“Cieee, yang udah tujuh belas tahun.”
“Selamat ya, Mel, atas hari kelahiran lo.”
“Cepet banget deh lo tujuh belas tahun, padahal masih kaya anak SMP.”
Melody tersenyum riang menanggapi candaan beberapa teman dan kenalannya yang datang menghampiri kelasnya. Setelah Melody mengirimkan undangan ulang tahun versi digitalnya di grup kelas dan sekolah, perhatian langsung jatuh ke perempuan berbandana polkadot tersebut. Berbagai ucapan pujian ia dapatkan di pagi hari ini. Melody juga tidak menyangka akan banyak yang menanggapi undangan digitalnya itu.
Memang benar adanya, ini kali pertama Melody mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan ulang tahun. Awalnya, ia sama sekali tidak berminat untuk merayakan hari bertambahnya satu tahun dari umur yang menjadi jenjang waktu ia hidup. Sama sekali tidak terpikirkan untuk mengundang teman-temannya agar dapat hadir dan ikut memeriahkan hari tersebut. Namun, sepekan sebelum jatuhnya hari ulang tahun Melody, Mama dan Papanya tak bosan memborbardir dengan pernyataan langka. Pernyataan yang terdengar seperti 'mau-dirayain-gak?’ dan 'ini-sweet-seventeen-loh' ditambah lagi dengan 'harus-lebih-berkesan-dibanding-tahun-lalu.’
Setelah sekian lama berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya Melody menyetujui untuk membuat perayaan ulang tahunnya. Perayaan ulang tahun ke-17 yang diselenggarakan pada malam hari ini. Tidak ada yang salah, semua telah disiapkan dengan baik dan maksimal oleh tim acara yang dipesan Mamanya. Melody rasa, ia sudah siap untuk mengeluarkan kue malam ini.
“Lebay deh lo pada.” Meldoy tertawa kecil. “Gak usah ngasih selamatnya sekarang, entar malam aja di pesta gue. Jangan lupa datang ya...”
Ketika mata Melody menangkap kedatangan Zidane dari ambang pintu, gadis dengan senyum manis yang tak pernah lepas dari bibirnya tersebut, memilih untuk berpamitan pada teman-temannya dan segera menghampiri Zidane.
“Jangan lupa datang ya...” ujar Melody sembari memberikan undangan berbentuk kertas tebal kepada Zidane. Ia mendudukkan tubuhnya di sebelah Zidane. Tempat duduk yang menjadi singgasananya selama kelas sebelas ini.
Zidane mengambil undangan yang Melody sodorkan. “Ada versi cetaknya ya? Gue kira cuma versi digital aja, sama yang kaya lo share di grup.”
Melody terkekeh. “Gue juga buat yang versi cetak. Lebih keren, kan?”
Zidane menyetujui. Ia terlihat sibuk melihat undangan berwarna biru laut yang terkesan mewah. “Keren kok.”
“Cuma orang tertentu loh, Dane, yang dapat undangan versi cetak. Gue gak ngasih ke sembarang orang.” ungkap Melody.
“Emang ada perbedaan sama yang versi digital?”
“Jelas ada dong Kalau lo bawa undangan cetak ke pesta gue nanti malam, lo bisa duduk di kursi VIP.” jelas Melody berpromosi. “So, dont be late.”
Zidane tertawa. “Aman, gue bakal bawa kado juga kok.”
Keduanya masih asik berbincang, hingga Melody tersadar perhatiannya teralihkan. Ia melirik dari ekor matanya, menangkap siluet Farah yang entah datang dari mana, kini sudah duduk manis di tempat duduknya. Tak hanya Melody yang menyadari kedatangan perempuan dengan tangan tak henti berkutat di telepon genggam tersebut, Zidane bahkan terang-terangan menyapa Farah yang dibalas seadanya.
Melody berpikir sejenak. Ia melihat Farah lebih lekat lagi, melihat Zidane yang masih berusaha membuat obrolan pada Farah, melihat kertas undangan yang digenggam Zidane, lalu kembali melihat Farah. Melody menghela napas untuk kesekian kalinya. Merasa jengah dengan pemandangan di hadapannya.
Membaca novel, mungkin bisa menjadi senjata paling ampuh untuk mengalihkan perhatiannya. Maksud Melody, siapa yang tidak akan tenggelam dalam euphoria asiknya perjalanan Rachel Summer dalam tahapan move on? Itu yang Melody inginkan. Sayangnya, novel berjudul The Single Girl To-do List karya Lindsey Kelk tersebut, tak dapat menenggelamkan Melody ke dalam tiap kata yang disajikannya.
