“Tangan lo gak sakit, kan? Kenapa gue harus nyuapin lo segala?”
Farah memutar bola matanya sembari mengarahkan sendok berisi nasi goreng menuju mulut Ichan. Meski cowok berdarah Korea ini belum sempat menghabiskan nasi yang ada di mulutnya, ia tetap mau membuka mulut untuk menerima suapan dari Farah. Jika boleh jujur, Ichan sama sekali tidak menyukai nasi goring. Bagi Ichan, nasi goreng hanyalah nasi yang diberi bumbu sekedarnya.
Hanya ada satu alasan sampai-sampai Ichan mau menelan nasi goreng kosong khas UKS Djuwita; Farah. Ini bukan hal bodoh, namun Ichan sama sekali tidak mengerti mengenai rincian alasannya. Ia tidak dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana. Yang dirinya tau, Farah telah mencuri hatinya. Tolong, jangan muntah membaca ini, Ichan juga tidak mau terjun ke dunia menjijikkan penuh klise. Sayangnya, Ichan tidak bisa lepas. Begitulah, cinta terlalu rumit untuk dipikirkan. Pantas saja Mamanya sering mengatakan; ‘Cinta itu gak perlu dipikirin sampai kepala botak. Cukup jalanin aja, nanti jawabannya ketemu sendiri.’
“Ibarat rumah sakit, gue pasiennya, dan lo susternya.” jawab Ichan masih asik mengunyah dengan penuh perjuangan. Membuat suara yang dikeluarkan terdengar sedikit aneh.
“Gue dokternya, bukan susternya.” Farah meluruskan.
“Karena yang piket UKS hari ini cuma lo, berarti pekerjaan lo merangkap. Jadi dokter, plus jadi suster. Harusnya lo bangga dong ngejalanin pekerjaan lo.” jawaban Ichanmembuat Farah melotot marah. Ichan memilih untuk mengabaikan tatapan laser Farah. Ia justru membuka mulut lebar-lebar dan berkata, “Aah…?”
Farah yang peka, kembali menyuapi Ichan dengan nasi goreng yang memenuhi sendok. Bukannya Farah tidak ingin menyuapi Ichan, namun, selagi pasien masih bisa makan sendiri, kenapa tidak? Dan lagi, Ichan benar-benar bisa membuat Farah jengah. Pasalnya, mukanya Ichan itu loh, membuat Farah kesal saja. Apalagi sikapnya, jangan ditanya, terkesan manja sekali!
“Udah deh, gak usah cemberut mulu. Jelek banget tau. Harusnya lo—“ Ichan terkesiap. Ia menepuk-nepuk dadanya histeris dan menggapaikan tangannya beberapa kali bermaksud meminta air. “Uhuk, uhuk, uhuk…”
Meski merasa sedikit terkejut, Farah tetap memenuhi permintaan Ichan. Dirinya mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Belum sempat gelas tersebut diambil oleh Ichan, Farah kembali dibuat terkejut dengan kedatangan seorang perempuan yang entah sejak kapan, perempuan itu sudah duduk di kursi samping ranjang pasien—kursi yang sebenarnya diduduki oleh Farah seperkian detik yang lalu. Farah mendecak kesal saat tumpahan air dari gelas mengenai bajunya ketika perempuan satu ini sempat menyenggolnya.
“Ichan?! Lo kenapa?! Butuh air ya?!” tanya Bianca heboh sendiri melihat temannya yang terbatuk-batuk. Ia mengambil gelas dari tangan Farah begitu saja dan tanpa permisi memberikannya pada Ichan. “Nih, lo minum dulu.” ucap Bianca sembari menepuk pelang punggung Ichan.
Ichan bernapas lega setelah dirasa sudah membaik. “Ma—“
“LO GIMANA SIH?!” Bianca memukul bahu Ichan kesal. “Kenapa lo gak langsung chat gue waktu lo pingsan?!”
Ichan meringis menahan sakit, tenaga Bianca memang jangan dicoba-coba. Tak lama, ia membuka mulut, “Gimana gue bisa chat lo kalau gue aja pingsan?”
“Iya juga sih ya,” Bianca terdiam sejenak. “Yah, maksud gue kan, waktu lo udah sadar. Seriously, you got me like crazy!”
