Pagi itu, Sisca duduk di bangku taman sambil melamun. Livi mendatanginya, menepuk pundaknya, mau minta bantuan untuk mengenalkan dirinya dengan Ardi lewat Dave. Sisca menolak, karena sebelumnya sudah berusaha tapi tak mendapat kesempatan. Sisca berkata, "Bukannya Ronny bisa membantu ya harusnya, enak kan malah, sudah kenal lama."
"Ga bisa, Ronny sudah tau sejarah panjangku, nanti aku dikira agresif."
"Lha kenyataannya memang kayak gitu kan, Vi? Kamu berani jujur tentang perasaanmu. Bagus dong."
"Tapi, Ronny itu juga tahu dulu aku minta dikenalkan sama Andre, lalu Jason, banyak deh. Makanya kali ini ga mau ah."
"Wah wah wah, banyaknya koleksi kenalanmu. Trus ke mana semua? Kok ga ada lanjutan cerita?"
"Yah ga cocok, dianya suka sama orang lain. Kadang yang kita sukai malah ga suka kita, eee yang datang malah yang lain."
"Ya ya, sabar ya, masalahnya aku sudah beberapa hari ga ngobrol sama orangnya. Agak ribut beberapa waktu lalu."
Ternyata semua orang punya kisahnya masing-masing. Mengapa juga Dave ga mau bilang soal temannya. Apa mungkin dia menganggap Sisca suka membicarakan orang lain? Mungkinkah setelah berbicara langsung dengan Winda, ia merasa berbeda kesan dengan yang Sisca katakan?
Winda datang dari kelas Iven. Sisca iseng bertanya padanya, "Win, kamu pernah ditelepon sama Dave?" Memang sejak memberikan nomor teleponnya, Sisca ga pernah bertanya sama sekali kelanjutannya. Winda menggeleng bingung. "Ga pernah tuh, Sis, emang kenapa? Emang dia tahu nomorku?" Sisca mengangkat bahu tanda tak tahu, padahal dia tahu.
Rasa penasaran tapi juga takut kehilangan membayangi. Iseng-iseng, Sisca bertanya pada Edo, "Hoi, Do, kalo ada cewek yang ngajak kamu kenalan trus malah ngobrolin cewek lain. Bagaimana pendapatmu?"
"Wah, rumit juga, bisa aja dia suka sama aku. Tapi kalo kayak gitu jadi membingungkan. Jangan dilakukan ya! Kalo kamu suka, ya tunjukkan suka bukan malah nyomblangin sama orang lain. Tapi kalo ga suka, jangan sok perhatian juga, cowok tu juga gampang ge-er lho."
"Ooo gitu ya. Masak aku suka dia ya?"
"Apa? Hayo siapa? Penasaran yang kayak apa yang kamu cari tu."
"Ooh ga ga, lupakan saja! Ga usah dibahas."
"Nah tuh, pasti salah satu dari yang berdiri di seberang sana ya?"
"Mana ada. Ga ada kok. Fokus fokus, mau ke sekolah favorit, nilai harus bagus."
"Halah, modelmu."
*****
Tak tahan untuk terus penasaran, Sisca menelepon kembali, tetapi yang bersangkutan tidak ada di rumah. Sampai malam pun tak ada telepon kembali, rasa gengsi pun mengalahkan keingin tahuannya. Dia putuskan untuk membiarkannya saja. You can't lose what you never had, ucapnya dalam hati.
Keesokan paginya, di depan gerbang sekolah, ada Dave berdiri di sana. Sisca jelas melihatnya, tetapi berniat berlalu begitu saja melewatinya, sayangnya Airin justru menyapanya. Terpaksalah mereka berhenti di sana. "Kenapa kemarin cari aku?" tanya Dave pada Sisca.
"Kemarin ya masalah kemarin, sekarang ya sudah ga berlaku."
"Kalo memang penting kenapa ga menelepon lagi?"
"Lha mana kutahu kamu sudah balik apa belum. Kenapa juga ga telepon balik?"
