‘Gue udah sampe rumah kok. Tadi ada temen yang mau nebengin:)’
Akhirnya, Zidane dapat bernapas lega saat membaca pesan yang merupakan balasan dari Farah. Ia menatap ke depan, mendapati beberapa mobil yang berlalu lalang menembus derasnya hujan. Untuk mengistirahatkan tubuhnya, Zidane memilih bersandar di tembok. Menunggu hujan reda di halte bus, bukanlah hal yang menyenangkan sebenarnya. Hanya saja, Zidane tak mempunyai pilihan lain. Sedikit menyesal mengabaikan saran Mamanya yang meminta ia untuk membawa mantel hujan.
Terulang kembali, terulang kembali untuk kesekian kalinya. Perasaan ini kembali datang dan menyelimuti hati Zidane. Perasaan yang tak dapat didefinisikan dengan segala kompleksitasnya. Entah bagaimana dirinya harus menjabarkan. Ini sungguh lebih sulit daripada mengerjakan esai. Yang Zidane pahami, perasaan ini… seperti nano-nano. Ramai. Yang Zidane pahami, ia benci perasaan ini. Menyakitkan.
Apa yang bisa dikatakan? Apa yang bisa dilakukan? Hati Zidane memiliki nalurinya sendiri. Ia tak dapat menghentikan kehendak hatinya tersebut. Maksud Zidane, ini adalah hatinya. Hati Zidane sendiri yang berada di dalam tubuhnya. Hati Zidane, bukan hati orang lain. Jika sudah seperti ini, bukankah Zidane termasuk orang yang kesal setengah mati? Bayangkan saja, siapa juga yang ingin terombang-ambing di angkasa? Meskipun ia dapat melihat indahnya bintang, namun ia tidak dapat menggapainya. Miris.
Menghidupkan layar telepon genggamnya, Zidane kembali melihat balasan pesan dari Farah. Ia membaca berulang kali setiap kata yang diketikkan Farah, lalu fokusnya terhenti pada emoticon smile yang turut menghiasi akhir kalimat. Itu emoticon smile? Maksud Zidane, dari sekian banyak pilihan emoticon yang ada, dan Farah lebih memilih smile untuk membalas pesan Zidane? Baiklah, dirinya paham sekarang. Farah lebih memilih membubuhi dengan emoticon watados seperti itu, alih-alih menjelaskan mengapa ia pulang tanpa menunggu Zidane. Ayolah, Zidane bukannya marah. Hanya saja, Zidane seakan tidak terlihat. Sebenarnya ada tidak sih sosok Zidane di mata Farah?
Yang dapat Zidane lakukan hanya merenung. Tanpa disadari, ia menengadahkan tangannya membuat tetesan air hujan jatuh ke tangannya. “Lo itu bagaikan hujan, Far.” monolog Zidane. Di saat tangannya telah dipenuhi air, Zidane menggenggam tangannya. Membuat air yang memenuhi tangan Zidane tertumpah. “Sulit untuk digenggam.”
Renungan Zidane terhenti, saat satu buah pesan dari Mamanya masuk ke telepon genggamnya.
‘Zidane, cepetan pulang. Anterin Mama ke tempat arisan ya?’
***
Farah masih mengingat dengan jelas, kali pertama ia bertemu dengan Ichan Claudio. Oh, atau mungin, Farah harus memanggilnya Kim Tae Hyun? Karena semestinya, Farah tak lagi perlu merasa kaget saat Ichan menceritakan sedikit banyak tentang dirinya. Dan salah satu poin yang sukses membuat Farah terperangah, yaitu fakta bahwa Ichan merupakan cowok dengan darah Korea asli.
Bayangkan saja sendiri, oppa-oppa Korea yang biasanya hanya dapat dilihat dari layar, kini berada tepat di samping Farah. Farah tak salah, cowok dengan tampilan kontras dibandingkan dengan teman-temannya yang lain ini, memang berada di samping Farah sembari memegang kemudi. Ergh, apa Farah harus bangga dengan hal tersebut?