“Maaf deh, gue lupa.”
“Ya udah, buruan!” putus Bianca sembari menarik tangan Ichan untuk pergi.
“Loh? Mau kemana?” tanya Ichan tak siap dengan tarikan Bianca.
“Ya, periksa kesehatan lo di rumah sakitlah. Dokter Arum harus tau kalau lo pingsan lagi minggu ini.” desak Bianca tak menerima penolakan. Tangannya masih asik menarik Ichan yang tengah berkicau meminta dilepaskan.
Sedangkan Farah hanya dapat terdiam dan membatu layaknya patung. Matanya mengikuti kepergian Ichan dan gadis—entah siapa namanya, hingga mereka tak lagi terlihat saat telah melewati pintu. Tunggu, berikan waktu untuk Farah agar ia dapat berpikir. Ada apa dengan hari ini?
***
Pukul sembilan lewat dua puluh satu menit malamdan Zidane masih belum bisa tidur dengan tenang jika ia tidak ingin menerima ocehan di pagi harinya. Usai makan malam bersama keluarganya, playlist kegiatan Zidane selanjutnya adalah berkutat dengan materi berita dan mading. Salah satu aturan di ekskul mading yang ia buat sendiri, ialah harus menempelkan berita di bagian ‘Djuwita’s News’ sebelum jam menunjukkan angka tujuh pagi jika terdapat satu acara yang bersangkutan dengan pihak sekolah. Intinya, Zidane sibuk mengejar deadline.
Langkah awal yang diambil Zidane yaitu mengambil file penunjang dari kameranya. Sesaat sesudag ia pulang dari sekolah, Zidane langsung mengisi ulang baterai kameranya mengingat benda persegi dengan tiga dimensi tersebut, terpaksa pingsan di tengah acara penutupan pertandingan basket antarsekolah. Zidane masih dapat bernapas lega dikarena lima jepretan foto sudah tersimpan di memori kameranya sebelum ia beristirahat.
Di tengah kesibukan tangan Zidane yang sedang mengutak-atik dan memilah hasil jepretannya, ia terkesiap saat lemparan batu kecil sukses mengenai kaca jendelanya. Meski hanya batu sejenis kerikil yang memiliki ukuran tidak besar, namun suara yang dihasilkan boleh digolongkan ke dalam kategori keras. Zidane berusaha mengabaikan, meskipun sebenarnya merasa terganggu. Di saat Zidane hendak memindahkan file foto dari kamera ke laptop, lemparan batu tersebut malah semakin menjadi-jadi. Zidane diam sejenak, melihat arah masuk batu yang tak disukainya itu.
Untuk membayar rasa penasarannya, Zidane mencondongkan kepala ke luar jendela. Sedikit bingung mendapati Farah dengan baju piyama tengah mengambil ancang-ancang untuk melempar dari seberang kanan sana. Melihat Zidane yang sudah berdiri di depan jendela, Farah menaruh kembali batu ditangannya ke wadah. Ia memasang senyum terbaik mengalahkan bintang iklan pasta gigi.
“Hai!” sapa Farah memulai percakapan. “Tumben banget lo belum tidur.”
Zidane mengistirahatkan tangannya ke kusen jendela. Memperhatikan wajah Farah yang disinari cahaya malam. “Belum, lagi sibuk.”
“Duh, sok sibuknya abang satu ini…” canda Farah. “Ehm, by the way, selamat deh buat pialanya. Djuwita bangga banget sama pencapaian anak basket tahun ini.”
“Hah, serius? Lo tadi nonton ya? Di mana? Kok gue gak liat lo?” tanya Zidane antusias, menunggu jawaban Farah dengan seribu satu harapan.
“Ya, nonton dong,” Farah menggantungkan jawabannya, “Nonton di grup. Aldo sama Kevin yang ngerekam lo lagi ngebasket tadi.”
Senyum binary Zidane mulai reda. “Oh, makasih.”
“Tapi serius, kata Claudia lo keren banget. Kalau kata Angel lo kaya atlet professional.”
“Malam-malam lo ngelempar kaca jendela gue, cuma untuk ngomongin itu?”
“Ya elah, sensi banget, Dane.” Farah memberenggutkan bibirnya, “Padahal niat gue kan baik.”