“Sebelum gue tutup rapat PMR hari ini, ada yang mau disampein?” tanya Farah sembari mengembalikan buku jurnal diskusi pada Angel selaku sekretariat PMR. Ia mengedarkan pandangan menunggu tanggapan, “Gak ada?” Mendapati jawaban anggukan, Farah mengalihkan perhatiannya pada Aldo yang tengah sibuk menulis di sampingnya. “Aldo, ada yang mau lo tambahin buat hari ini?”
Aldo menghentikan lantunan mata penanya, tampak berpikir, namun diakhiri dengan gelengan. “Gue rasa gak ada. Evaluasi hari ini cukup memuaskan, baik dari kegiatan ekstrakurikuler mingguan sampai piket PMR, gue ngeliat ada progress.” Farah ikut menyetujui. “Kalian udah bekerja keras belakangan ini, makasih atas dedikasinya yang tinggi.”
Ruangan kepanitian dipenuhi suara tepuk tangan yang meriah dikala Farah memulai. Ia berdiri dan menutup rapat PMR mingguan yang memang menjadi agenda rutin. Usai membereskan ruangan, Farah mengambil tasnya dari dalam loker. Berencana untuk segera pulang dan... makan. Sungguh, Farah lapar saat ini. Apa menu makan siang yang dimasak oleh Ibunya hari ini, terngiang di benak Farah.
Belum sempat Farah keluar, Aldo kembali masuk ke dalam ruang kepanitian PMR yang—ngomong-ngomong—baru saja laki-laki itu tinggalkan sejak tiga menit yang lalu. Berdirinya Aldo secara terpaku di hadapannya, membuat Farah mengernyit heran.
“Aldo? Lo belum pulang?” tanya Farah membuka suara.
Aldo menghela napas. “Belum.”
Meski tampak ragu, Farah memilih menggeser tubuhnya. Membuka jalan agar dapat melanjutkan langkah. “Oh, oke, gue duluan ya—“
“Lo mau pulang?” tanya Aldo cepat.
“Iya nih.” jawab Farah mengangguk. “Nanti, jangan lupa dikunci ya pintunya.” pinta Farah mengingatkan. “Bye...”
“Tunggu,” Aldo meraih pergelangan tangan Farah. Tersadar telah melakukan hal yang salah, Aldo meminta maaf dan segera melepaskan cekalannya. “Eh, sorry.”
Kernyitan kembali tercetak pada alis Farah. “Ada yang mau lo omongin?”
Aldo mengangguk. “Iya, tapi lonya laper.”
Farah mendelik. “Ya elah, laper urusan belakangan aja. Mau ngomong apaan? Serius amat muka lo.”
Aldo bergeming sejenak. Ia mengedarkan pandangan mencari kursi. Setelah dapat, ia menunjuk kursi tersebut dengan ragu. “Lo mau gak sambil duduk?”
“Oke,” jawab Farah mengiyakan. Ia pun duduk di kursi yang dimaksud Aldo. Alih-alih mengikuti Farah yang telah duduk, Aldo malah terlihat gusar pada posisinya yang masih berdiri. “Lo kenapa, Al? Gue jadi rada takut, serius.”
“Ehm...,” Aldo menggantungkan ucapannya. Merasa sulit menyampaikan apa yang menyangkut di pikirannya sejak lama. Padahal sih, Aldo telah meyakinkan diri sendiri saat berada di luar ruang kepengurusan PMR tadi. Sembari menunggu satu persatu anggota PMR keluar, saat itu pulalah Aldo mengulang-ulang apa yang harus ia sampaikan. Well, realita tidak semanis yang ia bayangkan, bukan hal yang mengejutkan bukan?
“Aldo...” kejut Farah. “Ngomong aja kali.”
“Aduh, lo pasti ngerasa gue aneh banget, iya kan?” gerutu Aldo.
Farah mengangguk benar. “Iya. Aneh, pake banget.”
Tak ingin terlihat lebih gusar dan bodoh, Aldo pun duduk. Ia mengambil kalender dari atas meja dan sibuk menatap jejeran angka penunjuk hari. “Minggu depan itu... minggu ke-empat, kan? Berarti gak ada evaluasi kaya hari ini.” gumam Aldo entah ditujukan untuk Farah atau hanya sekedar ucapan kosong.
