The Day I Disappear

Astri Anggraeni
Chapter #3

Hari Ketika Aku Melihat

“A-aku masih hidup?”

Kim Luna tergagap-gagap saat menatap tubuh seorang gadis yang terbaring di atas kasur rumah sakit. Meskipun beberapa bagian tubuhnya tidak lengkap dan perban terlihat di sana-sini, dia masih terlihat hidup. Setiap detik terdengar suara bunyi beep yang berasal dari berbagai instrumen penunjang kesehatan. Suara yang terdengar berkali-kali di telinga Kim Luna itu seolah bagaikan sebuah musik yang datang dari surga. Bersamaan dengan harapan yang timbul, kepedihan biasanya selalu mengikuti.

“Tidak, kau sudah mati.”

Bersamaan dengan pernyataan tegas yang keluar dari pejabat dunia bawah itu, harapan yang berkobar bagaikan api lenyap bagaikan asap. Semua ekspektasi yang terpupuk lenyap tak bersisa.

“Kalau aku sudah mati lalu di mana ini? Bukankah itu aku?”

“Aku sudah bilang aku hanya akan membantumu melihat. Aku tidak pernah bilang akan memberikan penjelasan.”

Sang pemandu roh, yang juga sering dikenal dengan dewa kematian itu, menjawab dengan nada datar. Dia terlihat sangat serius dan kejam jika kau mengabaikan syal berwarna pink yang tersangkut di lehernya. Kim Luna berpikir mungkin Jiwon membawanya ke masa lalu tepat sebelum Kim Luna mati. Jika dia dibawa ke masa lalu mungkin saja Kim Luna bisa mengubah masa depan dengan mengubah masa lalu, seperti itulah yang dia pikirkan.

Kim Luna menguji hipotesisnya dengan mencoba menyentuh dirinya sendiri yang tertidur lelap dalam kondisi koma. Namun dia sama sekali tak bisa menyentuh tubuhnya sendiri. Tangannya menembus melewati semua hal yang dia sentuh di ruang rawat ruah sakit itu. Seolah tubuhnya berada di dimensi yang berbeda.

“Kenapa? Ap-apa yang terjadi.”

Dengan penuh kepanikan Kim Luna mencoba bertanya kepada Jiwon, tetapi dia mengabaikan gadis malang itu. Dia, dewa kematian itu menonton pertunjukan monolog menyedihkan itu dengan ekspresi datar. Seraya menggelengkan kepala, dia berjalan perlahan lahan menuju ke pintu. Seperti halnya Kim Luna, Jiwon bisa menembus semua benda termasuk pintu. Dia mengabaikan Kim Luna yang masih terjerumus dalam emosi panik dan kesal. Dia terus berjalan ke luar ruangan.

“Kau, Beraninya kau datang dan menunjukkan wajahmu di tempat ini? Apa kau tidak malu.”

“A-aku...”

Plak, suara tamparan terdengar menggema di lorong rumah sakit Wooridul1 tempat Kim Luna di rawat. Kim Luna yang menyadari bahwa suara pria yang dia dengar sangat familiar segera berlari ke luar ruangan.

“Ayah?”

000

Kim Choi Han, pria berumur kepala lima itu merupakan salah satu konglomerat terkaya di Korea Selatan. Dia memiliki banyak perusahaan besar di bawah namanya. Mulai dari perusahaan obat, peralatan medis bahkan sampai ke pertelevisian. Di balik seluruh kesuksesannya itu, seperti halnya pria lainnya, pasti ada sosok wanita hebat di belakangnya. Sayangnya mereka, hanya tinggal sebuah nama. Selama hidupnya hanya ada dua orang wanita yang pernah mewarnai kehidupannya. Namun keduanya telah pergi lebih dulu, meninggalkan dia dengan dua orang putri yang cantik dan bertalenta. Meskipun salah satu dari mereka bukanlah anak kandungnya, dia tetap memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

