"Hai, Sis, selamat pagi! Pagi-pagi masih ngantuk gitu." Sebuah sapaan di pagi hari yang mengagetkan sekaligus menyemangati. Saking kagetnya sampai ga bisa bicara apa-apa. Airin yang menjawab, "Biasa ratu molor, kalo sehari 24 jam dan kalo bisa 18 jamnya habis buat tidur." Masih tak bersuara, Sisca masih mengatur irama jantungnya yang tak beraturan. Dave menjawab, "Wah, waktu tidurmu berkurang dong kemarin." Tak menjawab apa-apa, cuma diam sambil tersenyum. Dave pun berlalu mendahului mereka.
Airin tersenyum sendiri melihat reaksi sahabatnya yang makin hari makin aneh. Ia bertanya, "Sis, kamu kok diam aja sih. Kayaknya ada yang kamu rahasiakan ya? Cerita dong!" Sisca menggeleng sambil berkata, "Masih ngantuk. Belum nyambung sarafku, nyawa juga masih separuh."
Sisca memilih berdiam diri di kelas daripada memperbesar peluang bertemu dengan Dave. Livi justru menemuinya untuk sekedar ngobrol-ngobrol, menghabiskan jam istirahat. Sisca menghabiskan jam istirahatnya dengan tiduran di kelas. Edo mengajak ngobrol,
"Sis, inget kan sama Christy yang kuceritakan dulu? Anak kelas sebelah yang jadi pacarku? Papanya bilang katanya tahun depan mereka pindah ke Jakarta. Gimana ya? Apa aku juga ikut daftar sekolah di sana?"
Sisca terkaget-kaget, "Perlu ya sampe gitu? Bukannya kamu mau sekolah ke Yogyakarta? Kalo tiba-tiba kamu pindah haluan gitu gapapa ya papa mamamu?"
"Lha gimana? Kalo jarak sejauh itu mana sanggup bertahan?"
"Wah ya susah, masalah jarak dan waktu. Biasanya sih susah. Kalo dianggap bukan jodoh gimana? Katanya kalo jodoh kan ga lari dikejar jauh gunung di sana."
"Lupa deh aku, kamu kan orang paling irasional kalo soal perasaan, hahahaha.... Ga ngrasain sih gimana rasanya kangen itu. Besok kamu kalo kangen rasanya itu kayak kepala sama kaki ketuker."
"Ih, apaan sih. Perumpamaanmu jelek banget. Ya gini lho, Do, kamu coba tanya ortumu, kalo sekolah di sana gimana? Biaya pasti juga lebih besar."
"Iya sih, anaknya sebenarnya juga ga mau pindah, tapi ga mungkin deh."
"Ya dinikmati aja waktu yang ada. Banyakin waktu bersama. Sok bijak amat ya aku, hahahaha..."
"Ya memang, tapi makin dibicarakan makin sedih. Padahal kita ini harusnya fokus mempersiapkan ujian akhir ya, tapi malah banyak yang dipikirkan."
"He-eh, pikiran ga jelas. Kamu yang sudah jelas pacaran, enak bahasnya. Kalo yang ga berstatus pasti lebih bingung kalo bahas."
"Ga berstatus gimana? Kamu maksudnya? Sama Natan? Atau sama yang kamu cerita kapanan. Kalo sama Natan, noh anaknya nongkrong di depan sendirian. Kayaknya ya, Natan itu suka sama kamu lho."
"Hahahaha.... Suka saingan maksudmu? Dulu pas kelas 1 sampe segitunya dia pas aku yang jadi peringkat 1. Natan itu patah hati kalo aku yang juara 1, merebut pacarnya."
"Ngawur kamu, seriusan ini. Pernah cerita kok, andai kamu ga nganggep dia saingan, lebih enak buat saling mengenal. Tapi ga pernah ada kesempatan."
"Eh, yang mulai perseteruan ya dia deh seingatku, katanya aku ga boleh ganggu ganggu dia pas sekelompok tugas. Aku lho ga ganggu ya cuma sedikit usil aja ngajaki ngobrol. Lha dieeeeemm aja, sepi."
"Ya memang yang sudah berlalu susah dikembalikan. Menyesal juga percuma ya."
Bel istirahat berakhir, semua kembali ke tempat duduk nya, melanjutkan sisa jam pelajaran hari itu.
*****
Merenungi kejadian hari itu, Sisca hanya membolak-balik majalah yang ia pinjam dari Inez. Malas belajar. Terdengar dering telepon, tapi bukan untuknya. Ternyata dia menunggu telepon yang tak dijanjikan. Akhirnya ia ketiduran walau belum jamnya.
