Dengan tangannya, Farah menyodorkan roti lapis kepada Randy. Membuat Randy menaikkan pandangannya untuk sekedar mengecek siapa sang pemberi roti di hadapannya tersebut. Farah, dengan wajah yang tersenyum hangat, memilih membukakan bungkusan yang melindungi roti, lalu menyuapi Randy meskipun cowok tersebut terlihat bingung.
Tak ingin semakin bertindak bodoh, Randy mengunyah. Menyadari Farah yang sempat terlihat di kelasnya ketika adegan kemarahan Randy, membuat Randy membuka suara. “Lo ngapain di kelas gue?”
“Hah?” tanya Farah.
“Itu… tadi, gue ngeliat lo di kelas gue, waktu gue lagi marah-marah gaje” jelas Randy yang terasa memalukan.
Farah tampak berpikir. “Oh, jadi lo ngeliat gue?” Randy mengangguk. “Kenapa lo gak nyamperin gue? Gue kan, baru pertama kali ke kelas lo.”
Giliran Randy yang tampak berpikir. “Lo mau gue sapa?”
“Kenapa enggak?”
“Yah, siapa sih yang mau di sapa anak berandal kaya gue?”
Tak disangka, Farah malah tertawa keras. Terlalu keras sebenarnya hingga Farah merasa perutnya sakit. “Sumpah, alasan paling konyol yang pernah gue denger.” berhasil meredakan tawanya, Farah mengatur nafas. “Sorry, sorry, kelepasan.”
Melihat Farah yang dengan santai membuka bungkusan roti lapis lainnya, sukses mengundang kernyitan alis Randy. “Lo aneh deh, Far.” Randy menggeleng-gelengkan kepala, lalu melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda.
“Aneh? Hhmm, yah, gue tau kok kalau gue aneh. Zidane juga sering bilang gue aneh.”
“Jadi, lo ngaku kalau lo aneh?”
Farah mengangguk tanpa merasa janggal. “Iya, ngaku kok. Kalau kata Zidane, gue itu bakal berubah aneh kalau udah ngerasa deket sama orang.”
Kunyahan Randy terhenti sejenak. Ia menolehkan pandangannya ke arah Farah. “Emang… kita deket?”
“Ya, jelas lah. Lo pernah ngasih gue roti, sekarang gue yang ngasih lo roti. Lo pernah jadi orang yang paling ngeselin, sekarang lo malah jadi orang yang paling sering gue cari. Kita sama-sama terlibat di suatu masalah, dan kita juga sama-sama berusaha untuk keluar dari masalah. Itu tandanya kalau kita udah deket, kan?”
“Hah?” Randy cengo.
“Yah, maksud gue, mungkin konteks deket gue kaya gitu. Gak tau deh konteks deket lo kaya gimana.” jelas Farah meluruskan. Seperkian detik kemudian, Farah menunjuk wajah Randy mengintimidasi. “Eh, atau jangan-jangan, konteks deket lo jauh lebih intim ya?”
“Apaan sih lo? Ya, enggaklah!”
“Kirain.”
Farah yang cuek, berbanding terbalik dengan Randy yang masih tidak mengerti. Ia teramat sangat yakin, kehadiran Farah di sini, bukannya tanpa alasan. Alih-alih menjauh dan menghindar dari biang keroknya segala kejadian aneh, Farah malah satu-satunya dari sekian banyak manusia di muka bumi yang rela melangkah mendekat. Ini sesuatu yang lucu bagi Randy. Ia sudah terbiasa hidup dengan kesendirian. Keluarga yang seakan-akan tak menyadari keberadaannya, merupakan salah satu fakta pendorong yang menjadi alasan mengapa Randy harus bisa beradaptasi dengan semua kemandirian.
Sekeras apa pun Randy mencari bagaimana rasanya kebersamaan, sekeras itu pula ia mendapati dirinya lagi dan lagi terjebak dalam kesendirian. Randy telah jatuh. Jatuh ke dalam jurang yang entah sudah berapa lama. Dirinya selalu mendapati ketidak inginan kosa kata ‘kebersamaan’ itu untuk berjalan bergandengan dengannya. Memilukan jelas bukan gayanya. Randy mengetahui, kebersamaan mungkin memang tidak cocok dengannya.
Yah, setidaknya, itu yang Randy pikirkan. Itu yang Randy pikirkan hingga akhirnya perasaan bodoh kembali menguasainya. Keinginan untuk kembali ke dalam kebersamaan, datang menghampirinya tanpa permisi. Randy sudah memikirkan hal ini berkali-kali. Ia sudah mengecek dan mengakurasi sampai-sampai ia merasa terhisap ke dalam lumpur hidup. Semakin bergerak, semakin cepat terhisap ke dalam.
