The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #14

Chapter 14: WHEN YOU STEAL'S

Farah menunduk. Pandangannya jatuh pada layar telepon genggamnya. Layar yang menampilkan akun instagram Bianca. @bee.bianca yang tertera dengan jelas di akun pantauan Farah tersebut. Ia mulai menggulir layar. Ke bawah, semakin ke bawah. Melihat kenangan-kenangan yang berhasil tertangkap kamera. Kenangan-kenangan yang Bianca—teman kenalannya sejak setengah jam yang lalu—bagikan ke seluruh dunia. Farah tersenyum, melihat Bianca dengan topi imutnya, Bianca dengan kucing peliharaannya, Bianca dengan Ichan, Bianca dengan Ichan, dan Bianca dengan Ichan versi kecil.

Jari Farah terhenti. Ia mengklik tanda hati, bermaksud memberikan love pada foto terakhir Bianca. Foto Bianca kecil dengan wajah belepotan. Tepat di samping Bianca, terlihat Ichan kecil yang malah menertawakan Bianca kecil. Foto yang lucu. Hati Farah tergerak. Kembali, senyuman terukir di bibir Farah. Pandangannya ia naikkan. Menolehkan kepala untuk menyaksikan kendaraan yang berlalu lalang dari balik kaca jendela taksi.

Persahabatan yang terjalin antara Bianca dan Ichan, mengingatkan Farah dengan Zidane. Mereka mempunyai kesamaan yang sama. Persahabatan yang dimulai sejak kecil. Lucu, persahabatan yang lucu. Bianca dan Ichan, Farah dan Zidane. Persahabatan dan kenangan. Takdir dan kebetulan? Lucu, Farah kembali tersenyum.

Hiruk pikuk keramaiannya jalan membuat Farah tenggelam dalam lamunannya. Sesaat setelah Bianca beranjak pergi meninggalkan meja makan Café Arietta, Farah memilih untuk pulang dengan taksi. Meminta Ichan untuk segera mengejar Bianca dan mengantarkannya pulang. Lagipula, Bianca sedang sakit. Tidak mungkin ia pulang sendiri di keadaan tidak sehat seperti itu. Ah, benar juga. Dan lagipula, rumah mereka searah. Bianca dan Ichan bertetangga. Tidak ada yang salah di sini, Farah mengambil langkah tepat.

Farah kembali memaku perhatian pada layar telepon genggamnya. Ia mengklik tombol follow bermaksud untuk mengikuti akun instagram Bianca. Setelah itu, ia menutup aplikasi instagramnya. Membuka kalender dan memperhatikan setiap angka yang seakan menari-nari di hadapannya. Randy tidak salah. Sadar tidak sadar, sembilan hari lagi, keputusan Bu Rosma akan final. Tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa pula ia lupakan begitu saja. Setidak-tidaknya, jika ia memang harus turun dari jabatan, ia harus meninggalkan nama yang baik pada kepengurusan PMR. H-9. Itu bukan waktu yang lama.

Tatapan Farah berubah sendu. Mungkin kata maaf saja tidak cukup. Benar, kata maaf memang tidak akan cukup untuk membayar apa yang ia lakukan. Tapi… Farah terpaksa. Bukan ini kemauannya. Bukan ini yang ia harapkan. Farah tau, ia telah egois jika masih berniat untuk melanjutkan. Betapa menyebalkannya terjebak ke dalam situasi super dilema seperti saat ini. Farah tau, kata maaf saja tidak cukup. Namun, hanya maaf yang dapat Farah katakan.

***

“Udah gue bilang, gue gak sakit!!! Lo gak denger ya? GUE GAK SAKIT!” Bianca berteriak menolak ajakan Ichan untuk keluar dari mobil. Pendiriannya kekeuh tak bergerak sedikitpun.

Kini, keduanya tengah berada di depan pintu utama Rumah Sakit Embung Fatimah. Ichan bermaksud untuk mengecek kondisi Bianca. Suhu badan sahabat perempuannya yang satunya ini memang tinggi. Matanya merah, hidungnya terus mengeluarkan cairan. Air matanya keluar. Bukankah jika seperti ini, Bianca sedang menahan sakitnya?

“Kita cuma periksa doang, Bee. Sebentar aja, gak bakalan disuntik kok.” jawab Ichan mengingat dengan jelas ketakutan Bianca pada jarum suntik.

Bianca mendengus tak percaya. Jadi, maksud Ichan, dirinya hanya beralasan karena takut jarum suntik? Setidak percaya itu Ichan kepadanya? “Kalau gue bilang gak sakit, ya berarti gak sakit!”

Ichan menggeleng tak setuju. “Tapi Farah bilang lo sakit.”

“Cewek itu yang bilang gue sakit? Si Farah itu sok tau banget ya?” sarkasme Bianca. Bukan sakit secara fisik, namun lebih seperti luka di hati. Bianca mendesis merasa bodoh. Memutar bola matanya tak ingin mendengar lebih banyak omong kosong yang terlontar dari mulut Ichan. “Udah deh, Chan, gue mau pulang!”

