Farah berdecak sebal saat menyadari telepon genggamnya tak henti bergetar. Ia berusaha mengabaikannya. Farah lebih memilih untuk memfokuskan pandangan dan pikirannya ke guru yang tengah menjelaskan mengenai sub-materi alkuna.
“Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alkuna merupakan jenis senyawa hidrokarbon tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap tiga. Adapun untuk rumus umum dari alkuna bisa dilihat pada buku teks masing-masing.” ujar Miss Hany.
Lagi, tangan Farah yang tengah sibuk mencatat, terpaksa terinterupsi di saat telepon genggamnya kembali bergetar. Getaran panjang. Farah tebak, kali ini bukan hanya sekedar pesan singkat yang dikirim berulang. Namun, kali ini panggilanlah yang masuk ke telepon genggamnya. Farah mengeluarkan teleponnya dari laci, berusaha mengecek siapa yang berani-beraninya mengganggu di saat pelajaran favoritnya. Awas saja jika Miss Hany sampai memergokinya tak memperhatikan, Farah akan menyalahkan sang penelepon tersebut. Lagipula, ini Miss Hany loh, guru bidang studi kimia yang galaknya super. Bisa bahaya jika Farah terkena potongan nilai. Sudahlah terkenal guru yang pelit memberikan nilai, apa jadinya jika nilai seadanya tersebut harus dipotong lagi?!
Alamat bakal gak bisa kuliah di PTN deh gue, pikir Farah dalam hati.
‘Randy’.
Farah kembali berdecak sebal saat membaca kontak yang meneleponnya via WhatsApp. Farah benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa Randy mengganggunya di saat jam pelajaran masih berlangsung? Dan lagi, ini panggilan video! Gila saja jika harus menjawab panggilan video tersebut di tengah-tengah kelas.
Tak lama, Farah mengklik tombol merah. Memilih untuk mematikan dan tak menerima panggilan video yang—sudah pasti—tak penting itu. Ah, sebodo amatlah. Farah juga sedang tak ingin mengobrol dengan Randy. Jika dipikir-pikir, Farah kembali mengingat kejadian semalam. Cowok itu… ergh, dia pikir Farah barang apa yang bisa dioper ke sana ke mari? Mengapa pula ia harus menitipkan Farah kepada Tae-Hyun?
Well, bukannya Farah tidak bersyukur ada yang mengantarkannya pulang dengan selamat di tengah derasnya hujan. Tentu saja Farah patut untuk berterima kasih atas bantuan tumpangan tersebut. Hanya saja…, huh, Farah tidak suka diperlakukan seperti barang!!!
“Farah, lo gak ke kantin?” Syla bertanya yang sukses membawa Farah kembali ke alam sadarnya.
Farah mendongak. Ia mendapati Syla dan Jolyn yang tengah menghampirinya. Kemudian mereka disusul oleh Melody dan Carla yang memang baru saja mengemasi buku dan alat tulisnya. Ah, Farah tersadar. Bel istirahat pasti sudah berbunyi.
“Ke kantin bareng yuk, Far?” ajak Jolyn.
Farah tersenyum. “Kalian duluan aja. Kayanya, gue mau ke perpus deh.” tolak Farah secara halus.
“Yah, gak asik lo, Far. Kita kan udah sekelas bareng dari masa-masanya kelas X yang polos-polos nyebelin. Tapi nyatanya, kita gak pernah makan bareng di kantin.” protes Carla. Yang sebenarnya, Farah pun setuju dengan protesan tersebut. “Ayo deh, makan bareng. Kita bisa ngobrol-ngobrol juga.”
Farah tampak berpikir. Terlalu lama sampai Melody tak tahan untuk mengeluarkan decakannya. “Ehm…, makan di kantin ya? Serius, gak papa nih?”
“Ya, gak papa lah.” seru Syla heboh. “Gak papa kan, Mel?” Syla beralih ke Melody yang sedari tadi belum mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ya, tanya aja. Orangnya mau gak sama kita.” Melody dan jawaban ketusnya.
Kini, pandangan Syla, Jolyn dan Carla terarah ke Farah. Pandangan yang meminta persetujuan. Sedangkan yang dipandangi, tengah berpikir keras. Kentara sekali jika Farah ragu. “Ehm, oke deh. Gue juga belum ada sarapan.”
“Yes! Gitu dong!” Syla, Jolyn dan Carla bersorak heboh.
“Saatnya kita makan!” Carla menarik Farah beranjak dari tempat duduknya. Sedangkan Syla dan Jolyn mengapit Melody untuk segera melangkahkan kakinya mengikuti kepergian Carla. Melody sempat memutar bola matanya. Yah, sepertinya ia salah menjawab tadi. Melody mengira Farah akan kekeuh pergi ke perpus, atau ke mana pun itu yang menjadi habitatnya, alih-alih menerima tawaran teman-temannya untuk makan bareng di kantin. Awas saja jika nanti Melody sampai tak nafsu makan, Melody akan menyalahkan kehadiran orang asing di kumpulannya.
