6 bulan lalu...
“Diva, ayo makan malam dulu.” Gerind muncul di depan pintu kamar adiknya.
Gadis berambut panjang bergelombang tersebut pun menoleh, tangannya masih saja sibuk memasangkan jaket pada bahunya. “Mama masak apa, Kak?”
“Ayam bakar.”
Wajah Diva terlihat antusias. “Pake bumbu ekstra pedas, kan?”
Gerind mengangguk. “Iya, lah. Mama mah selalu aja masakin makanan kesukaan kamu. Giliran kakak yang request makanan, pasti nanti-nanti mulu.”
Tak urung, Diva tergelak saat melihat wajah cemberut kakak laki-lakinya tersebut. “Halah, Kak Gerind mah semua makanan suka, makanya Mama gak ambil pusing.”
Gerind mengernyit heran saat merasa sang adik yang hendak pergi. Ia melipatkan tangan di dada, “Kamu mau kemana?”
“Diva mau ke tempat balapnya Randy. Malam ini dia mau tanding, dan Diva harus jadi pendukung nomor satu.” jujur Diva. “Jangan bilang ke Mama sama Papa ya, kak.” pinta Diva memelas. Ia menyampirkan tas mungil pada pundaknya.
“Randy lagi, Randy lagi.” Gerind mendesis kurang suka. “Kenapa sih kamu deketin anak itu terus?”
“Ehm...” Diva berdehem panjang. “Suka aja.”
“Div—“ belum sempat Gerind menyelesaikan perkataannya, Diva telah lebih dahulu melompat keluar jendela kamarnya.
“Bilang aja Diva lagi sakit, enggak mau diganggu sama siapa-siapa di kamar. Dan jangan habisin semua ayam bakarnya, nanti Diva makan kalau udah pulang.” Diva melambaikan tangannya berlari kecil menuju gerbang rumah. “Bye, Kak...” pamitnya sembari melemparkan ciuman udara dengan suara pelan.
***
“YES!” Diva bersorak heboh saat melihat motor Randy lah yang pertama sampai di garis finish. Tak sia-sia juga perjuangannya mengendap keluar rumah untuk melihat aksi Randy.
Melihat Randy yang tengah duduk dan beristirahat di kursi sudut, membuat Diva berjalan mendekatinya. Ia mengulurkan tangan memberi Randy minuman botol yang tampak masih dingin. Randy hanya menoleh sekilas, lalu menyadarkan punggungnya tak peduli.
Diva tersenyum manis. “Lo pasti haus.” Ia menebak. “Nih, minum dulu.” tanpa merasa harus mengucapkan permisi terlebih dahulu, Diva menaruh minuman botol tersebut pada tangan Randy.
Randy mengernyit. Ia mengembalikan minuman yang telah Diva berikan padanya. “Gue enggak haus.”
Diva sempat murung. Hanya sekilas, lalu kembali tersenyum cerah. “Tau enggak sih, tadi lo keren banget!”
Randy berusaha mengabaikan dengan cara terlihat sibuk dengan telepon genggamnya.
Sedangkan Diva, ia masih mencari topik pembicaraan yang cocok agar Randy mau membuka suara. “Gue salut deh sama lo. Setiap lo ikut balap, lo pasti menang. Dan lebih kerennya lagi, lo gak pernah ngambil hadiah dari kemenangan lo itu. Serius deh, lo kelihatan keren banget di saat lo cuma sekedar untuk nyalurin hobi. Lo patut diberi tepuk tangan!” Diva berseru heboh layaknya anak kecil yang diberi permen. Menyadari Randy yang tenggelam dengan telepon genggamnya, Diva menyinggung. “Lo kok gak pernah balas chat gue sih? Gue sering loh nge-chat lo. Waktu gue bangun pagi, sebelum sarapan, berangkat sekolah, jam istirahat, pulang sekolah, sampai balik ke kamar lagi, gue chat lo terus. Tapi lo gak pernah balas, bahkan lo gak pernah baca. Padahal gue tau, lo lagi online. Randy, lo gak nge-block nomor gue kan?” gemas karena diabaikan, Diva menyenggol tangan Randy. “Ran... jawab gue...”
Jengah, Randy mendengus terlalu keras. “Mau lo apa sih?!”
Meski cukup terkejut, Diva mengembalikan ekspresi wajahnya ke sesi normal. “Jangan block nomor gue.”
“Gue enggak nge-block nomor lo.”