Kejadian antara ruang kepengurusan PMR dan Aldo, benar-benar menyita perhatian Farah. Benar-benar mencuri kefokusan Farah terhadap pelajaran. Buktinya, ia sama sekali tak dapat menangkap apa yang dijabarkan gurunya di depan. Farah tau, seharusnya ia sedang mencatat rumus-rumus yang diterangkan alih-alih menatap jam yang terpahat manis di tangannya. Jam berwarna abu-abu gelap pemberian Sang Ayah. Kalau kata Ayah, anak disiplin harus bisa bertanggung jawab dengan waktu. Kalau kata Ayah, anak disiplin adalah anak yang baik. Kalau kata Ayah, bertanggung jawab itu penting.
Satu-satunya harapan Farah saat ini—tak lain tak bukan—adalah mendengar bel panjang pertanda pulang sekolah. Ia sangat menunggu detik-detik yang sialnya, jika ditunggu, malah terasa semakin lama. Seperti sudah menjadi hokum alam tersendiri untuk jam dan segala macam aturannya. Hanya saja, bukan, bukan karena Farah sedepresi itu dengan rumus-rumus di papan tulis—yah, meskipun itu juga benar—namun, Farah mempunyai tujuan utama usai pelajaran selesai. Tujuan itu, Farah sebut sebagai misi lanjutan.
Di sudut lain, Zidane yang telah menyelesaikan tugas hari ini, tersenyum puas. Teori translasi yang dibahas, cukup mudah untuk dipahami. Sedangkan tugas yang diberikan, dapat Zidane selesaikan hanya dalam kurun waktu lima menit. Lima menit berlalu menyisakan lima menit lagi sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Lima menit lagi. Dan itu merupakan pertanda baik bagi Zidane.
Berpikir sejenak, Zidane menolehkan kepalanya ke arah bangku paling depan di barisan nomor tiga dari pintu. Zidane melihatnya. Farah yang tengah terlihat resah. Sesekali perempuan berkuncir kuda tersebut mengecek jam tangannya sendiri. Zidane tertawa pelan, menyadari bukan hanya diriya yang menunggu waktu pulang sekolah. Menyadari bukan hanya dirinya yang menunggu waktu untuk segera makan enak, untuk segera mengisi perut. Tujuan utama Zidane setelah pelajaran usai ialah menagih janji Farah. Iya, janji yang itu. Janji yang ia minta sebagai bentuk apresiasi. Dan tujuan itu, Zidane sebut misi lanjutan.
Zidane terpaksa keluar dari zona nyamannya, saat menyadari Miss Cindy, guru pelajaran kali ini, memanggiknya meminta Zidane mendekat. Zidane mengecek kembali jam tangannya. Kurang dari empat menit bel pulang akan berbunyi. Meskipun ada rasa bingung bercampur dengan bimbang, ia melangkahkan kaki beralaskan sepatu Nike menuju meja guru. Sesaat sebelum sampai pada meja guru tersebut, Zidane sempat melirik Farah yang tak kunjung lepas dar lamunannya. Entah apa yang sebenarnya melayang-layang di pikiran sahabat perempuannya satu ini. Zidane pun tak tahu.
“Miss, boleh minta tolong sama kamu, kan?” tanya Miss Cindy sembari tersenyum ramah. “Zidane tolongin, Miss, ya? Tolong bawain laptop sama proyektornya ke kantor.”
Zidane tak langsung menjawab. Lagi-lagi, ia mengecek jam tangannya. Kurang dari tiga menit bel pulang akan berbunyi. Ia menatap Miss Cindy, menatap jamnya, menatap Farah, lalu kembali menatap Miss Cindy. Duh, Zidane bisa apa jika sudah seperti ini?
“Bawa ke kantor ya, Miss?”
***
“Nanti malam ada lagi, gue mah mau ikutan.”
“Ya, gue jugalah.”
“Kalau gue sih, udah bosen menang.”
“Gak usah ditanya, gue yang datang paling awal.”
Gerind menyikut Randy. “Lo ikut balap ntar malam kan, Ran?” sedangkan yang disikut hanya menggeleng. “Lo butuh refreshing. Udah berapa lama coba lo gak ikut balap? Kali ini hadiahnya lumayan gede, Ran.”
Merasa semua tatapan tertuju ke arah Gerind, ia pun terdiam. Seketika, suasana di tempat yang biasanya dijadikan markas teman-temannya, hening tak bersuara. Gerind yang mati kutu, kembali menyikut Randy, namun untuk kedua kali ini lebih agresif. Tujuan Gerind sih, ingin meminta bantuan teman segengnya itu. Nyatanya, Randy malah tak menggubris dan sibuk menerawang tangannya.
Galang, cowok yang katanya mirip salah satu pemain Twilight itu, menarik Gerind menjauh; bermaksud untuk mengode Gerind. Tak hanya Galang, teman-teman satu tongkrongannya yang lain pun ikut mendelik pada Gerind. Sedangkan Gerind sendiri, hanya bisa cengo tak mengerti sama sekali.
Galang menjitak kepala Gerind keras. “Bego banget sih lo, Ger.”
“Loh, kok gue dijitak?” ujar Gerind merasa tak terima.
“Sumpah, lo bego banget, Ger.” timpal Alam yang sedari tadi duduk di kursi dengan sebelumnya menyeruput the hangat manis.
“Lo gak tau apa gimana, jangan pernah nawarin balap ke Randy! Bisa mati lo ntar.”
“Lah, emangnya kenapa? Randy kan juaranya balap.” sanggah Gerind. Lagi-lagi, Gerind menyikut Randy. “Ya kan, Ran? Gue bener, kan?”
Merasa jengah dengan tingkah Gerind, Alam menendang kaki Gerind dari bawah. Ia sama sekali tak bermaksud setega itu, tetapi ketika mendengar keluhan aduhnya Gerind, membuat Alam sadar, bahwa tendangannya kelewat sakit. Yah, Alam tidak sengaja kok. Sayangnya, pengertian yang diserap Gerind sama sekali jauh dari makna ‘tidak sengaja’nya Alam. Didorong perasaan kesal, Gerind pun memiting kepala Alam dengan tangannya.
Keanehan mereka terhenti saat mendengar deringan ponsel bernada musik DJ yang bersumber dari telepon genggam Randy. Mereka semakin dibuat tercengang saat melihat senyum mengembang begitu lebar di sudut bibir Randy. Bukan, bukan karena senyum Randy tersebut mengalihkan perhatian mereka. Maksudnya, ya tentu saja bukan itu! Hanya saja… ini sudah enam bulan lamanya mereka tidak melihat ekspresi selepas itu. Enam bulan silam; masa-masa yang jika memang bisa, ingin sekali Randy buang dari memorinya.
Namun, Randy rasa cukup. Cukup merenungi sesuatu yang telah terjadi. Karena sekarang, detik ini juga, Randy memiliki tujuan utama yang jauh lebih penting. Tujuan yang mungkin saja—siapa yang tahu—memberikan pengalaman yang jauh lebih bermakna bagi Randy. Tujuan tersebut, Randy sebut misi lanjutan.
“Gue duluan ya, Bro, ada panggilan batin.”