Usai memesan di antrian yang tak begitu panjang pagi ini, mereka memilih untuk duduk di meja kantin nomor dua puluh satu. Meja yang menjadi favorit Melody sejak kelas X. Pasalnya, dari meja ini, Melody dapat melihat pemandangan taman di sekolahnya yang juga menyediakan kolam ikan. Apalagi jika duduk di kursi arah jam dua belas, pasti agle yang dilihat akan lebih pas.
Saat Melody hendak duduk di kursi yang juga menjadi favoritnya, Farah telah lebih dulu menduduki kursi tersebut. Melody sempat membelalakkan matanya. Ketiga temannya jelas mengetahui itu kursi yang pasti akan Melody duduki ketika makan. Tapi lihat saja sekarang, ketiga temannya seakan tidak menyadari hal tersebut dan malah sudah memulai untuk menyuapi sendok ke dalam mulut. Hah, siapapun itu, tolong katakan pada Melody untuk bersabar.
Dengan enggan, Melody menarik kursi kosong lainnya dan segera duduk. Menatap jengah ke arah ketiga temannya yang… ergh, masih saja tidak menyadari kekesalan Melody. Tatapan Melody berpindah ke arah Farah. Bisa-bisanya perempuan satu ini bersikap seakan Melody senang akan kehadirannya. Ayolah, pasti ada yang tidak beres dengan hari ini.
“Far, makasih ya, karena kemarin lo udah ngerawat gue di UKS.” ucap Carla berterima kasih. “Tapi, serius deh, waktu kaki gue terkilir, itu sakit banget. Untungnya ada lo, jadinya kaki gue udah rada baikan.”
“Farah mah jangan ditanya kali, La. Ketua PMR gak perlu diragukan lagi. Ya gak, Far? Hehehe.” sambut Syla.
Jolyn menyeruput jus alpukatnya karena kepedasan. “Bener tuh, gak salah deh ketua PMR-nya lo.”
Farah tersenyum. Tak dipungkiri, mendengar komentar baik atas kerja kerasnya selama ini, membuat ia mengembangkan senyuman. “Kalian pada lebay banget. Anak PMR yang lain juga sama kaya gue. Sebelum ditugasin untuk piket UKS, semua harus ditutor dulu.” jelas Farah menerangkan kinerja sistem UKS.
“Nah, bagus deh kalau gitu. Kalau diingat-ingat, waktu awal masuk kelas X, gue pernah ikut ekskul PMR. Lo inget kan waktu kita main game bareng? Lo yang jadi pasangan gue?” tanya Jolyn bernostalgia.
Farah tampak berpikir, lalu akhirnya ia mengangguk. “Iya, gue inget kok. Waktu main tebak kata itu, kan?”
Jolyn terlihat antusias. “Iya, bener!”
“Coba aja waktu itu lo gak keluar dari ekskul PMR, mungkin lo udah jadi kandidat piket UKS, Lyn.” ujar Carla bercanda.
Jolyn memberenggut. “Iya, nyokap gue nyuruh ikut les tambahan sih. Jadinya gue gak punya waktu untuk dateng buat latihan PMR lagi. Biasa, nyokap gue kan lebih kahwatir sama nilai gue daripada guenya sendiri.”
Syla menyetujui. “Sama, bokap gue juga gitu.”
“Kalau lo sendiri, Far, ada ikut les tambahan gitu gak di luar jam pelajaran sekolah?” tanya Carla.
“Enggak ada, soalnya gue punya kakak di rumah. Biasanya gue belajar bareng kakak.” jawab Farah sembari menyadari adanya fakta bahwa belakangan ini kakaknya yang tengah dilanda berbagai macam kesibukan dan suka-duka masa skripsi. Yah, sudah seminggu jam belajar bersama di rumah tidak ada.
“Wih, enak dong, punya kakak pengertian.” Jolyn mengalihkan perhatiannya pada Melody. “Diantara kami ber-empat, Melody nih yang punya jadwal les paling padat.”
“Tapi hebatnya, Far, semua les itu, atas kemauan Melody-nya sendiri. Sedangkan orang tua Melody sih ngasih kebebasan sama anaknya. Mau les ya silahkan, enggak juga gak papa. Beda banget lah sama bokap gue.” Syla menyenggol Melody. “Iya kan, Mel?”
“Biasa aja.” respon Melody seadanya tanpa perlu mengangkat wajah. Ia masih sibuk menyantap ketoprak yang tinggal setengah itu.
Carla yang masih tak menyadari keengganan temannya tersebut, masih melanjutkan. “Dan lo tau gak, Far, belakangan ini, Melody lagi belajar ilmu komputer. Apa tuh, Mel, yang lo bilang kemarin?”
Melody beringsut mengambil tisu. “Programmer, coding, hacker. Lo lupa mulu sih, La.” dengus Melody.
“Nah, iya itu!” seru Carla heboh sendiri.
“Tapi untuk kali ini, si Melody otodidak loh, Far. Dia ngeliat dari internet.” sambung Jolyn.