ke ruang kepengurusan PMR lagi.’ tebak Melody dalam hati.

Tepat saat Melody memindahkan bobot tubuhnya di bangku miliknya, Zidane memasuki kelas dengan kepala menunduk. Langkahnya lemas seperti tak ada semangat. Rambutnya yang disisir rapi, kini terlihat sedikit berantakan. Jika dipikir-pikir, sepertinya hari ini bukan hari yang bagus untuk Zidane.

“Hai, Dane!” sapa Melody riang berusaha memancing semangat Zidane.

Zidane mengangguk seadanya. “Hai.”

“Kok lo—“ Melody terkesiap. “Jidat lo kenapa?!”

Zidane sedikit berjengit saat mendengar suara nyaring Melody. “Ini?” tanya Zidane sembari menunjuk seberkas luka yang terpatri di jidatnya. Melody mengangguk cepat. “Gak jantan namanya kalau cowok gak punya bekas luka. Gini doang mah, biasa.”

Melody mengernyit melihat tawa kecil keluar dari mulut Zidane. Tangannya terulur ke dalam tas, berusaha mencari plester yang biasanya selalu ia sediakan. Setelah berhasil menemukan plester yang ia cari, Melody pun membuka bungkus plastik plester tersebut. Membuat Zidane berhasil menebak apakah motif plester yang digenggam Melody. Dan ternyata jawabannya singa—Zidane suka singa!

Gg“Kalau luka lo dibiarin terbuka kaya gitu, ntar bisa beresiko terinfeksi.” jelas Melody sembari menempelkan plester pada jidat Zidane. “Nanti kalau lo udah di rumah, jangan lupa bersihin luka lo pake alkohol. Terus, lo ganti deh plesternya.”

Zidane mengelus plester yang tertempel rapi di jidatnya. “Thanks ya, Mel.” Melody balas mengangguk. “Kalau dipikir-pikir, bawel lo tentang kesehatan dan segala macamnya, mirip sama bawelnya Farah deh.” seketika, ekspresi Melody berubah menjadi datar.

Loh, Zidane salah bicara ya?

***

Randy menghela napas jengah entah untuk yang keberapa kalinya. Ia memindahkan bobot tubuhnya dari satu kaki ke kaki yang lainnya. Kaki yang tak menjadi tumpuannya, ia naikkan hingga tak berpijak di lantai. Seakan belum puas dengan penderitaan Randy, tangannya yang menyilang dan bertengger di telinga juga mulai terasa pegal. Serius, ekspresi Randy yang benar-benar kelelahan, berbanding terbalik dengan ekspresi teman-temannya yang tersenyum geli melihatnya. Dihukum di depan kelas, memang bukan sesuatu yang menyenangkan.

“Pak..., udah setengah jam nih saya kaya gini.” melas Randy.

Pak Yono menoleh sekilas. Hanya sekilas lalu kembali menekuni tugas yang dikerjakan Randy. Menulis dengan tinta merah di atas kertas tersebut apa-apa saja yang kurang dan harus diperbaiki kembali dari hasil kerja keras Randy. Melihat hal tersebut, Randy sudah amat sangat menangkap maksud Pak Yono; bahwa ia harus merevisi tugasnya.

“Pak...” panggil Randy sekali lagi.

Tanpa merasa perlu untuk menaikkan tatapan atau sekedar menghentikan kegiatan menulisnya, Pak Yono menjawab pelan. “Ya, terus?”

“Mau sampe berapa lama lagi sih, Pak? Jam Bapak juga bentar lagi mau habis. Lagian, saya kan juga udah ngumpulin tugas yang Bapak minta.” Randy membela diri. “Kasih keringanan lah, Pak.”

Pak Yono menaruh penanya, lalu menatap Randy lekat-lekat. “Itu sebagai hukuman buat kamu, karena telat ngumpulin tugas.”

“Ya elah, Pak, cuma telat sehari doang.”

“Tetap aja, namanya telat.” Pak Yono menyodorkan tugas yang sudah ia periksa. “Perbaikin nih tugas kamu, minggu depan dikumpul.”

Dengan semangat, Randy mengambil tugasnya dari tangan Pak Yono. “Oke, Pak. Saya udah boleh duduk, kan?”

“Iya, udah sana duduk.” jawab Pak Yono kentara sekali malasnya.

“Asik! Bapak baik banget deh hari ini. Jadi makin cinta matematika.”

“Cepat duduk, sebelum saya berubah pikiran.” ancam Pak Yono. Ia kembali memperhatikan soal yang tertulis rapi di papan tulis. Mengambil spidol, siap untuk membahas soal-soal tersebut.

Sedangkan Randy siap untuk mengeluarkan gerakan tinju di udara sebelum kembali ke tempat duduknya. Ia bertos ria dengan Gerind yang sedari tadi asik menertawakan proses penghukumannya Randy. Ia sih tak ambil pusing. Cowok dengan rambut—yang katanya—badai tersebut, memang puas sekali jika melihat Randy sengsara. Tapi tenang saja, Randy yakin, itu hanya candaan kok.

“Nanggung banget, Ran. Bentar lagi bel bunyi tuh.” ujar Gerind masih dengan disertai bumbu tertawa. 

Randy berdecak. “Seneng banget ya lo ngeliat gue sengsara gini.”

“Hahaha, jarang banget kan ngeliat muka lo kaya tadi.”

“Apa lo bilang?” dengan cepat, Randy mengunci leher Gerind dengan lengan. Lalu tangannya menjitak pelan kepala Gerind. Randy tertawa melihat temannya yang protes tak terima.

Lihat selengkapnya