Sebagai seorang yang lahir dari turunan rakyat jelata, Kim Choi Han menganggap kerja keras dan kedisiplinan sebagai makanannya sehari-hari. Dia selalu memperlakukan dirinya dengan berbagai pengekang berat yang mendorongnya menuju kesuksesan. Oleh karena itu dia tak bisa menahan dirinya ketika dia memiliki seorang penerus. Dia memperlakukan mereka seperti halnya apa yang dia alami. Disiplin dan kerja keras menjadi visi dan misi yang harus dihafalkan oleh mereka sejak kecil. Ketika pagi menjelang mereka akan memulainya dengan belajar. Kemudian ketika jam menunjuk tengah malam buku mereka akan beristirahat. Seperti itulah neraka yang harus dilalui oleh kedua gadis muda itu semenjak mereka kecil.

Apakah Kim Choi Han membenci kedua putrinya? Tentu saja tidak. Ayah macam apa yang membenci anaknya sendiri. Bahkan seekor singa tidak akan pernah memangsa anaknya sendiri. Bagaimana mungkin dia menaruh kebencian pada anaknya. Dia hanya ingin agar kedua putrinya meraih ekspektasi yang sesuai dengan apa yang dia inginkan. Satu akan menjadi ahli medis yang mumpuni. Sementara yang satunya lagi akan menjadi ahli manajemen. Mereka berdua akan mengelola bisnis besar yang dia wariskan. Kemudian mengubahnya menjadi dinasti bisnis yang terbesar di Korea Selatan. Bersama pasangan yang dia pilih untuk mereka.

Mimpi indah memang bagus. Mimpi yang besar itu memang dibutuhkan. Tetapi apa yang namanya mimpi, hanyalah mimpi. Pada akhirnya saat kau bangun, kenyataan tidak pernah semanis madu. Gadis kecil yang selama ini dia pupuk dengan tangan besi, lepas dari sangkarnya. Gadis kecil itu enggan berada di dalam kontrolnya. Dia, gadis itu adalah gadis yang cemerlang dalam semua hal yang dilakukannya. Modelling, manajemen, atletik dan bahkan teknologi. Tidak ada yang bisa membuatnya bertekuk lutut.

Dengan semua keahlian yang dimiliki oleh putrinya itu, seharusnya dia bisa menjadi enterpreneur terbaik di Korea Selatan. Tetapi sayangnya dia memilih jalan yang lebih terjal. Dia mengalihkan pandangannya ke modelling yang membuat namanya menjadi lebih dikenal di masyarakat. Jika itu berakhir di sini, Kim Choi Han tidak akan naik pitam. Apa yang lebih buruk adalah dia memilih pria yang dia kencani.

Demi cinta katanya, demi kebebasan katanya. Dia mengencani seorang pria dari keluarga yang normal. Dia tidak memiliki ayah ataupun status kekayaan yang mumpuni. Dia hanya memiliki kedua tangan yang penuh dengan kapalan serta ibu yang harus berlangganan ke rumah sakit. Setiap kali Kim Choi Han melihat pria muda dengan wajah rata-rata itu, dia selalu merasa kesal. Dia menghormati keberhasilan pria itu. Dia berhasil merangkak dari bawah sampai ke posisi eksekutif dengan usahanya sendiri walaupun itu cuma perusahaan kecil. Dia menghormatinya, namun di sisi lain dia juga membencinya. Kim Choi Han tidak tahu apa yang membuatnya tidak suka dengan pria itu. Mungkin pria itu selalu mengingatkan dirinya yang tak berdaya dan lemah. Masa-masa suram dalam hidupnya sepertinya tergambar jelas pada Lee Taesang.

Sepertinya kebenciannya itu memang memiliki dasar yang kuat. Tahun lalu setelah dia bertengkar hebat dengan Kim Luna. Gadis itu langsung pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Dia mencoba menghentikannya untuk pergi mengejar mimpinya yang bodong itu, namun gadis itu sangat keras kepala.

“Taesang pernah bilang padaku, seorang pemimpi berhak mengejar mimpinya. Jika aku tak mengejarnya apa bedanya aku dengan mayat hidup?”

Lihat selengkapnya