“Baiklah, anak-anak, sampai jumpa dipertemuan selanjutnya.”
Bianca bersorak lega. Akhirnya, siksaan logaritma terlepas juga dari bahunya. Ia merenggangkan jari-jarinya yang kaku. Setelah dirasa lebih baik, Bianca mulai memberesi semua alat tulis dan bukunya. Ia memasukkan semua alat perangnya dan mungkin akan melanjutkan peperangan mandiri di rumah. Ya ampun, mengapa Bianca bisa selebay ini sih dalam mendeskripsikan belajar.
Bianca yang akan beranjak pergi, menyadari ada seseorang yang menghampirinya. Ia terkekeh dan menggeleng kecil. Hanya melihat bayangannya saja, Bianca jelas mengetahui bahwa itu adalah temannya. Ichan pasti hendak mengagetkannya. Well, Ichan dan kebiasaan menyebalkannya.
“Gak usah ngagetin, karena gue gak bakal kaget.” ujar Farah membuat suara keluhan terdengar dari arah belakangnya.
Ichan beringsut mendekat. “Kok lo selalu tau sih?” tanya Ichan dengan wajah cemberutnya.
Bianca menyampirkan tasnya ke punggung. “Ya, gimana gue gak tau, lo selalu pake cara kolot itu sih.” Bianca berdiri menghadapkan tubuhnya ke arah Ichan. “Udah ketebak.”
Masih dengan wajah cemberut seakan belum menerima kenyataan, Ichan menyampaikan, “Bee, lo udah dapet kabar dari nyokap lo belum?”
“Kabar? Kabar apaan? Bunda gak ada ngomong apa-apa.” Bianca menggelengkan kepalanya. “Selain Bunda bilang mau ke kantor yayasan, enggak ada tuh. Eh…”
“Iya.” Ichan mengarahkan telepon genggamnya pada Bianca. Mempersilahkan gadis tersebut membaca pesan dari Bundanya yang dikirimkan kepada Ichan. “Omma lo tadi ngirim pesan itu. Katanya gak bisa jemput lo, kantornya ramai parah, bakalan lama dan sekarang juga belum selesai ngurus suratnya.”
Bianca mangut-mangut mengerti. Mengabaikan panggilan Ichan kepada Bundanya dengan panggilan ibu dalam bahasa Korea. Setelah dirasa cukup, ia mengembalikan telepon genggam Ichan. “Ya udah deh, gue pulang duluan.” Bianca terlihat tergesa-gesa setelah mengecek jam tangannya. “Gue harus ngejer bus sekolah, entar gue ketinggalan lagi.”
Ichan mencekal tangan Bianca yang hendak beranjak pergi. “Lo tuh gimana sih, Bee. Alasan Omma ngirim pesan ke gue, ya supaya lo pulang bareng gue.”
Bianca tampak berpikir sejenak. “Tapi… bukannya lo ada urusan ya pulang sekolah ini?” Bianca masih mengingat dengan jelas betapa menjengkelkannya Ichan saat memamerkan kesibukannya hari ini. Meskipun Ichan tidak menjelaskan dengan rinci apa yang sebenarnya membuat ia sibuk, namun Ichan sukses membuat Bianca malas dengan ‘gue-bakal-ngelakuin-hal seru’ atau ‘lo-pasti-cemburu-sama-kesibukan-gue’.
Ichan mulai mengeluarkan senyuman penuh maknanya. Yang jelas, membuat Bianca harus siap siaga. “Gue rasa, gak papa deh lo ikut. Gue mau ngenalin lo sama seseorang.”
Bianca mulai melangkahkan kakinya saat Ichan mendorong bahunya pelan. Mengisyaratkan arti bahwa kini saatnya untuk segera pergi menuju parkiran. “Ngenalin gue ke seseorang?” Ichan balas mengangguk dengan kelewat semangat. Jelas saja, hal tersebut membuat Bianca semakin curiga. “Jangan main-main deh, Chan. Gue gak mau ya dikenalin sama cowok.”
“Yah, sebenarnya gue emang berpikiran untuk cepet-cepet ngenalin lo sama temen cowok gue sih. Lo mau gue kenalin sama siapa? Temen cowok gue yang di basket, di tempat les, atau di SMA sebelah?”
Bianca memukul bahu Ichan geram. “Heh, lo kira gue apaan pake acara dikenalin segala.” Bianca menghentikan langkahnya. Ia hendak memutar haluan. “Enggak, gue gak mau.”
Ichan terkekeh sendiri. “Ya elah, enggak ke cowok kok. Percaya aja lo sama omongan gue.”
Bianca menatap Ichan dengan tatapan mengintimidasi. Sayangnya, yang ditatap malah semakin menggelakkan tawanya. “Jadi… sama cewek?”
Ichan mengangguk sembari mengontrol senyuman lebar. Ia mengarahkan Bianca untuk lagi-lagi menuju ke arah parkiran sekolah. “Ehm, liat aja deh nanti.”
“Ini enggak yang aneh-aneh kan, Chan?”
Setelah sampai, Ichan membukakan pintu untuk Bianca. Bianca sempat mengernyit saat Ichan mempersilahkannya duduk di bagian jok belakang mobil. Ia melirik kursi bagian depan, kursi yang bersampingan dengan pengemudi. Lalu lirikannya beralih ke arah Ichan. Dengan enggan, akhirnya Bianca memilih masuk dan duduk. Mengabaikan semua pertanyaan yang mencokol di benaknya.
Bianca terus memperhatikan Ichan. Kini sahabatnya itu tengah menjalankan mobil ke arah yang—jelas—bukan menuju rumah Bianca maupun rumah Ichan sendiri. Pertanyaan semakin menumpuk di pikiran Bianca. Ke mana Ichan akan pergi? Mengapa ia mengambil jalan utara? Dengan siapa sebenarnya Ichan akan memperkenalkannya? Cewek… siapa? Dan, mengapa pula Bianca harus duduk di kursi bagian belakang?! Ah, yang benar saja. Semakin dipikirkan, semakin mengambang jawaban yang ingin ia temukan.
Bianca mengerjap saat menyadari Ichan telah keluar dari mobil, membuat suara pintu mobil yang tertutup terdengar. Bianca melihat sekitar. Melihat kini ia tengah berada di depan sebuah sekolah. Tunggu, ini SMA Djuwita. Bianca tidak salah, ini sekolah yang kemarin ia kunjungi untuk membuka stand bazar. Pupil mata Bianca menangkap siluet Ichan. Di sana, di depan gerbang, tengah berbicara dengan seorang perempuan.
Tak lama, Bianca dapat melihat langkah Ichan dan perempuan yang entah-siapa-namanya-itu semakin mendekati mobil. Jika boleh jujur, sedikit sesak rasanya saat menyadari kini Ichan tengah membukakan pintu mobil untuk perempuan tersebut. Sungguh, Bianca tidak menyangka, Ichan membukakan pintu agar perempuan itu dapat duduk di kursi samping pengemudi. Perlu digaris bawahi, Ichan mempersilahkannya duduk di kursi samping pengemudi! Bianca melihat kursi di sebelahnya yang kosong, lalu tatapannya kembali ke depan memastikan apa yang baru saja terjadi.
Ichan yang telah duduk di kursi pengemudi, menghidupkan mobilnya. Sesaat, Ichan melirik Bianca dari kaca spionnya. “Bee, lo ikut kita makan dulu ya?”