The Day After Tomorrow

nothin' on me
Chapter #21

Chapter 21: WHEN YOU DINNER'S

Farah ikut meringis seakan merasakan apa yang juga Randy rasakan. Ia kembali menyapukan obat merah dengan lebih lembut ke permukaan kulit wajah Randy yang terluka. Tak ketinggalan, siku dan lutut Randy pun sukses diberi oleh-oleh ekstrim berupa lecet dan lebam yang cukup besar. Farah tak dapat menghitung. Entah sudah yang keberapa kalinya ia berada dalam situasi mengobati luka Randy—mengingat ialah seseorang yang merawat Randy dalam menjalani piket UKS-nya di sekolah.

Usai menyelesaikan pengobatannya, Farah beranjak menuju dapur. Berencana mengambil cemilan untuk disajikan pada Randy. Hanya jus jeruk dan kue kering coklatlah yang berhasil Farah dapatkan dari lemari dapur. Ah, benar saja, ini akhir pekan. Wajar jika sebagian besar bahan makanan telah habis.

Melihat kedatangan Farah dengan tangan yang tak kosong, membuat Randy membuka suara. Terdengar sedikit tidak jelas sebenarnya karena Randy tengah menahan sakit di area mulutnya. “Gak usah repot-repot kali, Far.”

Farah mencibir, “Halah, lebay lo.” Ia memilih untuk membukakan penutup toples mungil yang digunakan sebagai wadah kue kering tersebut.

“Gue... jadi makin curiga sama Gerind.” ungkap Randy sembari mengunyah dengan hati-hati. Tak ingin menyenggol luka yang baru saja diobati. “Gue berasa dijebak tau gak sih? Tuh anak... kaya sengaja ngarahin kita ke tempat itu.”

Mendengar ucapan Randy, Farah kembali mengingat kejadian baku hantam yang tersaji secara langsung di depan matanya. Kejadian menyeramkan yang dipenuhi dengan suara gaduh, suara dentuman dan suara mengeluh kesakitan yang mendominasi pendengaran Farah. Tentu saja, ia benar-benar terkejut. Sebagai anak polos yang notabene-nya selalu berada di rumah dan tak pernah tahu menahu dengan dunia keras, sukses membuat jantung Farah berpacu cepat. Melihat Randy yang berusaha bertahan, bahkan jauh lebih memilukan daripada menonton ulang drama sedih favoritnya.

“Udah deh, gak usah dipikirin lagi. Mending kita fokus sama kasus kita aja, dan gak perlu terjun ke situasi berbahaya kaya tadi lagi.” sanggah Farah mengubah topik pembicaraan. Ia kembali memperhatikan luka Randy dengan seksama. Lagi, ringisan kembali lolos dari mulutnya. “Dan maaf... gara-gara gue, muka lo jadi kaya gitu. Tangan lo, kaki lo, semuanya jadi luka.” Farah menggeleng pelan. “Coba aja gue gak maksa lo untuk ngikutin dia... mungkin kita udah sampai di rumah lebih awal. Yah, dan pastinya, dengan selamat.”

Randy mengernyit. “Gue gak suka deh kalau lo ngomong kaya gini. Gue juga ikut andil dalam pengambilan keputusan, Far. Ini juga kemauan gue.” tegas Randy. “Justru dengan adanya kejadian ini, ngebuat gue makin percaya sama apa yang gue hadapi.”

“Maksud lo?”

“Kejadian ini ngebuat gue yakin. Kalau kasus ini... bukan sekedar rasa gak suka ke gue. Kasus ini jauh lebih complicated.” terang Randy. “Gue jadi tertantang untuk cari tau apa sebenarnya alasan dia.”

Farah mewanti-wanti. “Lo gak bakal ngelakuin hal yang aneh-aneh kan, Ran?”

Randy menoleh kaget. “Heh, ya enggak lah. Kalau gue main cara kotor, gue bakalan sama aja kaya dia.”

Tak dipungkiri, jawaban Randy membuat Farah menghela napas lega. “Jangan lupain gue. Lo gak sendiri, gue juga bakal bantuin lo untuk ngebongkar semuanya.”

***

“Bos, lo yakin untuk tetap ngelanjutin ini?”

Gerind membidikkan anak panah mainannya ke arah lingkaran sasaran. “Maksud lo?” tanya Gerind kepada sang penelepon.

“Gue ngerasa kalau dia udah tau tentang lo, Bos.”

Gerind sukses terkekeh kecil. Ia melemparkan anak panah tersebut dan berhasil mengenai tepat di tengah sasaran. “Apa harus ngebuat kita berhenti? Justru makin menarik dong.”

“Tapi...”

“Udah deh, lo gak usah kahwatir. Tetap lanjutin apa yang gue arahin.”

Lama menjawab, seperkian detik kemudian sang penelepon membuka suara. “Oke, Bos.”

Gerind mengangguk puas. “Makasih atas bantuan lo. Sampein salam gue buat anak-anak.”

Setelah menutup sambungan teleponnya secara sepihak, Gerind mengambil anak panah mainan lainnya. Memposisikan, mengeker, lalu melempar sesuai bidikan. Kembali, dua anak panah berhasil mengenai sasaran. Gerind mengembangkan senyuman penuh makna, tak lama kemudian ia tertawa keras—entah apa sebenarnya yang ia pikirkan.

***

Melody kembali mematut dirinya di depan cermin dengan ukuran full body. Berputar dari kiri ke kanan hanya untuk memastikan bahwa ia telah siap tanpa ada yang kurang satu pun. Menghadiri acara makan malam dalam ajang mempererat kerja sama dengan rekan kerja Papanya, bukanlah acara sembarangan. Sebagai anak perempuan semata wayang dari keluarga pemilik salah satu bisnis sukses di kotanya, mengharuskan Melody ikut andil dalam rutinitas etika berbinis tersebut.

Lihat selengkapnya