Melody mengecek isi tasnya. Mendapati kertas undangan versi cetak yang tersisa satu. Melody tidak membuat versi cetak dalam jumlah banyak. Seperti yang telah ia sampaikan pada Zidane, hanya orang tertentu yang ia pikir dapat menerima undangan cetak ini. Melody mulai mengingat-ingat, baik Syla, Jolyn, Carla, maupun Carissa, sudah mendapatkan undangan cetak. Beberapa teman dekatnya dari sekolah sebelah, juga sudah ia kirimkan via jasa pengantar. Si ketos, waketos, serta Zidane—incaran Melody yang paling utama—juga sudah.
Apa Melody perlu memberikan undangan versi cetak yang tersisa satu ini kepada Farah? Maksud Melody… ini tinggal satu. Sayang jika tidak diberikan kepada orang yang pas. Ah, tidak, tidak. Sejak kapan pula Melody menganggap Farah adalah orang yang pas? Terjadi perdebatan sengit di benak Melody. Perdebatan yang dibagi menjadi dua kubu; si setuju dan si tidak setuju.
Lama Melody berpikir. Hingga akhirnya, ia lebih memilih berdiri menghampiri Farah dan segera memberikan kertas undangan ulang tahunnya pada perempuan tersebut. Ya, hanya itu. Tanpa merasa perlu berkata apapun, Melody kembali ke tempat duduknya. Mungkin, kali ini tidak masalah, itu yang Melody pikirkan.
***
Pak Yono menggebrak meja dengan keras. Membuat perhatian kelas XI-IPS-1 kembali kepada guru yang berkepala tiga tersebut. “Daripada kalian ribut sendiri, mending Bapak aja yang milih anggota kelompoknya.”
“Yah….” seketika, seisi kelas mulai membeo tak setuju.
Pagi hari ini, Pak Yono memang memberikan tugas yang harus dikerjakan berkelompok. Tugas membuat penjelasan singkat mengenai tema pelajaran selanjutnya dalam bentuk PowerPoint. Pada awalnya, Pak Yono memberikan kebebasan untuk memilih anggota kelompok sesuai keinginan masing-masing. Namun, melihat keadaan yang malah riuh karena sibuk mengambil si A yang katanya pintar, si B yang katanya jago presentasi, si C dan seterusnya, Pak Yono malah merasa kelas seakan tak terkendali. Dan di sinilah Pak Yono sekarang, tengah memantau wajah tiap-tiap murid XI-IPS-1.
“Dengerin baik-baik, karena Bapak gak bakal ngulangin. Oh, jangan lupa, sekretaris kelas, dicatat setiap anggota kelompok.” ancang-ancang Pak Yono. “Kelompok satu, Dito, Airin, Karina, Reza. Kelompok dua…, Vian, Roni, Bagas, Yogi.”
Sempat terdengar komentar seperti ‘beh-isinya-anak-pinter-semua-gils’ dan ‘wah-kelompok-dua-justru-gak-ada-yang-bener’, namun Pak Yono memilih mengabaikan. Siswa yang telah merasa namanya disebutkan, segera membuat tempat duduk dengan melingkar.
Pak Yono berdehem, ingin melanjutkan pembagian. “Kelompok tiga, Randy, Vivian—“
“YES!” sorak Vivian heboh sendiri.
“—Gerind, dan…, hem, kamu aja deh, Nayla.”
Seketika, wajah Vivian berubah mendung. “Bapak gak salah milih nih? Masa sama dia sih, Pak?!”
Nayla yang merasa ditunjuk-tunjuk, membuka suara. “Heh, lo kira gue mau apa sekelompok sama lo?!”
Terjadi perdebatan kecil. Lagi, Pak Yono tak menggubris. “Bentuk tempat duduk kelompok kalian sekarang juga, atau keluar kelas.”
Yah, Pak Yono dan ultimatumnya. Siapa yang bisa menyangkal?
***
“Wah, tumben-tumbenan kita dapet kelompok yang keren gini. Ya, kan, Ran?” Gerind membuka suara setelah lama berdiam diri di dalam suasana mencekam. Vivian dan Nayla yang bertatapan sengit, serta Randy yang terkesan sebodo amat. Tak digubris, Gerind melambai-lambaikan tangannya di hadapan Vivian dan Nayla. “Eh, udah dong liat-liatannya, entar suka baru tau rasa lo berdua.”
Vivian menginjak kaki Gerind dari bawah meja. “Enak aja lo bilang. Siapa sih yang bisa suka suka sama nih orang?”
“Berasa lo disukain orang aja deh, heboh banget.” cetus Nayla tak tinggal diam.