Menginjak bulan ketiga, belum ada perkembangan pada kehidupan Sisca. Sepulang ekstrakurikuler karawitan yang mereka ikuti, Livi mengajak Sisca ke wartel langganan dekat sekolah. Menekan angka yang tak teramati oleh Sisca.
"Iya ini dari Anggi, bisa bicara dengan Dave?" Deg deg...perasaan Sisca mulai ga enak. "Oh, kamu sendiri, ga, ini ada temenku mau kenalan sama kamu. (jeda). Ya aku anak selingkungan sama kamu. (jeda). Ga tau deh, bicara aja sendiri sama anaknya." kata Livi sambil memberikan gagang telepon kepada Sisca.
Bingung, ga tau harus ngapain, akhirnya Sisca menerima gagang telepon itu dengan tergagap-gagap salah tingkah, "Ha-halo, ini siapa ya? I-ini Lely, adik kelasmu."
"Lha kamu itu mau kenalan sama siapa? Kayaknya tadi temenmu itu bilang kamu mau kenalan sama aku, lha sekarang tanya ini siapa. Aneh-aneh aja kamu ini." sahut suara di ujung sana.
"Eh gitu ya, ga sih sebenarnya. Temenku aja usil. Ya udah gitu aja dulu lah, maaf ya." Sisca langsung menutup telepon sambil bersiap-siap menjitak temannya yang sudah kabur meninggalkannya.
Keesokan harinya, Sisca menceritakan kejadian itu kepada Airin yang memang hobi bolos ekskul. Ia tertawa terbahak-bahak, "Bagus tuh Livi...sip top markotop. Kayaknya anaknya seru juga, aku coba juga ah nanti. Daripada kamu kelamaan, ga sabar aku ngelihat kamu. Bodoh juga, sudah dibuka mau kenalan, lha kok malah nanya ini siapa? Deuhhh...".
"Ah, kalian sama saja, tapi iya juga sih, orangnya asyik gitu kayaknya." tambah Sisca.
Malam harinya, Sisca berpikir, mempertimbangkan saran kedua sahabatnya. Menuju pesawat telepon, menekan nomor 6137945, lalu ditutup kembali. Ragu menyelimuti pikirannya. Diangkat kembali, lalu diputuskan untuk menelepon nomor itu lagi.
"Halo, selamat malam, bisa berbicara dengan Dave?" sapa Sisca.