The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #8

Chapter 8: WHEN YOU SORRY'S

“Re, lo dulu ya yang layanin.” ucap Bianca meminta Rere, rekan jaga stand bazar sekolahnya, untuk melayani pembeli. Sejak Bianca menggantungkan kertas karton pink bertuliskan ‘BUKA!’ di sisi tiang, pembeli sudah ramai berjejer di depan tenda yang didirikan. Baik pembeli dari siswa-siswi sekolahnya sendiri, maupun siswa-siswi sekolah lain. Ada beberapa wajah yang Bianca kenal. Ada beberapa sapaan kecil yang ditujukan untuk Bianca. Ada beberapa kelelahan terlihat di wajah para penjaga stand. Tak terelakkan, begitu pula dengan Bianca yang sedari tadi sibuk melayani pembeli.

Bianca, atau yang lebih akrab dipanggil Bee, adalah siswi utusan SMA Garuda yang bertanggung jawab dengan segala macam urusan stand bazar. Tak hanya sendiri, Rere juga ikut membantunya. Menjaga stand di acara bergengsi saat ini, merupakan hal yang istimewa menurut Bianca—yah, terlepas dari betapa ribetnya menyediakan stok makanan tentunya. 

Menu yang ditawarkan stand bazar Garuda cukup beragam. Di keadaan panas seperti ini, Garuda’s Dapoer, nama yang ditetapkan sekolahnya, menyediakan berbagai macam pilihan minuman yang dapat dibeli dengan harga terjangkau. Seperti soda gembira, mocca float, es doger, dan sup buah. Untuk urusan makanan, Garuda’s Dapoer memang hanya menyediakan makanan ringan yang telah terlebih dahulu dibungkus dengan plastik.

“Bee, es batunya habis lagi nih.” lapor Rere membuyarkan lamunan Bianca. 

Gadis berseragam putih abu-abu ini terdiam sejenak. Matanya menyusuri panjangnya antrian yang terlihat tak sabar. Bianca menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, lalu beranjak berdiri. “Ya udah, gue ambil dulu ya.”

Di sisi lain stand bazar yang didirikan, Melody tengah bersenandung dengan riang. Tangannya sibuk meracik kopi pesanan pembeli. Masalah kopi sih, Melody ahlinya. Ia memasukkan cairan kopi tersebut ke dalam cup berlogo chef cowok dan cewek versi anime dengan tulisan ‘The Big Part of Djuwita’ di bawahnya, setelah dirasa kopi telah siap dihidangkan.

“Ini kopinya, kak. Terima kasih sudah berkunjung!” seru Melody semangat sembari menyerahkan pesanan kepada pembeli di antrian terakhir.

Syla, Jolyn dan Carla yang melihat temannya tak pernah melepaskan senyum lebar di bibirnya, merasa sedikit heran. Pasalnya, Melody yang sekarang, berbanding terbalik dengan Melody dua jam yang lalu. Melody dua jam yang lalu terlihat gelisah tak tentu arah. Hanya butuh waktu yang sebentar, kini berubah menjadi Melody yang menghentakkan kaki kecil mengikuti irama lagu yang dinyanyikannya. Tak hanya itu, Syla, Jolyn dan Carla juga sempat mendapati Melody tengah berputar seperti sedang berdansa meski tak menghilangkan perhatiannya dari membuat pesanan.

“Lo kelihatan happy banget deh, Mel.” komentar Syla dengan sebelumnya menarik kursi untuk duduk.

Tak melepaskan pandangannya dari Melody, Jolyn yang tengah menyeruput jus terong belanda, ikut bersuara. “Seneng karena apa sih? Lo menang lotere ya?”

Melody menghentikan tangannya yang sedari tadi bergerak ke arah kanan dan kiri bermaksud untuk mengelap meja. Ia menghadapkan tubuhnya agar dapat melihat teman-temannya dengan jelas. Belum sempat Melody menjawab, Carla telah lebih dulu memotong.

“Sumpah! Lo pada harus ngeliat! Djuwita masuk final, gils!!!” cerocos Carla heboh sembari memampangkan telepon genggamnya.

Syla dan Jolyn mendekat pada Carla. Sedangkan Melody yang sudah mengetahui fakta tersebut, hanya tersenyum menunggu respon dari teman-temannya. Carla sibuk men-scroll layar telepon genggamnya yang menampilkan room chat grup ‘The Big Part of Djuwita’. Terdapat 112 chat yang masuk dan belum terbaca dari grup WhatsApp tersebut. Semua isinya kurang lebih sama. Semua sibuk membicarakan perihal keberhasilan tim basket Djuwita. Hal ini memicu Syla dan Jolyn berteriak heboh.

“Oh, jadi ini yang dari tadi ngebuat lo seneng tingkat dewa?” tanya Syla menebak.

Jolyn menyeruput tetesan terakhir jus terong belandanya. “Serius, bakal makan besar kita tahun ini.”

Carla masih asik men-scroll layar telepon genggamnya. “Guys, coba tebak, siapa pemecah rekornya?”

“Husen? Si ketua basket itu?” Syla menanggapi.

“Atau mungkin… wakilnya? Siapa tuh nama si wakil?” Jolyn ikut menjawab. Lalu pandangan matanya tertuju ke arah Melody yang kini tengah menghitung hasil penjualan. “Kalau menurut lo, siapa, Mel?”