Telepon yang ditunggu pun berdering, papa memanggilnya. Ia pun keluar dengan mata ngantuk.
"Ya?" jawabnya dengan suara khas orang bangun tidur.
"Tidur? Jam berapa ini? Sorry ganggu tidurmu. Mau cerita, tadi temenmu ke kelasku, bingung musti gimana. Aku kenal pacarnya Ardi, trus masak aku kenalin Livi? Jadi merasa bersalah."
"Trus gimana akhirnya?"
"Ya kenalan sih, ngobrol-ngobrol gitu. Hmmm...kamu kok ga bilang sama dia yang aku ceritakan kemarin?"
"Belum sempat, hari ini aku sibuk di kelas. Ga ketemu juga."
"Oya? Sibuk ngapain? Iya sih, ga ngelihat kamu seharian. Biasanya mondar-mandir ke ruang guru atau ke kantin."
"Ga lah, ngapain mondar-mandir? Ke kantin ya paling dua kali, ke ruang guru kalo ngumpulin tugas."
"Iya kah? Ga perhatiin. Trus sibuk ngapain?"
"Sibuk ceramah, buka jasa konsultasi, hahahaha..."
"Halah, siapa konsultasi sama kamu? Ga salah? Emang bisa kasih solusi?"
"Ya tentu lah, tentu tidak. Kan ngomong lebih gampang daripada mengerjakan. Walau tanpa solusi, kadang cerita aja udah meringankan beban."
"Iya bener banget. Eh, kata Ronny, temenmu itu dari dulu gampang suka sama orang. Lha kamu gimana?"
"Aku? Ga tau, ga berani melibatkan diri karena terlalu beresiko. Itu anak gampang banget suka, kalo ga kesampaian paling juga lupa. Lagipula di umur segini belum waktunya mikir hal itu."
"Biasanya temenan tu sifatnya hampir-hampir mirip, tapi kamu punya temen kayaknya ga ada yang mirip sama kamu."
"Mana tahu kamu? Orang ga kenal sama mereka. Eh tapi ya ga tau juga kalo ternyata kenal."
"Ga kenal, tapi kamu lupa kalo aku itu pengamat yang baik."
"Iya mengamati Winda sampe bisa mengenali cara bicaraku, soalnya kamu sering ada di sekitarnya dan otomatis pas aku juga di deketnya."
"Ga tuh, aku ngamati kamu. Kalo ngamati dia ya ga dengerin sekitarnya."
"Karena saking penasarannya sama penelpon gelap, hahaha.... Itu saran yang seharusnya ga kulakukan. Menyesal banget (karena jadi susah berhenti)." Tentu saja kalimat terakhir tak terucap.
"Iya gelap kok kamu. Sebelumnya itu aku sering lewat daerah pasar sana, aku tahu rumahnya Winda karena dekat rumah temen deketku."
"Siapa? Kayaknya Ardi, Ronny ato Agung ga ada yang rumahnya di sana."
"Oh, bukan mereka. Aku juga baru sekelas sama mereka, kebanyakan temenku masuk IPS. Aku aja yang masuk IPA, sebenernya mau masuk kelas Bahasa, tapi ga boleh sama mamaku."
"Iya semua suka masuk IPA, tapi kalo mamaku mau pelajaran apapun pokoknya Matematika harus bagus, padahal aku benci pelajaran Matematika. Katanya ibarat olahraga, Matematika itu kayak sepakbola, punya slot khusus. Apanya yang slot khusus, ya tergantung lah ya."
"Ya gitu kadang ortu, agak memaksa, ya tujuannya baik sih tapi caranya kok maksa ya. Besok kutunjukkan temenku, mungkin kamu kenal."
"Ga ah, ga mau kenalan kenalan. Mending ga banyak kenalan daripada pusing."
"Kenapa memang banyak kenalan malah pusing? Ga kukenalkan, cuma kutunjukkan aja."
"Ga deh, di sekolah itu mending ga ngobrol-ngobrol dan ga ketemu."
"Kenapa memangnya?"
"Gapapa, ga enak aja."
"Ga enak kenapa? Sama siapa?"
"Ya ga enak aja, susah dibicarakan. Ya sama semua orang. Mending dianggap ga kenal, jadi aman."
"Ga ngerti maksudmu. Ada apa sih sebenarnya?"
"Rumit lah pokoknya. Enak gini aja, kalo ada info baru kabar-kabaran."