“Iya, minggu ke-empat emang gak buat evaluasi. Tapi buat penyetokan obat, lo tau sendiri soal itu.” Farah berusaha menyambung dengan topik pembicaraan Aldo.
“Iya, penyetokan obat di minggu ke-empat.” Aldo mengangguk-ngangguk. “Dan... itu, bukan agenda penyetokan obat terakhir kita kan, Far? Bakal ada agenda penyetokan obat di minggu-minggu selanjutnya buat kita, gue bener, kan?”
Farah tersenyum kecil mengetahui maksud Aldo. Ia kini menangkap apa yang hendak disampaikan oleh rekan kepanitian PMR-nya tersebut. Yah, bukan Aldo namanya jika tidak diiringi dengan teka-teki. Jelas, Farah tidak perlu membesarkan keanehan hari ini. Farah sudah mengenal Aldo sejak dua tahun. Dan waktu dua tahun yang ia jalani, membuatnya paham titik fokus tujuan Aldo.
Farah menghela napasnya, ikut menjatuhkan pandangan pada kalender di tangan Aldo. “Enam hari lagi ya? Enam, hem, yah, enam hari lagi sebelum Bu Rosma nentuin kepanitian selanjutnya.”
Aldo menyerahkan kalender kepada Farah. Wajahnya terlihat serius. “Stop ngeberatin diri lo sendiri, Far.” Farah merespon dengan kebungkaman. “Stop ngebuat seakan-akan hanya diri lo yang harus bertanggung jawab semuanya. Stop ngerasa jadi yang paling bisa. Lo... egois, sumpah.”
Aldo dan kata-kata tajamnya, memiliki makna yang berbeda dari arti kosa kata tersebut di dalam kamus bahasa. Dua tahun mengenal Aldo, Farah juga mengetahui hal yang satu ini. Ah, Aldo memang tidak seperti lelaki pada umumnya yang Farah kenal. Ia... lebih menggemaskan dengan cara penyampaiannya. Farah tidak berbohong, Aldo memang semenggemaskan itu!
Farah tersenyum cukup tipis. “Al, gue boleh minta tolong?”
“Kenapa baru sekarang?! Lo... lo bisa minta tolong sama gue dari kemarin! Lo tuh—“ Aldo geram sendiri. Ia sempat menjambak pelan rambutnya menandakan kefrustasian yang tak ingin disembunyikan. “Ah, berasa gila ya gue dibuat lo.”
“Kalau gue minta tolong sama lo, lo mau kan nolongin gue?”
“Enggak perlu ditanya elah, Far, ya pasti gue tolongin! Duh, kesel gue sama lo! Harusnya—“
Tok, tok.
Ucapan Aldo yang menggebu-gebu serta kesibukan Farah yang berusaha menahan tawanya karena kelucuan Aldo, terpaksa terhenti saat keduanya mendengar suara ketukan pintu. Wajah antusias yang Farah perlihatkan, justru berbanding terbalik dengan wajah Aldo yang seperti ingin memakan seseorang. Aldo kesal! Ia ingin marah, tapi tidak bisa, dan fakta tersebut membuat Aldo semakin bertambah kesal. Lalu, ada apa lagi dengan kedatangan Randy sekarang?! Mood Aldo hancur!
“Hai, Far.” dengan santainya, Randy melambaikan tangan ke arah Farah. Mengabaikan Aldo yang juga tengah berada di ruang kepengurusan PMR tersebut. Yah, Randy tidak bermaksud apa-apa kok. “Tadi waktu gue di parkiran, gue ngeliat temen PMR lo. Ehm, siapa deh. Oh, Angel kayanya. Nah, si Angel-Angel itu ngasih tau gue, kalau lo masih ada di sini. Ya udah, gue samperin deh.”
Aldo sempat memandang Randy dengan begitu sengit. Hanya beberapa detik, lalu pandangan Aldo ia kembalikan lagi ke arah Farah. “Lo—“