Farah menunjuk sembari memasang wajah memelasnya. “Gue mau boneka itu...”
Randy menaikkan alisnya satu, sama sekali tidak merasa tertantang. Ia mengalihkan perhatian pada seorang lelaki yang tengah menunggu jawaban. “Jadi, kalau saya berhasil nebak di mana dadunya, saya beneran bisa bawa pulang bonekanya kan, Pak?”
Bapak berkumis tipis tersebut mengangguk yakin. “Itu pun kalau anak muda bisa nebak di mana dadunya di antara ketiga kelang ini.” Ia mengelus kumis tipis memasang wajah tidak meyakinkannya. “Tapi... saya kurang yakin sama kemampuan anak muda ini. Jangan terlalu memaksakan diri, seperti anak muda memang tidak sedang beruntung.”
Mendengar bahwa ia sedang diremehkan, Randy menaikkan pandangan ke arah Farah. “Kalau lo emang mau boneka itu, gue bakal coba lagi.”
Farah tertawa kecil. “Yakin? Ini udah ketiga kalinya lo bilang kaya gitu loh, Ran.”
Randy mengernyit. “Lo ada di posisi gue atau di posisi Bapak ini sih?”
Lagi, suara tawa kembali terdengar. “Enggak gitu maksudnya. Atau... gue sendiri aja yang langsung coba?”
Randy menggeleng tak setuju. “Enggak, gue bisa. Gue bisa kok.” Ia menggulung lengan bajunya sampai siku, “Oke, Pak, saya mau coba lagi.”
“Anak muda ini memang tidak mudah menyerah ya.” ujar Bapak berkumis mengomentari Randy. Ia mempersiapkan dadu dan ketiga kaleng, Bapak tersebut mulai mengacak kaleng yang terlebih dahulu menaruhkan dadu pada salah satu dari ketiga kaleng.
Randy memperhatikan dengan seksama. Tidak membiarkan kekalahan kembali terulang karena jika benar saja, ia pasti akan malu. Tapi tidak, Randy yakin, kali ini dia dapat menebak keberadaan dadu berwarna hitam putih menyebalkan itu. Alih-alih memaku pandangan matanya pada dadu yang tersembunyi dalam kaleng, Farah justru lebih tertarik dengan wajah serius Randy. Menurut Farah... Randy terlihat begitu menggemaskan.
“Oke, silahkan dipilih.” ucap Bapak berkumis mempersilahkan Randy untuk segera menebak.
Randy mengingat-ngingat sejenak, menimbang apakah pilihannya sudah benar atau perlu mengambil ulang keputusan. Tak lama, Randy menunjuk kaleng yang berada di sisi tengah.
“Yang ini? Yakin?” tanya Bapak berkumis yang terdengar seperti mengecoh jawaban Randy. Sedangkan yang ditanya sempat berpikir kembali, lalu mengangguk pasrah. “Anak muda tidak ingin mengganti jawaban terlebih dahulu? Yakin? Sebelum saya buka?”
Randy mengangguk. “Udah, Pak. Coba buka aja kaleng yang tengah itu. Saya yakin, dadunya pasti ada di situ.”
“Hem... mari kita lihat.” Bapak berkumis membuka kaleng di posisi tengah yang menjadi pilihan Randy.
Benar saja, percobaan Randy yang ke-empat kali ini, sukses membawakan hasil. Farah sontak berseru heboh saat mendapat boneka panda berukuran besar yang ia inginkan. Sembari memeluk hadiah boneka tersebut, Farah mengucapkan terima kasihnya kepada Bapak berkumis yang mengadakan acara ‘tebak-dadu-dalam-kaleng-berhadiah’—tidak perlu heran, tentu ini hanya sebutan Farah saja.
Randy mengedikkan bahunya bangga. “Gue udah yakin bakal menang sih.”
Farah tersenyum lebar. “Iya deh, lo benar.” Farah menyerahkan boneka panda tersebut pada Randy. “Nih, pegang dulu.”
