“Gue bilang juga apa, harusnya kita makan dulu.”
Keluhan Randy membuat Farah mendesis kesal. Saat ini, mereka memang berada di depan ruang keamanan sekolah. Rencananya sih, Farah ingin segera mengecek video CCTV sekolah dari ruang keamanan yang notabene-nya menyimpan file rekaman semua CCTV dari berbagai sudut. Namun sayangnya, Farah dan Randy belum diizinkan untuk masuk karena Pak Yan—satpam SMA Djuwita—sedang istirahat makan siang. Sudah kurang lebih dua puluh menit lamanya mereka menunggu di kursi panjang samping ruangan. Hal ini jelas membuat Randy berpikir, bahwa seharusnya mereka makan di kantin terlebih dahulu alih-alih langsung ke ruang keamanan dengan keadaan perut keroncongan. Lihat saja sekarang, bukan hanya dirinya, tapi Randy yakin, Farah pasti juga tengah lapar.
“Ya, biasa aja kali. Gue juga gak tau bakal kaya gini.” ujar Farah tak terima.
Randy memilih membisu. Farah juga tak membuka suara lagi. Suasana kembali menjadi hening. Bukan, namun sensasi kali ini… jauh lebih dari hening. Farah merasa diliputi kecanggungan. Maksud Farah, jika lima tahun lalu ada yang mengatakan padanya bahwa ia akan duduk di sini bersebelahan dengan Randy yang sekarang entah sedang berbuat apa—karena ia kelihatan sibuk mencari sesuatu di tasnya—sudah pasti Farah tak akan percaya! Bayangkan saja, Randy dan Farah? Farah dan Randy? Dan… keheningan yang melanda kali ini? Ergh, terasa aneh!
“Nih, ambil.”
Farah melirik bungkusan roti yang disodorkan Randy kepadanya. Bergeming sejenak, lalu memicingkan mata ke arah Randy penuh ketajaman. Tunggu, ini hanya perasaan Farah atau memang Randy-nya yang sedikit aneh? Randy Anugrah yang dikenalnya dari berbagai narasumber terpercaya dan tentu saja, dari persaksiannya sendiri pula, bukanlah Randy Anugrah yang akan menyodorkan roti sebagai—oke, jika Farah tidak sedang ge-er—pengganjal perut? Randy Anugrah yang Farah kenal; boro-boro mau memberikan sebagian rotinya, kalau tidak sengaja bertemu saja bawaannya pingin nerkam. Lalu, ke mana perginya Randy Anugrah yang menyebalkan itu? Atau, yang benar saja, hantu baik hati mana yang mau merasuki tubuhnya?!
Mengerti maksud pandangan Farah, Randy menyela, “Aman kali, gak ada racunnya, gak ada sianidanya.”
Logika dan batin Farah memulai perdebatan yang tak diinginkannya. Farah memilih untuk berpacu pada logika dan akhirnya merespon dengan gelengan kepala tanda penolakan. Ia memusatkan perhatian pada taman bunga di hadapannya. “Gak usah.”
“Jaim banget lo, sumpah.” komentar Randy. Ia yakin, jika menunggu Farah yang memintanya sendiri, cewek yang sedari tadi sibuk mengayunkan kedua kakinya ini tak akan mau mengenyampingkan gengsinya.
Randy membuka bungkusan roti tersebut dan menaruhnya di tangan Farah. Sebelum sempat Farah protes, Randy lebih dulu mengarahkan tangan Farah ke mulutnya. Membuat selai cokelat dari roti tersebut mengenai sudut bibir Farah. “Udah, makan aja kali. Kasihan gue lihatnya, perut lo bunyi-bunyi tuh dari tadi.”
Farah mendelik marah sembari mengelap selai yang mengotori wajahnya. Walaupun dirinya sudah menatap tajam, namun Randy dengan santai menguyah roti dari bungkusan lainnya. “Boong banget lo kalau perut gue bunyi.”
Randy mengedikkan bahu. Tak mempunyai pilihan lain, akhirnya Farah ikut memakan roti meski perlahan—sembari menepis semua kegengsiannya! Wajah Farah sih memang kelihatan cemberut setengah mati. Hanya saja tak bisa dipungkiri, Farah juga lega karena bisa mengisi perut. Sejujurnya, Farah memang lapar. Sarapan tadi pagi hanya ia makan beberapa sendok. Lagipula, Farah juga sedang tidak nafsu sih. Jangan salahkan Farah yang hanya makan sedikit. Salahkan saja rumah Farah yang berjarak lumayan jauh dari sekolahnya berada. Ditambah lagi dengan keadaan lalu lintas yang ramai parah, berkemungkinan besar menyebabkan macet di tiap sudut jalan. Tentu saja Farah tak ingin terlambat datang ke sekolah. Oke, balik ke topik awal, rotinya enak kok.