Ichan menahan pintu mobil yang hendak ditutup oleh Bianca. “Jadi lo gak mau diperiksa dulu?” tanya Ichan melembut. Bianca memilih tak menjawab. Membiarkan Ichan menebak sendiri apa yang ia rasakan. “Tapi lo harus janji ke gue, di rumah, lo harus minum obat, terus langsung istirahat.”

“Gue ada kerja kelom—“

“Enggak.” potong Ichan cepat. Ia tak menerima apapun itu alasan Bianca. “Enggak, lo harus langsung istirahat. Kerja kelompok bisa kapan-kapan, Bee.”

Bianca menghela napas. “Iya, udah buruan, gue mau pulang.”

Setelah mendapat persetujuan Bianca, Ichan berlalu dan memasuki mobil. Tangannya yang hendak memasang seatbelt, terpaksa terhenti saat mata Ichan menangkap sesuatu yang ganjal. Ia lebih memperhatikan dengan seksama lagi. Meyakini apa yang ia lihat itu benar.

“Bee…” panggil Ichan ragu. “Itu… bukannya Kak Tama?”

Bianca yang enggan, tetap mengikuti arah tunjukan jari Ichan. Pandangan matanya menangkap seorang laki-laki yang tengah menurunkan kursi roda. Bianca tambah mengernyit heran, ketika laki-laki tersebut membukakan pintu mobil dan membantu seorang perempuan untuk duduk di kursi roda tersebut. Seketika, matanya membelalak tak percaya. “Itu… Kak Tama? Tunggu, itu… bukannya Diva?”

Baik Ichan maupun Bianca, keduanya tahu, jelas ada yang salah di sini. Entah apa itu tepatnya.

***

Randy mengernyit heran saat mendapati suasana kelas yang berbeda. Pagi ini, kelas Randy yang biasanya selalu memancarkan aura kesantaiannya—well, ini yang dikenal dari anak IPS, bukan?—benar-benar terasa mencekam. Randy mengedarkan pandangan dan belum juga mengetahui apa yang sedang terjadi. Karena kini, semua pasang mata di kelasnya seakan sibuk memperhatikan kehebohan di tengah ruangan kelas XI-IPS-1 tersebut.

Setelah berhasil memposisikan diri pada bangku miliknya, Randy menyenggol Gerind. “Ada apaan tuh, Ger?”

“Itu, si anak juara umum satu, kehilangan buku catatannya sih katanya.” jawab Gerind seadanya. Lalu fokusnya kembali pada rubik yang sudah hampir berhasil ia selesaikan.

Di lain sisi, Nayla tengah sibuk membongkar isi lokernya. Mencari dengan tergesa-gesa mengakibatkan buku yang sebelumnya tertata rapi, terpaksa jatuh dan terinjak oleh sepatunya sendiri. Ia semakin gusar saat tak dapat menemukan buku catatan yang ia selalu bawa di dalam tasnya. Buku catatan itu sangat berarti bagi Nayla. Buku dengan ketebalan 300 lembar yang berisi rangkuman semua mata pelajaran. Jika buku itu benar-benar hilang, entah apa yang akan terjadi padanya.

“Argh!!!” geram Nayla membuat satu kelas terlonjak kaget. Sebagian mendesis tidak suka karena tingkah dramatisnya, lalu sebagian lagi berbisik kecil menyuarakan semacam ‘siapa-sih-yang-berani-ngambil’ atau ‘gila-gue-kira-anaknya-pendiem.’

Nayla menutup pintu loker mininya dengan keras. Terlalu keras sebenarnya hingga kuncian loker tersebut sampai terlepas. Nayla menghela napas berat, merasa akan meledak. Ia membalikkan badannya untuk menghadap seisi kelas. Nayla tahu, matanya mulai memerah. Hanya saja, menangis tidak akan mengembalikan buku catatannya tersebut.

Seperkian detik, Nayla beranjak menghampiri Karina dan segerombolan temannya. Tanpa permisi, ia langsung mengambil tas Karina dan berusaha membongkar isi tas perempuan yang menyandang predikat juara umum dua tersebut.

“Heh, lo gila ya?!” pekik Karina tak terima. “Bukan gue yang ngambil!”

“Balikin buku gue sekarang!” Nayla menepis tangan Karina dan berhasil menjatuhkan semua barang dari dalam tas Karina. “BALIKIN!”

Tak menemukan, Nayla beralih mengambil tas milik Diana dan Sonya, melakukan hal yang sama pada tas keduanya meski ia harus melawan untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai. Masih belum menyerah, Nayla melangkahkan kakinya menghampiri Vivian. Satu sekolah sudah tidak heran lagi dengan kebencian Vivian kepada Nayla, pun sebaliknya.

“Heh, mana tas lo?!” desak Nayla.

Lihat selengkapnya