Meskipun berucap untuk melupakan semua kejadian itu, namun kenyataannya Sisca ga bisa melupakannya. Justru terdorong rasa penasaran, ingin tahu kebenaran apakah benar Dave suka pada Winda. Rasanya 3 hari tak bertelepon, serasa ada kebiasaan yang hilang. Terlebih Dave juga tetap ramah tersenyum padanya setiap kali bertemu di sekolah sampai membuatnya susah lupa.
Sore itu, Sisca menelepon kembali Dave, tetapi dia tak ada di rumah. Sisca berpikir, mungkin itu tandanya ia tak boleh lagi meneleponnya. Mungkin memang benar-benar harus dilupakan, putusnya.
Keesokan harinya, mereka berpapasan di depan gerbang. Dave bertanya padanya,
"Kemarin apakah kamu mencari aku?"
Airin pun menoleh ke arah temannya itu, seolah menunggu jawaban juga. Ragu-ragu Sisca menjawab,
"Oh, iya, ada yang mau kutanyakan, tapi ga jadi deh."
"Kemarin aku belum pulang, ada acara sama teman-teman. Kenapa memang?"
"Ga jadi, sudah lupa."
"Ya kemarin aku ga tahu harus menelepon kembali ke mana. Ya sudah kalo lupa, tapi kok pikun amat ya baru sebentar sudah lupa." sahutnya sambil meninggalkan mereka.
Airin tampak menoleh ke temannya, "Beneran kamu kemarin cari dia lagi? Ngapain? Masak beneran lupa? Lama-lama jadi kayak Livi aja kamu ini."
Sisca tersenyum saja, antara senang, bingung atau harus gimana? "Memangnya Livi ngapain kok kamu samakan dengan aku?" selidiknya.
"Itu anak bolak-balik bilang ga mau lanjutin lagi teleponan sama Ardi, tapi ya tetep aja lanjut. Bedanya, sampai sekarang Ardi ga tahu dan ga cari tahu siapa Anggi. Makanya Livi agak frustrasi."
"Ealah, dia ga pernah cerita sama aku, terakhir cerita ya bilang kalo bosan ngobrol sama Ardi, kurang greget gitu. Waktu itu kubilangi, mungkin kamu yang terlalu heboh."
Jam pelajaran terasa panjang hari itu. Bosan dengan rutinitas, mulai mengamati teman-temannya satu demi satu, wajah-wajah yang menyimpan rahasia masing-masing. Winda, si misterius sedang menatap kosong, entah apa yang ada di pikirannya, tak pernah ada yang tahu. Winda memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Iven dan temannya di luar sekolah dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Ia hanya bergabung sesekali. Sisca tanpa sadar menjadi lebih fokus memperhatikannya dan jadi mulai membandingkan kondisinya dengan Winda. Mungkin itu yang dirasakan Hanny sebelumnya pada dirinya, entah iri entah minder atau gabungan dari keduanya, ia pun tak mengenali perasaannya juga.
****
Malam hari itu, sambil belajar persiapan ulangan harian, Sisca berbaring di lantai kamarnya, mendengarkan lantunan musik 'Fading Like A Flower'. Entah kenapa semakin ia dengar semakin mengingatkan kondisinya saat ini. Terdengar dering suara telepon di rumahnya, kemudian papa memanggilnya.
"Dari siapa, Pa?"
"Ga tau, Edo paling, biasa yang suka telepon kan dia." kata papa.
Malas dan agak ketus Sisca menjawab teleponnya, "Apa?"
"Wuih, jawab telepon ga pake kata pembuka, to the point banget."
"Lho, bukan Edo, maaf, siapa ya?"
"Ya makanya kalo jawab telepon itu didengar dulu siapa yang bicara, jangan asal jawab. Ini Dave, masa ga ingat?"