“Nah, itu dia Pak Yan.” celetuk Randy sembari berdiri menghampiri pemuda paruh baya yang menggunakan seragam satpam tersebut.
Sama halnya dengan Randy, Farah juga ikut berdiri. Ia segera menghabiskan rotinya dengan satu suapan sekaligus. Menyusul Randy dan Pak Yan yang sedang asik bercengkrama ringan.
“Kalian berdua serius mau ngecek?” tanya Pak Yan kurang meyakinkan. Menurut Pak Yan, anak kecil bisa apa?
Randy merangkul Pak Yan yang terlihat sudah akrab. Yang dirangkul sendiri sibuk dengan tangan yang hendak membuka pintu dengan kunci. Menghasilkan suara krasak-krusuk yang sedikit mengganggu pendengaran. “Ya iyalah, Pak. Masa kami boongan.” jawab Randy ikut melangkah masuk setelah Pak Yan berhasil membuka pintu bertuliskan ‘Ruang Keamanan Sekolah’.
Pak Yan mengklik tombol turn on pada beberapa komputer yang memiliki sambungan ke CCTV sekolah. Mengetikkan beberapa kali kata sandi untuk membuka sistem keamanan yang menjadi protektor komputer. “Kalau ada apa-apa, Bapak gak bisa tanggung jawab. Bapak cuma bisa sekedar bantuin ini.”
“Tenang, kami gak bakal ngerepotin Bapak kok.” Farah menyela. Ia mengambil alih mouse komputer setelah Pak Yan mengizini. Tangan cekatan Farah berselancar dengan lihai membuka satu folder ke folder lainnya. Semua rekaman CCTV dari tahun lalu tersimpan rapi sesuai tanggal dan tempatnya. Tentu saja pengklasifikasian ini akan tambah memudahkan Farah.
“Coba buka CCTV di depan gerbang sekolah deh, Far.” usul Randy yang mengambil tempat duduk di sebelah Farah. Dari jarak sedekat ini, Randy dapat melihat bola mata Farah yang berwarna cokelat terang dengan begitu jelas. Rambutnya yang terurai membingkai indah wajah Farah. Sedangkan di wajah Farah sendiri saja, terdapat lesung akan tampak bahkan hanya dengan Farah mengerucutkan bibir sembari berpikir keras. Bayangkan saja jika Farah tersenyum lebar, akan terlihat semanis apa lagi Farah?
“Iya, ada!” seru heboh Farah membuat Randy mau tak mau memfokuskan perhatiannya pada komputer alih-alih rambut tergerai Farah yang tanpa disadari beberapa helainya berhasil menyentuh lembut tangan Randy.
Farah membuka file video kamera CCTV yang menampilkan gerbang sekolah. Awalnya, video menampilkan suasana gerbang sekolah yang hanya dilintasi beberapa kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Suasana yang sebenarnya jauh dari kata mencurigakan, sedikit janggal, atau bahkan masuk ke tahap berbahaya. Serius, benar-benar tak ada tanda keanehan di sini. Siapa sangka, selag beberapa menit, pekarangan gerbang sekolah mulai ramai dikerumuni segerombolan murid yang berseragam berbeda dari sekolah Farah. Dan dari ucapan Randy, Farah mendapat informasi baru, segerombolan murid itu adalah murid dari SMA Garuda. SMA yang letaknya tak terlalu jauh dari sekolahnya saat ini.
Farah membelalakkan mata saat melihat gerbang sekolah yang terbuka dengan sendirinya. Membuat segerombolan murid sekolah tersebut masuk berurutan. Yang padahal, tadinya mereka hanya berdiri tak tentu arah di depan gerbang. Seperti… memang sudah mengetahui bahwa gerbang akan segera terbuka. Sehingga mereka tidak perlu lagi untuk repot-repot membuka gerbang secara paksa lagi.
“Licik banget tuh orang, emang udah direncanain! Niat banget.” komentar Randy yang satu pemikiran dengan Farah. Wajahnya mengeras seakan sedang menahan amarah yang berkecamuk.