“Udah deh, gak usah syok gitu. Gue emang ganteng.” celetuk Ichan saat menyadari Farah tengah meliriknya. Lirikan yang tergolong lama.
Merasa konyol, Farah segera memalingkan wajahnya. Ia mendengar kekehan kecil Ichan—yang ia yakini, pasti sedang menertawakan kebodohan Farah. Ah, kenapa juga sih matanya tak bisa diajak kompromi?
Tak terasa, kini mobil Ichan telah menepi di pekarangan rumah Farah. Perjalanan yang singkat, mengingat jarak antara rumahnya dengan sekolah bisa dikatakan lumayan jauh.
Tanpa basa-basi, Farah melepaskan seatbell dari pundaknya. “Thanks udah nganterin, gue—“
“Tunggu dulu, buru-buru amat sih.” cegah Ichan dengan cepat. Lalu ia menengadahkan tangan kanannya meminta sesuatu. “Hp lo mana?”
Farah mengerutkan alisnya. “Untuk apa?” tanya Farah sembari memberikan telepon genggamnya ragu.
Ichan tak menjawab. Ia lebih memilih untuk tersenyum dan mengambil telepon genggam tersebut. Tangannya sibuk mengutak-atik telepon genggam Farah membuat Farah tambah penasaran. Hanya sebentar, Ichan mengembalikaanya pada si empunya telepon. Belum sempat mengecek apa yang sebenarnya dilakukan Ichan dengan telepon genggamnya, lelaki dengan mata cokelat nan terang dan tajam itu keluar dari mobil sembari meraih paying. Tidak disangka, Ichan berlari memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Farah.
Sedikit awkward memang, Farah pun ikut turun dari mobil dan berdiri dengan paying di atas kepalanya. Setelah itu, keduanya berjalan lalu berhenti di teras rumah Farah.
“Mau mampir, hhmm…” tanya Farah gantung. Ia bingung ingin memanggil dengan sebutan apa.
“Kan gue udah bilang, lo bisa manggil gue Tae-Hyun.” pinta Ichan.
Farah berpikir sejenak. “Gak terlalu lebay ya kalau gue manggil lo…, hhmm, apa tadi, Tae-Hyun?”
Lagi, Farah benar-benar mampu membuat Ichan terkekeh. Farah ditambah sesuatu yang membedakan dirinya dengan perempuan lain, sama dengan perasaan hangat di hati Ichan. Apa dirinya terlalu cepat jika menyimpulkan inilah yang namanya cinta?
“Sama sekali gak lebay kok. Justru ini bisa jadi latihan buat lo, supaya lo terbiasa dan gak kaget kalau udah di Korea.” jawaban ambigu Ichan memaksa Farah untuk menautkan alisnya. “Dan gak usah, gak usah mampir dulu. Gue belum ada persiapan untuk ketemu calon mertua.”
Duh, Farah semakin dibuat pusing saja sih.
“Ya udah, gue duluan ya,” pamit Ichan dengan berlalu kembali ke arah mobilnya. Sebelum Ichan benar-benar menancapkan gas mobilnya, ia seperti meneriakan ‘jangan bosen-bosen sama gue ya?!’ dari balik jendela.
Teringat sesuatu, Farah menghidupkan layar telepon genggamnya. Melihat dengan cengo tampilan screen yang menunjukkan kontak WhatsApp baru atas nama ‘Kim Tae Hyun<3’. Huh, ini apa-apaan?
***
Bianca sedikit terjerembat saat menyadari kehadiran Sang Bunda tercinta yang kini tengah menatapnya garang. Merasa heran, dengan berat hati Bianca melepaskan headset sebelah kanan yang tergantung manis di telinganya.
“Kenapa, Bun?” Tanya Bianca tak bersalah.
Gemas sendiri, spontan Alfi—seorang wanita paruh baya yang disebut Bunda oleh Bianca—menarik anak semata wayangnya untuk beranjak dari kasur. Sedangkan yang ditarik hanya dapat menggeram setengah hat. “Aduh… kamu itu lupa atau gimana sih, Bee?”
