The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #19

Chapter 19: WHEN YOU CRY'S

Zidane menghalangi dengan lengannya saat Bianca hendak mengambil gelas berisi es teh miliknya. Ia tidak mengizinkan Bianca minum meskipun Bianca terlihat telah mengeluarkan air matanya. “Aturan pertama, enggak boleh minum sebelum lo habisin makanan di piring lo.” Masih berusaha merebut, Zidane kembali menjauhkan gelas tersebut. “Aturan nomor dua, lo harus habisin sebelum sepuluh menit. Dan lo jelas udah ngelanggar aturan nomor dua ini.”

Bianca menyeka air mata yang keluar akibat kepedasan. “Gila ya lo, ngajak gue makan beginian. Sumpah, ini pedas banget, Zidane!” Bianca menggerutu karena telah mengikuti keinginan Zidane untuk makan mie samyang bersamanya. Sebagai pecinta makanan manis, jelas mie panjang dengan level kepedasan tingkat tinggi seperti di piringnya tersebut, bukanlah ide yang baik untuk Bianca dan cita rasanya.

“Cepet habisin, tinggal satu suap lagi tuh. Kalau lo udah habis, baru gue kasih minum lo.” tantang Zidane menunjuk piring Bianca. “Kalah lo, Bee. Gue aja udah habis dari tadi.”

Pasrah, Bianca pun menyuapi sesendok penuh mie berwarna merah dari piringnya ke dalam mulut. Berusaha tak mencecap rasa pedas terlalu lama dengan mengunyah sebentar lalu langsung menelannya. Benar adanya, tanpa diminta, Zidane memberikan gelas es teh yang sebelumnya telah ia sembunyikan kepada Bianca. Terkekeh kecil menyadari Bianca yang minum dengan tergesa-gesa.

“Selamat! Lo udah berhasil ngabisin samyang level tiga puluh!” seru Zidane heboh sendiri. “Selamat! Selamat! Selamat! Bianca, selamat!”

Masih berusaha menghilangkan perpaduan rasa pedas dan panas yang menyiksa di dalam mulutnya, Bianca menyeka air matanya yang tak henti keluar. Bianca berjanji dalam hati, tidak akan memakan makanan seperti ini lagi.

“Gak usah ditahan, gak usah malu, nangis aja.”

Bianca memukul bahu Zidane kesal sendiri. “Biasanya gue gak cengeng, ini karena gue kepedasan tau!”

Zidane tertawa. “Yah, entah itu karena alasan apapun, gak masalah kalau lo mau nangis.”

“Gue yakin deh, kalau gue bilang ke lo, gue gak suka makanan pedas karena gue sukanya manis, pasti lo tetap maksa gue buat makan samyang ini. Iya, kan?” tebak Bianca cemberut.

“Yoi, bener banget.”

“Ih, lo tuh ngeselin, sumpah!” lagi, Bianca memukul bahu Zidane. “Ngapain sih lo ngajak gue makan ini? Gak ada pilihan makanan lain ya? Kan gue malu diliatin mbak-mbak sana karena nangis makan beginian.”

“Sebenarnya gue tadi sempat bingung, mau ngajak lo makan ini atau ayam sambel ijo-nya Pakde Jembrot. Terus gue inget, sore begini, Pakde Jembrot belum buka. Ya udah deh, gue ngajak lo ke sini karena menu di sini ada samyang pedas.” ungkap Zidane merasa tak bersalah.

“Lah, bukannya pilihan lo sama-sama pedas ya?”

“Ya, emang.”

“Maksud gue yang selain pedas dong! Angin apa coba lo ngajak gue makan yang pedas-pedas gini! Dan begonya gue, gue gak nyadar kalau lo pesan mie ini yang level tertinggi!”

Zidane menawarkan minumannya saat melihat gelas Bianca yang telah kosong. “Gue ngajak lo makan ini, bukan karena gak ada alasan tau.”

“Iya, pasti ada alasannya. Alasannya jelas karena lo mau ngerjain gue.” cibir Bianca sembari menerima minuman Zidane. Ia menengguk tanpa merasa harus menggunakan pipet miliknya sendiri.

“Bukan karena itu, elah.” sanggah Zidane. “Gue tau, hari ini bendungan di mata lo udah gak kuat nahan derasnya air. Daripada lo tahan, mending lo keluarin meskipun dengan alasan yang lain. Tapi... lo harus akui, cara gak masuk akal gue, cukup melegakan, iya kan?”

Termangu, Bianca mengelap mulutnya dengan tisu. “Apaan deh lo.” Bianca berusaha mengelak dari tatapan mata Zidane yang intens. Melihat ke arah manapun, asalkan tidak ke arah Zidane.

“Seseorang yang tidak bisa menangis adalah orang yang lemah.” gumam Zidane. Ia mengedikkan bahunya, “Well, gue sendiri aja, terkadang butuh nangis. Bohong banget kalau orang-orang bilang cowok gak boleh nangis. Lah, cowok kan dianugrahi perasaan juga sama Tuhan.”

Bianca hanya terdiam. Ia kembali menyadari bahwa Zidane memang telah menyaksikan adegan ‘dramatisnya’ saat bersama Ichan sejam yang lalu. Berbicara soal Ichan, sebenarnya, sahabatnya itu telah menelepon Bianca berkali-kali sejak tadi. Bianca yang masih malas mendengar suara menyebalkannya Ichan, memilih untuk mengaktifkan mode diam pada telepon genggamnya. Bianca sendiri masih bingung. Mengapa pula ia harus marah untuk alasan yang tidak jelas? Bianca mengambil peran sahabat di sini, tak lebih dari itu. Ia mengetahui hal tersebut tanpa ada yang memberi tahui sebelumnya. Hanya saja..., ah entahlah. Mendengar nama Farah terasa memuakkan baginya—terlebih jika itu dari mulut Ichan sendiri.

“Makasih.” butuh waktu lama untuk dapat mengeluarkan kosa kata tersebut. Bianca menghela napas. “Gue gak perlu ceritain soal tadi ke lo, kan?”

Zidane menggeleng ringan. “Gak perlu. Kaya yang gue bilang tadi, itu jelas privasi lo.” Ia mengambil kunci motor dan beranjak berdiri. “Gue antar lo pulang. Bisa disemprot Tante Alfi gue kalau bawa lo kelamaan.”

Spontan, Bianca terkekeh. Ia mengangguk dan mengikuti kepergian Zidane.

***

Lihat selengkapnya