Secara naluriah, Farah mengecek rekaman CCTV dari kamera di sudut sekolah yang lainnya. Ia memperhatikan tiap gerakan yang ditampilkan video dengan matanya yang tak lepas dan cermat. Dan, yang lebih terasa mengherankannya lagi, semua rekaman CCTV terlihat baik-baik saja tidak bermasalah, semua terlihat oke. Namun, pada beberapa rekaman CCTV yang sengaja ditaruh , mulai dari dari parkiran sekolah, lapangan upacara dan aula serbaguna—yang mana, merupakan tempat-tempat yang harus dilewati jika ingin menuju UKS—rekaman-rekaman CCTV di tempat tersebut kelihatan kabur. Yang sayangnya, rekaman-rekaman CCTV itu kabur hanya pada saat segerombolan murid SMA Garuda telah masuk. Setelahnya kembali seperti semula ketika sekitar sepuluh menit sejak segerombolan murid tersebut beranjak pergi.
Farah berpikir keras. Ia menolehkan kepala ke arah Randy, terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu. Sedangkan yang tengah dilihat dengan lekat tersadar. Randy merasa kikuk sendiri. Hingga akhirnya, cowok yang sedari tadi tak henti sibuk mengunyah roti membuka suaranya, “Apa?”
Kebisuan Farah membuat Randy semakin salah tingkah. Farah tidak tahu saja, detak jantung Randy saat ini tengah berdebar kencang. Ditatap lekat dengan kedua bola mata yang berbinar cemerlang seperti saat ini, menimbulkan efek tak menyehatkan bagi Randy. Bayangkan saja, Randy tak tahu harus berbuat apa jika jantungnya meledak karena berdebar kencang jauh diatas rata-rata normal. Dan lagi, Randy bukan kucing yang ritme detak jantungnya lebih cepat dibandingkan dengan manusia!
Randy mendapat sebuah garis besar yang berhasil ia simpulkan; satu sisi, Farah dapat menjadi obat bagi dirinya. Ia merawat Randy dengan baik. Terlebih lagi jika Randy sedang terluka parah, meskipun wajah Farah cemberut, namun Randy yakin, sebenarnya Farah khawatir dengannya. Well, Randy sama sekali tidak bermaksud narsis. Ini terbukti ketika Farah selalu menanyakan mengenai dirinya dikala mengobati. Jika seperti itu… Farah perhatian, bukan?
Namun, di sisi lain, Farah juga dapat menjadi racun bagi Randy. Lihat saja sekarang, apa yang dilakukan Farah sehingga—bisa-bisanya!—respon tubuh Randy benar-benar tak terkendali. Huh, sensasi apa pula ini?
“Dari jam berapa lo ada di UKS?” tanya Farah setelah keheningan yang… panjang.
Randy memaksakan dirinya untuk kembali ke alam sadar. Gengsi Randy tak kalah besar dengan Farah. Ia tidak akan mau terlihat malu-malu di hadapan Farah. Maksud Randy, yang notabene-nya sebagai cewek menyebalkan se-jagat raya—sampai… sekarang, kan?
Randy berdehem sejenak, sekedar untuk menormalkan emosi wajah. “Dari kapan ya? Ehm…,” Randy mulai mengingat-ingat.
Menyadari sesuatu, Farah pun menyela. “Dari pagi, kan? Jam pertamanya Pak Yono, kan?”
“Oh, iya, bener!” seru Randy heboh. Dia menepuk-nepuk kepala Farah dengan pelan. “Ingatan lo bioleh juga.”
Farah menyingkirkan tangan Randy dari kepalanya. “Ya iyalah gue inget. Gara-gara lo nih, Pak Yono sampai marah banget. Lo tau sendiri Pak Yono sering banget marah, tapi kemarin kemarahannya gak kaya biasa. Bisa-bisanya coba lo keluar dari pelajarannya Pak Yono. Dan lagi, kenapa harus ke UKS???”
Tersadar, Randy pun terhenyak. Benar juga. Mengapa Randy bisa lupa mengenai hal yang satu ini, sih? Padahal, dirinya sudah bertekad untuk tidak menyinggung sedikitpun kejadian dan segala hal tentang UKS. Mau ditaruh di mana muka Randy?! Ah, jangan sampai Randy membuat dirinya malu sendiri untuk yang ketiga kalinya. Tidak, jangan sampai! Bisa turun pamor Randy nanti.
“Lo tuh dengerin gue ngomong gak, sih?” seruan Farah mengembalikan fokus Randy. “Bukan cuma pelajarannya Pak Yono, lo juga sering cabut di pelajaran lain. Serius, hobi lo emang cabut ya? Seseru itu apa?”
“Enak aja, ya enggaklah. Masa tampang kaya gini lo bilang hobi cabut?” protes Randy tak terima. “Muka-muka kaya gue gitu, muka-mukanya atlet tau.”
Randy tidak berbohong kok, sungguh. Bicara mengenai atlet, Randy memang atlet futsal, bukan?