Kehidupan itu bagaikan mimpi, ketika kau memejamkan mata sejenak kau merasa semua yang kau miliki itu nyata. Tetapi ketika kau membuka matamu, seketika itu juga kau kehilangan semuanya. Peribahasa itu mungkin terdengar konyol bagi siapapun yang mendengarnya. Namun peribahasa itu merupakan tamparan realita yang menyakitkan bagi gadis itu. Gadis malang yang selalu mengunci diri dalam kesendiriannya.
Gadis itu berdiri di tengah keramaian, terkucilkan oleh pemikirannya yang dalam. Dia tak menyadari bahwa salju telah berjatuhan dan mulai mewarnai dunia barunya itu dengan warna putih dan rasa dingin yang mencekam nan menusuk tulang. Gadis itu hanya tersenyum kecut ketika melihat salju itu jatuh ke genggaman tangannya. Perlahan-lahan serpihan salju itu meleleh menjadi air yang terus menerus bergerak menuju ke tanah. Seketika salju itu menghilang seolah tak pernah ada di dunia ini. Sepertinya konsep kehidupan bisa lebih disederhanakan lagi menjadi seperti ini, pikir gadis itu dalam hati.
Kehidupan manusia itu sendiri sebenarnya sangat rapuh. Suatu hari kau akan tersenyum dengan gembira karena kau hampir memiliki semua yang kau inginkan dalam genggamanmu. Di lain hari kau tidak akan punya waktu untuk menangisi kematian. Kau bisa saja mati esok hari di antara tumpukan harta kekayaan yang kau kumpulkan seumur hidup. Lucu bukan? Sepertinya rasa humor gadis itu lebih buruk dari yang dia pikirkan.
Gadis yang berdiri sendirian di tepi rel kereta itu terdiam, hilang dalam pemikirannya sendiri. Perlahan air mata sedikit demi sedikit menetes dari pipinya. Terus mengalir ke bawah, mencoba menyatu dengan tanah. Sayangnya sebelum air mata itu sempat menyentuh tanah, mereka lenyap seketika seolah mereka terbakar oleh api yang langsung mengubah mereka menjadi uap. Apakah ini mimpi ataukah kenyataan? Gadis itu tidak tahuyang mana dari dua pertanyaan itu yang bisa dia jawab dengan benar. Apapun jawaban yang dia berikan hanya ada satu hal yang dia yakini jauh di dalam hatinya.
“Jika bisa memilih aku tidak ingin dilahirkan, aku berharap aku tidak pernah dilahirkan di dunia ini.”
Dia bergumam dengan suara yang sangat kecil dan pelan, yang hampir tidak bisa didengar oleh manusia. Namun anehnya di dalam keramaian itu suaranya bergema ke seluruh ruangan. Semua orang yang ada di stasiun kereta api itu bisa mendengarnya meskipun suara itu tertutupi oleh suara peluit kereta ataupun suara tangis beberapa orang yang tak bisa menerima kenyataan bahwa mereka tiada. Mereka semua mendengarnya, termasuk beberapa orang yang tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Di balik semua ekspresi ceria dan kesedihan itu, tak ada satupun orang yang menoleh ke arah gadis itu.
Tidak ada orang yang mencoba menghampirinya ataupun mencoba untuk menghapus air mata yang ada di pipinya. Normalnya semua pria atau wanita di jalan akan mencoba menyelamatkan gadis cantik itu dari kesedihannya, namun di tempat ini dia diabaikan seperti udara. Meskipun mereka tahu dia ada di sana, mereka tidak berusaha untuk memberikan uluran tangan untuk menolongnya. Mereka semua memiliki masalah masing-masing yang membuat mereka terlalu sibuk untuk memperhatikan orang asing yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya.
Ada beberapa orang yang menyimpan dendam di hatinya. Sebagian lainnya menyimpan penyesalan yang membuat mereka kesulitan untuk berjalan ke tempat selanjutnya. Dan juga beberapa yang tak sanggup menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa berada di dunia itu lagi. Banyak dari mereka yang menyimpan emosi negatif di stasiun kereta itu, tetapi tak semuanya merasakan penyesalan. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang merasakan kebahagiaan dan kedamaian di dunia lain. Sepertinya mereka sedang terlarut dalam kesenangan atas pencapaian mereka di dunia sebelumnya. Berbagai macam orang sibuk dengan masalah mereka sendiri dan tidak akan memedulikan gadis menyedihkan itu. Normalnya memang seperti itu, tetapi selalu saja ada anomali.
Beberapa orang yang sedang bertugas memandu jiwa yang tersesat, sejenak melihat ke arah gadis penyendiri itu. Beberapa dari mereka terlihat sedih, ada juga yang menghela nafas dan menggelengkan kepala mereka seolah hanya itu yang bisa mereka lakukan. Tidak ada satupun dari mereka, kelompok orang yang menyebut diri mereka pemandu itu, mencoba menghilangkan kepedihan gadis itu. Meskipun mereka ingin membantu, apa yang mereka lakukan itu bisa menjadi masalah. Kebaikan yang mereka lakukan kepada orang lain bisa saja berada di luar yurisdiksi tugas mereka. Yang kemudian bisa saja menyeret mereka ke permasalahan yang lebih rumit. Jadi tidak ada satupun dari mereka yang mencoba memberikan diri untuk menanggung resiko besar itu. Seberapapun cantik atau menyedihkan gadis penyendiri itu, mereka tidak akan mau menukar hal paling berharga milik mereka dengan kesedihan gadis malang itu.
Gadis malang itu hanya terdiam, mengabaikan pandangan para pemandu yang sekedar mencoba memberikan sedikit simpati. Meskipun itu tidak ada gunanya bagi mereka. Apa yang bisa mereka lakukan itu dapat membuktikan diri mereka masing-masing masih memiliki hati manusia. Walaupun mereka telah lama lupa bagaimana rasanya menjadi manusia. Bagi gadis berdarah korea itu, pandangan kosong yang mereka maksud dengan simpati lebih terasa seperti cemoohan. Dia sudah terbiasa hidup dengan kelompok orang individualis dan egosentrik. Dia tidak terkejut jika tidak ada satupun dari mereka yang mencoba sekedar bertanya apakah dia baik-baik saja.
Gadis itu tahu dengan benar meskipun dia menangis sekeras mungkin sampai mengguncang dunia ini, dia tak bisa mendapatkan apapun. Tidak akan ada yang mencoba menolongnya. Tidak akan ada gunanya juga untuk dirinya sendiri. Malah dia hanya akan kehilangan sebagian besar air dan garam elektrolit dari tubuhnya, kemudian membuatnya lelah atas usaha yang sia-sia. Dia tahu diam dan menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi dia tak bisa menghentikannya, air matanya terus mengalir melewati pipinya. Meskipun api kehidupannya telah padam, sepertinya dia masih memiliki hati yang berfungsi normal.