Setelah pertemuan hari itu yang penuh kegilaan, Sisca kembali memikirkan apa yang dia alami. Mempertanyakan mengapa semua yang berhubungan dengan perasaan selalu berbentuk benda abstrak yang tak bisa dinalar. Sampai ia dikejutkan suara Airin yang sudah nongol di kamarnya.
"Sis, ngelamun apa?"
"Eh, ga disusul ya kemarin, kamu tega bikin aku longak-longok kayak orang hilang?"
"Lha salahmu kenapa longak-longok, ga mau fokus ke orang di depanmu? Aku lho lihat kamu, ga jadi ke sana karena takut ngeganggu."
"Oya, jangan mengalihkan pembicaraan, kemarin ngapain bisa si Untung demi ke rumahmu melanggar aturan lalu lintas? Naik motor di usia segini? Buset. Kagum aku."
"Itu dia, jangan salah paham, dia itu habis ke rumah Iven, dan biasa mampir cari aku tu selalu kalo lagi kesepian, butuh teman. Hmmm..."
"Iya ya kadang memang gitu, mungkin dia ga sadar aja kalo kamu ilang, yang lebih dicari sama dia itu kamu daripada Iven."
"Trus kenapa kemarin bisa mendadak kalian ketemuan gitu? Wah gila, bakal jadi gosip kalo Tante-tante disini lihat. Bakal ditanya mamamu."
"Tenang aja, tante-tante pada pergi kondangan di luar kota. Aman. Maklum gedung disini juga kapasitasnya kecil, lha orang selevel Pak Pur bikin acara ya kurang lah."
"Sis, kenapa ya rasanya semakin dekat kelulusan kita, kok makin berat meninggalkan semuanya ya."
"Iya, semua yang disini memang harus ditinggalkan. Buka lembaran baru, tutup buku lama."
"Aku belum bisa, Sis. Kamu memangnya bisa? Ayolah, kamu jangan kebanyakan nipu diri sendiri! Kalo sayang bilang sayang, kalo ga mau kehilangan, buang gengsimu tu jauh-jauh"
"Hmmm...aku ga tahu. Rasanya kok waktu cepet banget berlalu."
"Huff..."
Kedua sahabat itu sama-sama menghela nafas dengan pikiran masing-masing. Sampai waktu makan siang pun tiba, mama mengajak mereka makan.
Senin pagi datang terlalu cepat, tetapi tak pernah sama dengan menanti datangnya hari Sabtu yang berasa super lambat. Kehidupan bergulir dengan ritme konstan.
Siang itu tatapan Sisca kosong menghadap ke halaman sekolah, sampai lamunannya buyar karena Rinda menyenggolnya. Kuatir teman sebangkunya terjebak diusir kembali.
"Sis, kamu kok ngelamunan sih akhir-akhir ini, masih ribut sama Inez?"
"Eh, aku? Ga juga ah. Biasa aja."
"Jangan korbankan persahabatan buat cowok lah. Kalo kalian sahabatan harusnya saling memahami."
"Hahaha... Mana ada? Aku dan dia kebetulan menyukai orang yang sama."
"Hush, jangan keras-keras ketawanya, bisa diusir berdua kita, ah!"
Kembalilah mereka berkonsentrasi pada pelajaran. Kayaknya pelajaran akhir-akhir ini kurang menantang dibanding dengan pelajaran menyukai orang.
"Nez, temenin ke toilet yuk." ajak Sisca mencoba memulai pembicaraan, memang ke toilet di jam pelajaran tak pernah dilakukan sendiri. Sejak mula selalu berkelompok, karena kondisi toilet di pojok gedung sehingga menambah kesan horor.
"Oke, kebetulan aku juga lagi kebelet pipis." jawabnya. Sisca agak terkejut juga, tanggapannya sudah normal ga sedingin beberapa waktu lalu.
Setelah mendapat izin, mereka segera keluar kelas bersama. "Nez, maaf ya soal beberapa waktu lalu."
"Aku juga minta maaf, seharusnya kita ga kayak anak kecil gitu ya. Ngapain juga saling mempersalahkan?"
"Oke deh, semoga nanti di Semarang kita bisa tetep temenan. Kamu pasti ikut Kak Sandra ya masuk SMA Budi Luhur?"
"Iya ngikut aja, semua kakakku ke sana, aku ya ngikut aja deh. Kamu juga ke SMA Susteran itu? Ati-ati ikutan jadi suster kamu, hahaha..."
"Wah, jangan ya, belum ada panggilan hahaha..."