Sore itu, sepulang dari belajar kelompok di rumah Hanny, Sisca berjalan melewati halte dekat rumahnya. Ia melihat Dave duduk di halte itu, tetapi ia memilih untuk menyeberang halte menghindar bertemu dengannya. Tetapi Dave menyusulnya. Akhirnya mereka malah berbincang-bincang di halte. Melewatkan bus yang seharusnya ditumpangi untuk pulang.
"Hai, kamu darimana?"
"Dari rumah Hanny belajar kelompok. Kok belum pulang?"
"Habis belajar kelompok juga."
"Kok kamu ga ke sekolah naik motor aja?"
"Malas, kalo naik bis lebih santai, rumahku ke sini lumayan jauh. Cape kalo harus motoran."
"Emang berapa kilometer?"
"Daerah timur sana, 25 kilometer, capek pulang pergi. Temennya Airin itu lebih jauh lagi. Bisa 30 kilometer."
"Waw, jauh juga hahahaha..."
"Kapan ujian?"
"Bulan depan, kamu?"
"Dua minggu lagi, duluan aku. Minggu depan sudah minggu tenang. Habis ujian, nganggur, nunggu kuliah."
"Hmmm...iya. Eh, minggu depan Winda ulang tahun lho, kami ditraktir makan di Semarang lhooo."
"Trus?"
"Ya gapapa, ngiming-ngimingi kamu aja."
"Ah biasa deh, aku juga sering ke sana menengok adikku. Kalo mau kuajak besok kalo aku ke sana."
"Beda dong, kan ditraktir. Aku juga bakal satu sekolah lagi sama dia. Kayaknya aku lebih berjodoh sama dia dibanding kamu."
"Hah? Maksudnya?"
"Ya aku sama dia itu lebih berjodoh daripada kamu sama dia."
"Dasar ga beres beneran anak ini! Ga ngurus juga."
"Hmmm...masak ga sama sekali?"
"Udah deh kamu pulang sana. Aku juga mau pulang. Tha..."
"Ini siapa yang manggil siapa ya? Trus siapa yang ninggal siapa?"
"Lha topikmu ga jelas. Nanti aja kutelepon. Dah aku pulang dulu, kemalaman."
Sisca meninggalkannya dan pulang. Dalam hati berpikir, kalau saja waktu bisa dihentikan atau setidaknya diputar lebih lambat supaya bisa melihatnya lebih lama.
Malamnya sesuai kesepakatan maka mereka melanjutkan obrolan ga jelas itu.
"Halo, selamat malam. Lagi ngapain?"
"Denger musik sambil nyantai belajar. Kamu kayaknya ga pernah tampak lagi belajar ya?"
"Aku ga perlu berlama-lama, belajar sebentar juga nyantol. Lagian belajar supaya cepet nyantol, hati harus gembira dulu."
"Halah, belajar kok bisa gembira. Darimana korelasinya, adanya serius mikir."
"Lho, kalo hati gembira itu mood baik, jadi bisa lebih fokus."
"Kamu tu jadi cari aku buat bahan hiburan gitu maksudmu? Emang pelawak?"
"Soalnya kamu tu banyak bahan cerita, lucu aja dengerin kamu ngomong. Topik a sampe z bisa nyambung tanpa jeda, hahaha..."
"Hmmm...bahan lelucon deh jadinya. Aku diam aja dah mulai sekarang."
"Coba aja kalo bisa. Kayaknya dah denger kamu mau diem sebelumnya, tapi ga pernah terwujud."
"Jadi kamu nganggepnya aku ini bahan lelucon gitu. Hmmm..."
"Hahaha...sudah sudah, tenang jangan marah malam-malam. Eh, aku pengen tahu, sebenarnya alasan awal kamu kenalan sama aku itu apa? Alasan yang sebenarnya."
"Apa ya? Kenapa memangnya?"
"Ya karena kamu bukan kayak Livi, kok bisa seberani itu kamu kenalan sama aku?"
"Karena kayaknya kamu orang baik, kayaknya kamu setipe sama aku. Ceria di depan orang, tapi ga kalo lagi sendiri."
"Hahaha...kok tahu? Emang kelihatan? Hmmm..."
"Hmmm...ya kira-kira aja. Aku juga ga tahu kenapa kayak gitu. Kalo waktu bisa diputar, aku ga bakal ngelakuin kok."
"Oya? Why?"
"Gapapa. Hmmm...habis ini semua berpisah, mencari jalan hidup masing-masing. Baru kali ini aku beneran meninggalkan teman-teman dari masa kecilku. Aneh juga rasanya."
"Hmm, ga mau cerita? Perpisahan ya awalnya pasti ga enak, tapi kan ketemu orang baru, kadang bisa lupa juga kok sama temen lama."
"Itu kamu kan? Aku ga kayak gitu kok."
"Kamu mau sekolah di mana sih? Adikku juga sekolah di Semarang lho, jangan-jangan kamu daftar di sekolah adikku?"
"Adikmu sekolah di mana?"
"Eh, lagi, ditanya apa jawabnya pake pertanyaan balik."
"Di KD, tahu?"
"Lha, Airin tu mau ke sana, hahaha..."
"Oya? Airin juga keluar kota? Dia itu kayaknya kalo jauh dari rumah bisa berpotensi brutal."
"Kok tahu?"
"Ya anaknya agak tertekan kayaknya, di sini kayaknya agak dibatasi. Hmmm... Ya semoga baik-baik aja."
"Kamu masuk psikologi aja gih. Cocok kayaknya menebak-nebak kepribadian orang."
"Hahahaha...ngobatin diri sendiri gitu? Rawat jalan sambil kuliah?"
"Iya biar ga sakit jiwa."
"Eh, aku ga nganggep kamu lelucon lho ya, nanti kamu salah paham kirain aku beneran anggap gitu."
"Sudah terlanjur mikir gitu dari dulu, santai aja."
"Pikiranmu itu beneran susah dimengerti, kalo sudah mikir A walau faktanya B tetep aja mikir A. Bisa percaya ga sama orang?"
"Katanya percaya itu sama kuasa Tuhan, kok disuruh percaya sama orang?"
"Heh, serius ini. Kamu ga bisa percaya sama orang lain kah?"
"Ga terlalu, tapi tergantung tentang apa dulu."
"Gapapa, berarti kamu juga ga bisa percaya sama aku. Oke deh, kapan-kapan kita ngobrol lagi. Semangat persiapan ujian!"