“Apaan sih, Bun? Bianca lagi negliat Jack Sparrow mainin pedang nih.” Tunjuk Bianca kea rah laptopnya yang tak berhenti menayangkan film Pirates of The Caribbean.
Alfi menggelengkan kepalanya. “Kamu tuh gimana, katanya kamu mau bantuin Bunda nyiapin hidangan buat jamuan arisan Bunda kali ini?” tagih Alfi. “Ayolah, Bee, ini pertama kalinya arisan di rumah Bunda.”
Sejenak, Bianca merutuki dirinya sendiri. Merasa bersalah terhadap Bundanya atas kelalaiannya. Bunda benar, Bianca lah yang salah. Tepat kemarin malam, di tengah acara nonton bersama seperti yang dilakukan keluarga Argadinata rutin setiap dua minggu sekali, Bundanya seakan-akan memproklamasikan dengan bangga bahwa besok acara jamuan arisan akan diadakan di rumahnya. Bianca sedikit mengernyit saat mendengar penjelasan Bunda yang sudah mempersiapkan segala menu terbaik dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bukannya bagaimana, maksud Bianca, harus sampai seheboh itu ya?
“Duh, ini namanya bukan heboh, Bee. Bunda sengaja nyiapin sampe segitunya karena memang harus segitunya.” bela Alfi saat mendengar celotehan tak setujunya Bianca. Dan begitulah menurut Bianca, alasan Bundanya begitu tak logis.
Meski begitu, Bianca teramat sangat menyayangi Bundanya. Alfi Puspa Fadilah, atau biasa dipanggil Tante Fifi oleh teman-temannya Bianca. Oh, bukan. Semenjak Ichan memanggil Bundanya dengan sebutan Omma, teman-temannya pun jadi ikut memanggil Omma—alias panggilan untuk Ibu dalam bahasa Korea. Lucu juga, sahabat berdarah Koreanya ini memang sedikit abstrak.
Dengan memeluk Alfi manja, Bianca berkata, “Ya udah, Bianca bantuin Bunda deh. Nanti Bee yang hidangin makanan sama minuman buat teman-teman arisan Bunda. Bunda jangan khawatir, pelayanan Bianca mirip sama pelayanan di restaurant bintang lima.”
Bianca mengingatnya. Serius, Bianca tidak berbohong. Saat ia pulang sekolah siang tadi, Bianca sudah ada niatan untuk segera persiapan mempercantik diri lalu membantu Bundanya dan Bik Aini di dapur. Memang tidak Bianca pungkiri, meja makan yang dipenuhi berbagai macam menu sempat membuat Bianca tergiur. Hanya saja, melihat derasnya hujan dari balik jendela, memberikan pengertian berbeda kepada gadis berbandana pink ini. Dan jangan salahkan Bianca jika ia malah tenggelam di dalam kelihaian Captain Jack Sparrow memainkan pedang.
“Ayo ke bawah, teman-teman Bunda udah nungguin.” ajak Alfi tak sabar.
Bianca mengangguk antusias. Ia berjalan ke ruang tamu lantai dasar sembari menarik Alfi dan menuntun dengan berseru, “Jangan salahin Bianca ya, Bun, kalau makanannya masuk semua ke perut Bianca.” Alfi hanya merespon seadanya. Ia tau betul porsi Bianca yang tak bisa makan banyak.
Ketika keduanya telah memasuki ruang tamu, suasana riuhlah yang Bianca tangkap. Ruang tamu kali ini terlihat berbeda. Jarang-jarang Bianca mendapati rumahnya yang kedatangan begitu banyak tamu. Yah, jika Bianca menghitung, mungkin ada sekitar lima belas orang. Namun tetap saja, berbanding terbalik dengan suasana yang biasanya tenang mengingat rumah yang tidak bisa dibilang kecil ini, hanya dihuni oleh Rian—ayah Bianca, Alfi dan tentu saja Bianca sendiri. Sedangkan untuk Bik Aini, ia akan pulang ke rumah jika jam sudah menunjukkan angka lima sore.
“Eh, Alfi. Ini anak gadismu yang cantik itu ya?”