Walaupun aneh, Randy yakin, ini semua karena Farah. Iya, tidak ada yang salah di sini. Farah, memang menjadi alasan di balik keinginan Randy untuk kembali merasakan apa itu kebersamaan. Kehadiran perempuan yang kini tengah bersenandung sembari mengayunkan kakinya dan mulut tak berhenti mengunyah, tentu saja bukanlah sejenis skenario tanpa dialog. Hanya saja, huh, terlalu cepat jika Randy menyimpulkan ini adalah cinta. Terlalu cepat jika Randy menyimpulkan ini adalah perasaan yang berhak dimiliki pasangan kekasih.
“Gue tau kalau itu bukan lo.” celetuk Farah mengembalikan fokus Randy. “Gue tau, lo gak mungkin ngambil buku catatan orang lain.”
“Lo tau?” tanya Randy tidak yakin.
“Iya.” sekilas, Randy merasa melihat Farah seperti sedang menahan tawa. “Gue tau—“ dan kini, tawa Farah tak tertahankan. “—karena lo gak mungkin minat sama buku catatan, hahaha.”
Aneh, Randy ikut terkekeh. “Iya juga sih, sejak kapan gue minat sama buku.”
Masih tertawa, Farah menepuk-nepuk bahu Randy pelan. “Hahaha, iya, kan? Gue bener, kan?”
Kini Randy yakin, kehadiranmu bukannya tanpa alasan.
***
Untuk ke-tiga kalinya, Ichan memarkirkan mobil sedannya di parkiran SMA Djuwita. Ichan masih mengingat, kali pertama ia datang ke SMA ternama yang terletak di sebelah sekolahnya, jelas untuk kegiatan pertandingan basket antar sekolah. Sekolah yang bagus, terlihat sesuai dengan apa yang selalu Ichan dengar mengenai sekolah satu ini. Djuwita yang mencetak siswa-siswi unggulan peraih nilai terbaik, kandidat mahasiswa di perguruan tinggi favorit, serta segudang rumor lainnya. Mungkin apa yang ia dengar memang benar adanya.
Ichan juga masih mengingat, kali ke-dua ia ke SMA Djuwita, untuk menjemput seseorang yang berhasil mencuri hatinya. Sempat kecewa sebenarnya saat mendapati ketidak bertemuannya ia dengan Farah. Ditambah lagi dengan hujan deras yang tiba-tiba mengguyur bumi. Namun, siapa yang menyangka, alam semesta ternyata memang memiliki rencananya sendiri. Tentu ada alasan di balik tuhan yang mengarahkannya ke emperan toko di mana Farah sedang menunggu hujan reda.
Untuk kali ke-tiga Ichan datang, tentu juga di dasari dengan alasan. Entah bagaimana Ichan mengungkapkan rasa senangnya, saat mengetahui bahwa Farah ingin bertemu dengannya. Pesan singkat yang perempuan manis itu kirimkan, sukses membuat Ichan tak sabar menunggu bel pulang berbunyi. Ini memang untuk kali ke-tiga, maksud Ichan, baru kali ke-tiga. Hanya saja—tanpa perlu fakta pendorong lainnya—Ichan yakin, ini tidak hanya berhenti di angka ke-tiga. Ichan yakin, masih akan ada angka ke-empat, ke-lima, dan seterusnya.
Well, dan di sinilah Ichan sekarang. Berdiri di depan mobilnya menunggu Farah yang sebentar lagi akan keluar gedung sekolahnya. Dari pesan yang baru saja Farah kirim, ia mengatakan tengah menyusuri lorong. Ah, di sana, Ichan berhasil menangkap siluet Farah. Di sana, tengah mengedarkan pandangan yang mungkin saja berusaha mencari Ichan.
Ichan melambaikan tangannya ke atas. “Farah!”
Farah menoleh, mendapati Ichan dengan seragam SMA Garuda yang begitu kontras dengan teman-temannya yang lain. Farah berjalan mendekat, “Udah lama? Sorry ya.”
“Enggak kok, enggak lama.” jawab Ichan. Ia membukakan pintu mobil, mempersilahkan Farah untuk segera masuk.
“Hehe, makasih.” ucap Farah setelah memposisikan duduknya dengan nyaman di kursi penumpang.
Ichan mulai mengemudikan mobilnya. Keluar pekarangan sekolah Farah dengan melewati gerbang utama. Gerbang yang juga menjadi pintu di mana segerombolan anak SMA Garuda lewati agar dapat masuk sepekan lalu. Gerbang yang terbuka sendiri seakan-akan sistemnya telah dikendalikan orang lain. Farah bertekad dalam hati, ia pasti akan menemukan siapa pelaku di balik semua ini.
Ichan berdehem. “Ehm, kita mau ke mana, Far?”
Farah melepaskan pandangannya dari gerbang yang telah hilang ketika mobil berbelok. “Mungkin… makan? Lo laper gak?”