“Bee, mau bareng enggak?”
“Eh, enggak usah, makasih.”
“Lagi nunggu jemputan? Mau sama gue aja?”
“Enggak, gue enggak papa.”
“Butuh tebengan gak, Bee?”
“Enggak deh, thank’s.”
Bianca masih saja kekeuh dengan pendiriannya untuk setia menunggu sang Bunda yang berjanji akan segera menjemputtnya. Ini sudah kesekian kalinya teman dari kelas tambahan yang sama dengannya menawarkan tumpangan. Bukannya Bianca tidak berterima kasih—jelas saja ia bersyukur mempunyai teman yang perhatian—namun, ia sudah lebih dahulu menelepon sang Bunda dan meminta untuk dijemput. Jawaban mengiyakan dari Bundanya tersebutpun membuat Bianca masih berdiri di depan pintu utama gedung kelas tambahan.
Bianca menengadahkan wajahnya. Mendapati langit yang tampaknya akan segera menurukan buliran airnya. Sejenak, Bianca terhenyak. Ia tentu ingin sampai di rumah sebelum terjebak dan berakhir basah kuyup. Entah untuk yang keberapa kalinya, Bianca mengecek jam yang terpatri manis di tangan kirinya. Kelas tambahan yang Bianca ikutin di luar jam pelajaran sekolah, memang telah selesai sejak setengah jam yang lalu. Ia meraih telepon genggam dan segera mendial nomor telepon sang Bunda.
Tersambung, Bianca membuka suara. “Halo, Bun.”
“Halo, sayang.” jawab Alfi. Sempat terdengar suara krasak-krusuk dari ujung sana. “Aduh, Bee, maaf ya, kayanya Bunda gak bisa jemput deh.”
Bianca mengernyit. “Kenapa, Bun?”
“Ini, mobilnya... enggak tau kenapa, mogok deh kayanya.”
“Oh, iya, gak papa.” Bianca tersenyum.
Alfi terdengar menyesal. “Maaf ya, sayang.”
“Enggak papa kok, Bun. Bianca naik taksi aja. Udah ya, Bun, Bianca tutup dulu.”
Usai menyudahi percakapan via panggilan tersebut, Bianca kembali memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku. Dan benar saja, hujan turun dengan lebat sesuai dugaan Bianca. Gadis berjaket putih itu memilih untuk menjulurkan tangan, merasakan rintikan hujan yang jatuh ke tangannya tersebut. Tanpa sadar, Bianca tersenyum dengan apa yang ia lakukan. Meski akan terasa aneh, Bianca menguatkan indera pendengarannya dengan cara memejamkan mata. Ia tengah berusaha menikmati lantunan musik yang tercipta dari perpaduan antara rintikan hujan dengan angin yang sepoi sebagai pengiring. Cukup lama Bianca memejamkan mata dan merasakan sensasinya. Kini Bianca mengerti maksud sang Bunda ketika mengatakan bau dan suara hujan itu menenangkan. Ia rasa, Bunda ada benarnya juga. Dan ia rasa, mulai detik ini, ia akan menyukai hujan—sama seperti sang Bunda.
Setelah merasa puas, Bianca membuka matanya. Betapa terkejutnya Bianca saat menyadari bahwa kini, Ichan tengah menatapnya secara dekat sembari tersenyum lebar. Bianca sukses membulatkan mata, ia segera menjauhkan wajahnya menciptakan jarak aman. “Lo... ngapain sih?!” Bianca tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
Masih dengan senyuman lebar yang tak luntur dari mulut, ia menjawab. “Gue? Gue lagi ngeliatin lo.” Ichan menunjuk wajah Bianca tanpa memikirkan apa akibat yang bisa saja Bianca terima.
Spontan, Bianca mengalihkan pandangannya. Menatap bola mata Ichan tentu menjadi sebuah kesalahan terbesar Bianca. Ah, benar. Jangan harap Bianca berani menatap bola mata lelaki tersebut. Karena jika hal itu terjadi, Bianca sungguh tidak yakin akan bagaimana lagi kondisi hatinya. Bianca sedang tidak ingin merasakan kupu-kupu berterbangan kali ini.
Menetralkan detak jantungnya, Bianca mengalihkan pembicaraan. “Lo udah selesai?”
Ichan mengangguk. “Udah. Kok lo masih di sini? Lo nungguin gue ya?”
Mendengar jawaban pede tingkat dewa Ichan, memaksa Bianca untuk melayangkan pukulannya. “Gue lagi nunggu hujan reda! Bukan nunggu lo!”
“Eh, iya deh, iya.” Ichan meringis. Ia memasang wajah cemberutnya.
Bianca kembali menengadahkan wajahnya. Ekspresi gusar bercampur malu tertera jelas di wajahnya. “Kapan sih redanya? Gue mau pulang...” Bianca bergumam yang lebih cocok ditujukan pada dirinya sendiri.
Ichan mengikuti apa yang Bianca lakukan. “Masih lama, awannya masih penuh tuh, belum ditumpahin semua.” komentar Ichan secara tidak langsung menjawab yang Bianca katakan. Ichan menoleh pada Bianca.
Merasa ditatap, wajah Bianca kembali memanas. “Kenapa ngeliatin gue?!”