Sudah beberapa waktu sejak insiden yang membuat Inez dan Sisca terjebak kesalahpahaman, Dave dan Sisca tak saling berkomunikasi. Entah karena masing-masing sibuk atau memang saling menghindari. Entah apa alasannya, tiba-tiba Sisca ingin meneleponnya.
"Halo, selamat sore, bisa bicara dengan Dave?"
"Ini dari siapa?" tanya seorang cewek di seberang sana.
"Dari Sisca."
"Sisca ini siapanya Dave ya?"
"Temannya."
"Teman sekolah? Sekelas?"
"Eh bukan deh, adik kelasnya."
"Oooh, kelas berapa?"
"Kelas 3 SMP."
"Lho, kok bisa? Kenal di mana?"
"Kenal di sekolah."
"Kok bisa ya?"
"Kelasnya dititipkan di sekolah saya."
"Oooo I see, gimana kenalnya?"
"Ya kenalan aja."
"Tumben dia mau kenalan, dipaksa aja ga mau. Apa kamu yang selama ini sering teleponan sama Dave ya?"
"Waduh, ga tau ya. Btw, ini siapa ya? Orangnya ada?"
"Lho, ya harus tahu dong! Kalo ga tahu ya cari tahu. Oiya sampai lupa, aku kakaknya. Orangnya lagi keluar rumah. Ada pesan?"
"Oooh, ga ada, Kak. Makasih."
Ini malah berasa diinterogasi, mana ga ketemu orangnya tapi ditanya macam-macam.
1 jam berlalu, 2 jam berlalu, menuju jam ke-3 tak kunjung ada telepon balik. Sisca sampai pada kesimpulannya : LUPAKAN!!!!
Esoknya, Sisca berkata pada Airin, "Rin, mulai detik ini, detik aku selesai bicara, aku mau melupakan Dave!"
"Waw, tumben bisa mutusin gitu cepat, ada kejadian apa?"
"Kemarin aku telepon dia, eeeeeh yang angkat kakaknya, pake diinterogasi pula! Dan parahnya, orangnya ga di rumah."
"Lha trus cuma karena hal itu kamu memutuskan melupakannya?"
"Lho, jam segitu pergi ama siapa hayo? Ga telepon balik sampai detik ini. Udah lama ga ngobrol juga. Namanya apa kalo ga saling melupakan."
"Hmm... kesimpulan yang terburu-buru. Terserahlah."
Siang itu, pelajaran telah usai. Mayoritas siswa sudah meninggalkan sekolah. Beberapa siswa SMA masih duduk di depan kelasnya. Karena bertekad untuk melupakan, maka Sisca tak menoleh walaupun ada Ronny dan Agung di depan pintu serta Dave duduk di bangku depan kelasnya. Ronny sudah bersiap-siap usil dari gelagatnya.
"Hai, Sis, kok ga disapa sih?"
Sisca diam saja, malas menjawab, cukup tersenyum sinis. Selang beberapa langkah, seseorang memegang pundaknya, mengarahkan langkahnya sambil berkata, "Eh, kamu itu habis duduk di kursi yang basah atau...ehmm gimana ya. Gini deh, rokmu itu ada pulaunya." ternyata Dave yang sedang berbicara.
Kyaaaaaaa...betapa malunya Sisca, trus harus bicara apa? Alhasil pura-pura cuek aja, sesuai spesialisasinya. Dengan datar ia berkata, "Oooo iya, biasa." sambil melepaskan tangan Dave. Dave lalu menjawab, "Ya cepetan pulang atau mau pinjam jaket buat nutupin?" Sisca sok cuek berkata, "Ah, ga usah, santai aja." padahal rasanya malu sampai ingin ditelan bumi saja.
Airin keluar dari toilet, mencari Sisca yang belum nongol juga. Dari kejauhan ia melihat pemandangan aneh antara Sisca dan Dave. Begitu Sisca mendekat langsung menghambur ke Airin.
"Aduh, Riiiinnn...kamu kok ga ngelihat tadi. Ini rokku ada apanya sih?"
"Eh, tembus ya?"
"Aduh, malunyaaaaaa... Yang kasih tahu aku malah Dave. Duh mukaku mau ditaruh mana?"
"Mukamu ya disitu aja toh, mau kamu taruh mana? Hahahaha...aku ga lihat lah, orang aku ke toilet tadi. Ga kelihatan banget kok, sama kayak aku beberapa waktu lalu. Udah, santai, dia juga udah gede. Paham lah."
"Ya paham, waktu itu Arif aja tahu kamu tembus hahaha..."
"Eh kalo orang ga tau, dilihat dari sini, kok kalian malah romantis di sekolah. Mau ikutan nyanyi apa itu yang malu pada semut merah?"
"Heleh, lebay!!! Lagu jadul gitu, lagunya mama-mama." Sisca ga pernah menyangka kalo lagu itu akan kembali dipopulerkan di tahun-tahun mendatang.
*****
Akhir pekan, jadwal kondangan papa dan mama Sisca. Sisca ga ikut karena malas gabung dengan teman-teman mamanya.
"Ya sudah kamu di rumah sendirian lho, kalo takut sendirian ya pergi ke rumah Airin." kata mama.
"Ah, gampang, nanti kalo aku lapar langsung ke warung Mbak Menik aja ya, makan di sana. Malas bawa pulang, cuci piring segala. Jangan lupa kasih uang daripada aku ngutang!" jawab Sisca.
"Anak cewek kok malesnya minta ampun. Gitu mau sekolah di luar kota apa ya bisa mandiri?" mama masih membalas.
Deringan telepon memutus pembicaraan ibu dan anak yang seringkali berujung perdebatan. Bukan berarti tak sayang, tapi demikianlah hubungan mereka.
"Halo!"
"Halo, apa kabarmu?"
"Selalu baik lah."
"Lagi ngapain?"