Selesai menghitug uang, Melody menaruhnya kembali ke mesin kasir. “Selamat juga buat kita, pemasukin berhasil ngelewatin target.” Melody hanya tersenyum, mengabaikan wajah penuh tanda Tanya dari teman-temannya.

***

Walaupun pusing masih terasa di kepalanya, Ichan tetap memaksakan kedua matanya untuk terbuka. Silau, hal pertama yang dilihatnya meski sedikit pudar. Aroma obat-obatan yang menyengat masuk ke dalam indera penciuman Ichan. Sedangkan kulitnya terasa ditusuk dengan dinginnya AC. Butuh beberapa detik agar Ichan dapat memastikan bahwa kini ia tak sendiri. Sedikit demi sedikit, ia menyadari, terdapat seorang perempuan tengah memperhatikannya. Wajahnya cantik, dihiasi dengan kerutan kedua alis serta lesung pipi yang berhasil tampak meski sebenarnya ia tak sedang tersenyum.

Ichan meyakini dirinya sendiri; itu bukan malaikat. Benar, itu bukan malaikat! Namun… apakah ada makhluk secantik ini jika bukan malaikat? Dan lagi, Ichan merasa dirinya belum mati kok. Seandainya memang benar dirinya telah mati, seharusnya malaikat maut menyeramkanlah yang akan datang menjemputnya. Sedangkan pendeskripsian malaikat maut itu sendiri, berbanding terbaik dengan apa yang didapatkan Ichan. 

“Halo… lo bisa denger gue? Lo baik-baik aja, kan?” 

Ichan mengerjapkan matanya beberapa kali agar bisa melihat dengan lebih jelas lagi. Beberapa helai rambut perempuan tersebut berhasil menyapu pelan wajahnya. Terasa sedikit geli, namun memberikan efek besar bagi hati Ichan. Detakan jantung beritme cepat seakan menjadi soundtrack romantis di benaknya. Pertama kalinya selama 18 tahun hidup Ichan, ia merasakan sensasi mengagumkan. Ternyata seperti ini rasanya beroacu dengan hati. Ternyata… senyaman ini ya?

Ichan tersadar saat bau menyengat masuk ke dalam indera penciumannya. Disusul dengan rasa hangat yang menjalar di antara hidung dan mulut. Bau yang dirinya kenal. Semacam bau minyak kayu putih atau semacamnya. Kalau bau yang satu ini sih, Ichan sudah akrab.

“Lo gak kenapa-napa, kan?” Tanya Farah entah untuk yang keberapa kalinya.

Sesaat setelah Aldo, Kevin dan beberapa teman-temannya yang sibuk menggotong siswa Garuda masuk UKS, Farah mulai melakukan tugasnya dan berhenti menggerutu dengan berbagai alasan bosan. Dari penjelasan yang ia dapat, Aldo mengatakan bahwa pasien kali ini merupakan pemain utamanya Garuda, alias sang kapetn dari tim basket Garuda. Tak terelakkan, fakta tersebut cukup membuat Farah untuk terkejut. Maksud Farah, serius? Kaptennya Garuda? Dan… dia malah sakit? Yang benar saja! Bagaimana pula dengan kondisi pertandingannya nanti?

Baiklah, mengabaikan segalam macam konflik yang mungkin akan terjadi di tengah lapangan kustur Djuwita pagi ini, Farah lebih memilih mengambil kain kompresan dari dahi sang kapten tersebut. Ia mengecek kembali suhu badan sang kapten dengan menggunakan thermometer. Masih panas meskipun tak separah lima belas menit yang lalu.

Farah menyodorkan air putih hangat ke arah lelaki tersebut. “Nih, minum dulu.”

Ichan hanya cengo. “Hah?”

“Iya, ini lo minum dulu.” merasa tak digubris, Farah membantu Ichan agar dapat memposisikan dirinya duduk. Setelah terasa nyaman, Farah kembali menyodorkan gelas berisi air putih dengan langsung menaruhnya di tangan Ichan.

Tak ingin terlihat aneh, Ichan segera meminumnya. Sedikit malu saat tertangkap minum dengan tergesa-gesa. Jangan salahkan Ichan, dirinya memang sedang haus saat ini. Ketika Ichan telah selesai minum hingga tak menyisakan setetes airpun, Farah mengambil kembali gelas tersebut dan mengisi ulang.

“Gak usah, gue udah gak haus.” ucap Ichan bermaksud mencegah Farah. Meski sebenarnya Ichan juga tidak akan menolak jika diberi air lagi. Tapi, yah Ichan gengsi dong! Tersadar dirinya tak lagi di lapangan, Ichan kembali membuka suara, “Gue dimana?”

“Lo lagi di UKS, UKS-nya Djuwita. Tadi, temen-temen gue yang ngebawa lo ke sini.” Jawab Farah. Sedari tadi tangannya sibuk mengoperasikan alat tensi. Ia melepaskan stetoskop dari telinga, lalu menatap Ichan. “Gue tau, ini hari yang penting banget buat lo, kan? Hari yang lo tunggu-tunggu?”

Jawaban Farah membuat Ichan terhenyak. “Pertandingannya—“

Lihat selengkapnya