Meski bingung, Randy tetap menerima dan mengambil alih hadiah yang baru saja ia dapatkan. Randy bertambah bingung saat Farah berjalan menjauh beberapa langkah. “Mau ngapain lo?”
Farah mengeluarkan telepon genggamnya. Menghidupkan kamera lalu mengarahkannya pada Randy, “Lo senyum dong, jangan mau kalah sama pandanya yang daritadi udah senyum. Cepetan, mau gue foto nih.”
Mengerti, Randy pun tersenyum sembari bergaya bersama boneka panda yang ia peluk. Usai berhasil mengambil beberapa kali jepretan, Randy membeo. “Gantian, lo lagi.”
Farah berjalan mendekati Randy. Sedikit terkejut karena Randy tidak memberikan kembali boneka panda tersebut, namun malah mengambil alih telepon genggam Farah dan memposisikan menggunakan kamera depan dengan sedemikian rupa agar dirinya, Randy beserta panda yang tak pernah luput dari senyuman tersebut dapat terlihat pada tampilan layar.
“Senyum...” Randy memberikan aba-aba. Tangannya sibuk mengklik tombol kamera guna mengambil jepretan. Berganti gaya hingga empat-lima kali, akhirnya Randy memilih untuk menyudahi sesi selfienya.
Farah mengecek hasil jepretan di telepon genggamnya. “Ih, kita comel banget tau...”
Randy mengedikkan bahu. “Gue sama boneka pandanya doang yang comel.”
Farah sempat memberenggut, namun ia kembali tersenyum saat Randy menyerahkan boneka padanya. “Makasih ya, Ran. Gue seneng banget hari ini.”
“Yah... gimana ya?” Randy menggantungkan ucapannya. “Ini sih enggak gratis.”
Farah terkekeh, entah sudah yang keberapa kalinya. “Oke, karena lo udah ngajak gue ke sini, nemenin gue naik berbagai wahana, ditambah lagi lo udah ngasih gue boneka, sekarang... saatnya gue yang traktir lo. Ayo makan, gue laper.”
Randy mencibir. “Ya elah, itu karena emang lonya aja yang udah laper.” Ia mengecek jam tangannya, menyadari bahwa waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Tak ingin membuang-buang waktu, Randy meraih tangan Farah. Ia menuntun gadis yang tengah memeluk boneka panda tersebut dengan pelan, menuntun melewati kerumunan berusaha mencari kedai makan.
Tanpa permisi, perasaan hangat menjalar di tubuh Farah. Meski tidak sedang bercermin, namun entah mengapa, Farah begitu yakin; pipinya pasti tengah memerah saat ini. Ia kembali memperhatikan tangan mungilnya yang berada di genggaman Randy. Hanya tangan, hanya satu tangan, dan Randy berhasil membuat Farah terpaksa menahan napas. Sembari memeluk boneka panda yang kini menjadi miliknya, Farah berusaha mengontrol detak jantungnya yang berpacu cepat. Farah merasa tidak asing. Ia jelas pernah merasakan hal serupa seperti ini. Ah, benar saja. Farah kembali mengingat kejadian manisnya bersama Randy sebelumnya. Kejadian manis saat Randy memasangkannya helm dan tetap berada di samping Farah untuk keluar dari masalah yang ia hadapi.
Jelas Farah sedang berbohong, jika ia sampai berani mengatakan bahwa ia tidak menyukai sensasi kupu-kupu yang berterbangan seperti saat ini. Jelas Farah sedang berbohong, jika ia sampai berani mengatakan bahwa ia ingin menghapus perasaan hangat yang menyelimuti dirinya saat ini. Ya, jelas Farah sedang berbohong jika sampai detik ini, ia mengatakan bahwa ia tidak menyukai Randy. Namun faktanya, Farah tidak bisa berbohong. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri di saat ia mengetahui kebenarannya. Betapa bodohnya Farah jika ia masih saja mengelak, jika ia masih saja tidak mengakui. Dan akan terlihat semakin bodoh lagi jika ia terus menggunakan kata ‘jika’ dalam menggambarkan apa yang ia rasakan.