Penilaian senam tinggal hitungan hari. Gerakan senam sudah tinggal dihapal, formasi juga jelas. Sisca, Inez dan Winda memilih di barisan belakang supaya tak terlalu terlihat. Untungnya postur mereka lebih tinggi dibandingkan tiga anggota lainnya. Saat latihan terakhir, masih saja ada yang belum pas.
"Kita ini lebih cocok bikin grup lawak daripada grup senam. Tiap latihan ga pernah sekali berhasil, pasti banyak ketawanya." kata Sisca pada teman-temannya.
"Iya, bayangkan memalukan kalo pas penilaian kelas lain ngelihat. Bisa jadi bahan ketawaan Iven aku. Anak itu sudah siap-siap dengan olok-olok untuk aku." tambah Winda.
"Ya tinggal tunggu kelas mereka perform aja to, balik ketawain. Sekelompok sama Rini kan dia? Aku pernah lihat kok pas latihan." kata Inez.
Kezia, Nia dan Hanny cuek aja, mereka termasuk yang cukup percaya diri buat tampil di depan umum.
"Winda pasti bakal lebih grogi ya karena fans-fansnya bakal ikutan nonton." tambah Kezia.
"Maksudmu siapa, Key? Apakah kawanan anak baju putih abu-abu itu?" tanya Hanny penuh selidik.
"Iyaaa, Winda kan populer tuh, banyak yang nanyain. Masa kamu ketinggalan gosip. Kakakmu sih ga di sini, ga punya channel gosip" kata Sisca.
"Ngawur kok kalian ini. Aku lho ga ada yang kenal sama mereka. Aku juga ga pernah ngelihat mereka." kata Winda.
"Iya lah, track record Winda bersih dari dunia lope-lopean. Ga level ya, Win." kata Inez yang dijawab dengan senyuman.
Memang Winda bukan orang yang mudah bergaul dengan cowok, mungkin juga karena trauma keluarganya. Ia memang sangat tertutup, sangat rapi menyimpan rahasia. Bahkan gaya bicaranya pun terkesan sinis, pribadinya cenderung keras. Waktu masih duduk di bangku kelas dua, ia pernah memukul cowok nakal yang usil dengan penggaris kayu sampai kepala anak itu berdarah.
Pulang latihan senam, Sisca mampir ke rumah Airin untuk berbincang-bincang santai. Walaupun kepada sahabatnya, ia tak bisa sepenuhnya jujur mengenai perasaannya.
"Rin, kamu kan suka Untung, ketika kamu tahu kalo dia suka Iven, gimana rasanya? Trus apa yang kamu lakukan?"
"Ya awalnya kaget, ya sedih lah pastinya. Lama-lama ya biasa, secara Iven memang lebih segalanya dari aku. Ya dinikmati aja sih."
"Emangnya suka tu gimana ya? Aku kok jadi bingung sendiri. Sebelumnya aku pernah mengartikan kalo suka itu ngelihat yang cakep-cakep gitu, tapi Untung darimana cakepnya?"
"Walah, kamu ga menghayati berarti. Tapi ya, gebetanmu tu juga ga ada yang cakep menurutku. Tapi kenapa dulu kamu juga suka?"
"Suka apanya ya? Suka saingan kali ya, ato suka omel-omelan? Entahlah, ga paham dan ga mau memahami. Trus gimana sekarang? Masih bertahan naksir Untung?"
"Yah you know lah, walau ngomong ga tapi ya tetep, kalo ga ada ngangenin. Tapi Untung itu termasuk sabar, udah ditolak-tolak juga ngedekeeeeeet mulu."
"Hahahhahah...ya memang orangnya agak muka tebel apa muka tembok ya? Dulu ngejar Inez sampai kayak orang gila, dateng ke kelas, jelas-jelas ngerayu gitu. Ampun, ikut malu deh."
"Btw, kamu ga pernah teleponan sama Dave lagi? Kapan hari itu aku coba teleponan sama orangnya, lumayan seru kayaknya. Trus dia nanya nomor teleponmu, ya kukasih aja."
"Ooooooohhh...jadi kamu pengkhianatnya? Kok ga cerita, hah?"
"Lha kamu ga nanya, kamu juga ga cerita kan kalo waktu itu kamu ga bisa tidur gara-gara dia ngancam kamu? Yang kamu bilang katamu habis ketemu setan itu?"
"Iya, ketemu orang kayak setan. Kurang ajar bener, kamu ini malah sekongkolan sama dia. Sebentar-sebentar, kamu ini sahabatnya siapa sih? Haiz, udah ah, pulang aja."
"Lho, kok marah, lha kamu ga bilang kalo habis diteror sama dia. Aku aja tahu karena pas ngobrol-ngobrol, dia nanya waktu itu kenapa mukamu kayak orang ngeronda semalaman. Kubilang katanya habis ketemu setan, trus dia bilang, masa dia setannya. Kamu juga ga cerita sama aku. Harusnya aku juga marah, aku ini temenmu apa bukan?"
"Iya deh, maaf, Non, terlalu bingung menceritakannya. Males juga cerita, emang salah langkah dari awal sih aku. Aku pulang dulu ya, ntar mamaku ngomel."
Sesampainya di rumah, mandi, makan malam lalu bersiap-siap belajar seperti biasa sambil mendengarkan kaset lagu Mandarin pemberian sepupunya. Lagu yang ga dimengerti artinya, tetapi membawa pesan melankolis. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir, Sisca tidak berteleponan dengan Dave. Ada rasa kangen juga diam-diam di hatinya, tetapi bingung harus ngobrol apa. Malam itu, Sisca menelepon kembali.
"Selamat malam, dengan Dave ada?"
"Oh, sebentar, ini dari siapa?"
"Dari Sisca, temennya."
Setelah diteriaki oleh sang pengangkat telepon terdengar jawabannya, "Halo, apa kabar? Ada apa?"
"Cuman mau kasih info, nomor teleponnya 7517622. Kamu perlu tahu latar belakangnya?"
"Hahaha...masih semangat aja kamu. Ya kalo kamu mau cerita, kudengarkan."
"Lha butuh tahu atau ga? Atau mau tanya sendiri, monggo."
"Ya udah, ceritakan saja."
"Setahu aku, orangnya itu pemalu, orang tuanya sudah lama berpisah, dia ikut mamanya. Dulu waktu masih SD, anaknya baik, ga gengsian, ga sombong. Entah kenapa sekarang aku merasa agak berubah. Masih baik, cuma misterius."