Airin yang tak paham jalan ceritanya terbengong-bengong tampak bersiap melerai. "Ini apa-apaan ya pagi-pagi sudah ribut ga jelas. Kamu, Sis, kan ya tinggal bilang aja keperluanmu kemarin."
"Ya gini ini temenmu tuh, rada-rada membingungkan. Hal simpel dibikin rumit." ucap Dave sambil berlalu meninggalkan mereka.
"Kamu kenapa sih, Sis? Kok aneh gitu rasanya. Orangnya berniat baik kok tanggapanmu agak ga enak gitu. Ya harusnya bener sih, kalo kamu yang ada perlu, harusnya kamu yang telepon lagi. Iya ga sih?"
"Aduh, entahlah aku juga ga tahu. Mana Livi tuh aneh-aneh, mau kenalan sama Ardi tapi ga mau ketahuan Ronny. Mau minta tolong Dave. Yang nyusahin itu, dia minta tolong sama aku. Harusnya dia kenalan dulu sama Dave sendiri, baru minta dikenalin sama Ardi. Deuh, ruwet."
"Iya lah, Ronny kan pernah bilang sama Livi kalo dia terlalu banyak gebetan, gampang suka tapi setelah kenal ya ga lanjut. Yang ngenalin ikutan ga enak, makanya dia bilang ga mau ngenal-ngenalin lagi."
"Trus aku kudu gimana dong?! Hadehhhhh...ga mood hari ini."
"Ya nanti cari orangnya, minta maaf gih sana."
"Walah, nyari di kelasnya maksudmu? Ga ah..."
"Haiyahhhhh....aku juga jadi ikutan kesel sama kamu."
Sisca juga menyesal dengan kata-katanya tadi. Tetapi Dave sudah tak nampak di pandangan. Airin menyuruh mengejarnya dan Sisca pun menurut.
"Hoi hoi, Kak, hoi..." panggil Sisca kepadanya sambil setengah berlari.
Dave pun tidak menoleh, pura-pura tak mendengar panggilan Sisca.
"Ish, Hoi, Kak Dave, dipanggil ga nengok!" ulang Sisca sambil tengok kanan-kiri berharap tidak ada orang yang dikenal yang melihatnya.
"Aku punya nama, ngapain noleh dipanggil ga jelas gitu. Iya kalo manggil aku, ga sekalian pake sat sut sat sut gitu kalo manggil? Ada apa?"
"Itu, tadi, eh kemarin, eh tadi sih, maaf deh. Kemarin itu aku—," tak dilanjutkan oleh Sisca karena Winda tampak berjalan ke arah mereka. Sisca langsung meninggalkan Dave tanpa berpamitan. Yang ditinggal ikut bingung, apa maksudnya cewek ini, benar-benar ga jelas.
Sepanjang pelajaran hari itu, masih terbayang-bayang kejadian pagi tadi. Malu juga rasanya. Dalam perjalanan pulang, Sisca bertanya pada Airin,
"Rin, aku tu bingung. Kadang kangen sama orang itu, tapi kalo ketemu rasanya pengen ngilang aja. Pengen ngobrol, tapi ga tau musti ngobrolin apa. Trus aku harus gimana?"
"Ahaaaa, aku tahu ini topik tentang siapa. Pasti yang tadi pagi ya."
"Hayooo... ngobrolin apa ini? Ada apa tadi pagi?"
"Ssst, nanti aja dibahas. Ini bukan tempat yang aman buat ngobrol." Sisca mengingatkan.
"Oya, gimana pembicaraan kita kapan hari? Bisa ga orangnya?" tanya Livi lagi.
"Kamu langsung nanya orangnya aja ya. Aku ga tau bisa apa ga soalnya, daripada kelamaan."
Airin mengkode kedua temannya agar tak melanjutkan pembicaraan. Tapi Sisca tak paham, malah nanya maksud Airin. "Maksudmu gimana, Rin? Ga paham, kenapa ga boleh ngomong?" Airin cuma menutup muka tanda menyerah dengan kelambatan temannya.