Setelah hari itu, tak ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan Sisca. Hanya membuka kenangan lama yang sudah tersimpan rapi, kini menjadi berantakan kembali. Seharusnya memang tak perlu bertemu lagi.
Suatu pagi di hari Minggu, Sisca melihat layar ponselnya.
1 panggilan tak terjawab
4 pesan diterima
Tampilan di layar ponsel Sisca. Ah, biasanya juga Sendy yang kirim pesan aneh-aneh. Telepon dari nomor tak dikenal. Salah sambung kali.
Dibukanya pesan, ia menemukan pesan teks berbentuk gambar lucu dari nomor tak dikenal tadi.
"Maaf, ini siapa ya?" balasnya kemudian.
Lama tak ada balasan. Ia pun menganggap orang iseng cari kenalan seperti biasanya dan melanjutkan acara malas-malasan di hari itu.
Beep...ponselnya kembali berbunyi. "Oya, maaf lupa, ini Dave."
"Oiya, masih ingat rupanya kamu, hahaha..thanks lho!"
"Have u ever missed someone so much? Keep wondering what I have to do? I don't know how or when I can forget you."
"Hahaha...mau ngetes bahasa Inggris atau mau ngerayu cewek sih kamu, Kak?"
"Ga ngetes atau mau ngerayu cewek lain, mau ngerayu kamu aja."
"Halah gombal. Habis patah hati atau sekarang kamu mabuk-mabukan ya?"
Auld Lang Syne berdering, Sisca mengangkat ponselnya, "Halo?"
"Ngawur, aku sadar, sesadar-sadarnya. Sampai kapan kamu mau lari? Atau sekarang kamu sudah ada yang punya?"
"Ngapain lari, ga ada yang ngejar juga? Dari dulu juga aku ada yang punya. Kita semua kan ada yang punya, milik Sang Pencipta."
"Aku serius tadi. Udah beberapa waktu lalu aku mau cari kamu, tapi takut ditolak."
"Edan!" telepon pun ditutup oleh Sisca.
Beep...bunyi pengingat pesan, "Kalo kamu sudah punya pacar, bisa kan bilang baik-baik. Ga usah mengatai aku edan gitu!"
"Bukan mengatai, tapi emang kenyataannya edan. Jangan main-main sama aku!"
"Aku ga pernah main-main. Udah deh, kamu kos di mana?"
"Ngapain juga, emang kamu di mana? Pake tanya kosku sgala."
"Aku lagi perjalanan ke sana. Kamu ga pindah sekolah kan? Pasti deket-deket sana kan kosmu."
"Perjalanan kok smsan, bohong!"
"Aku naik travel kok, besok sekalian balik sama temenku. Kasih alamatmu, nanti aku ke sana."
Sisca tak mau menjawab, ragu apakah harus memberitahunya atau tidak? Merusak pertahanan hatinya untuk membendung perasaannya selama ini. Banyak yang singgah di hatinya, tetapi tak ada yang meninggalkan jejak seperti perasaannya pada Dave.
Auld Lang Syne kembali berdering, bingung Sisca menjawabnya. "Kenapa lagi?" bentaknya.
"Kenapa ga dibalas? Aku sudah mau dekat ini."
"Aduh, please deh, Kak... Aku ga sanggup ketemu kamu lagi. Bisa mati jantungan aku."
"Hahaha...lha kenapa? Udah ga usah banyak alasan. Smsin aja alamatmu. Kalo ga sekarang, mungkin nanti sore aku ke sana."
Telepon ditutup, kejutan di hari Minggu sepi. Banyak yang masih terlelap. Grogi membuat rencana bersih-bersih kamar tertunda dikerjakan.
Beep...kembali sms berbunyi, "Aku ke rumah temanku aja, daripada nunggu jawabanmu ga jelas aku jadi gelandangan."
"Jl. Rambutan 3/2." jawab Sisca.
"Ok, tunggu aja nanti aku ke sana."
Hari itu Sisca benar-benar bingung. Mau ngomong apa? Takut nanti mengulangi kejadian 3 tahun lalu yang berakhir dengan perpisahan. Jam menunjukkan pukul 13.00 saat bel rumah berbunyi. "Siscaaaaa... dicari temanmu." teriakan Tante menggelegar.
"Iya, Tante." galau sendiri, keluar ke teras melihat Dave berdiri di sana.
"Hai." ucap Dave agak kaku.
"Ya." balas Sisca tak kalah kakunya.
"Ngapain? Sudah makan?"
"Selesai bersihkan kamar. Belum."
"Kenapa pakai jaket? Lagi sakit?"
"Panas, takut sunburn nanti."
"Ya ampun, jadi takut matahari?"
"Waktu berubah, orang juga berubah dong!"
"Iya, kita juga berubah. Yang ga berubah itu sifatmu. Masih tetep keras kepala."
"Lho harus dong, tulang kepala itu bagian paling keras di antara yang lain."
"Masa sih, sudah lupa. Ini memang kosmu ga ada ruang tamu atau memang ga boleh bertamu?"
"Ssst...jangan keras-keras, dibilangi jangan ke sini kok, kalo kelamaan nanti bakal ada alarm pengusir tamu."
"Hah? Maksudnya? Dari tadi kulihat ga ada kursi sama sekali. Jadi harus sambil berjemur gini?"
"Makanya ga usah ke sini. Salahmu ngotot, ya udah berjemur aja kamu di situ. Aku berteduh di sini. Kamu gosong mah gapapa, masih lebih putih daripada aku."
"Gitu ya, kenapa juga aku ga ke situ. Panas."
"Trus kamu nyuri motor siapa?"
"Pinjem ya, ga tampang jadi pencuri. Makan yuk, lapar."
Sebuah ajakan yang jelas tak bisa ditolak oleh Sisca. Bagaimanapun, sebuah rasa itu masih ada.
"Tunggu ya, aku ambil uang. Jalan aja, cuma dekat sini kok."
"Terserahlah, aku ga paham daerah sini." jawab Dave.
Sisca masuk mengambil uang sambil menghilangkan kegrogiannya sebentar karena digoda oleh Indah.
"Duu, senangnya yang mau kencan." kata Indah.
"Kencan apaan? Cuma bernostalgia, mengenang yang tak pernah ada, hahaha..."
"Yang hampir pernah ada."
"Ah, terserah kamu deh, Ndah. Makin grogi aja."
"Ya iya, makan sama cowok cakep anak kuliahan. Cemburu nanti si Helmi kalo lihat."
"Halah, Helmi gitu lhooo."
Saat kembali akan membuka pintu keluar, Sisca mendengar suara samar-samar pembicaraan telepon, entah siapa.
Berdiri di depan menunggu Dave selesai berbicara, tampak serius sehingga tak berani mengganggu, duduk di lantai teras pemilik kos.
"Ayo, berangkat." ajak Dave setelah menyudahi pembicaraannya. Mereka berjalan menuju tempat makan langganan anak kos di sana.
Sisca bertemu dengan Helmi di sana, tentu saja langsung menyapa.
"Halo, Sisca yayang, tumben siang-siang ke sini?"
"Iya ini temanku kelaparan."
"Oooh, padahal mau kubungkusin lho tadi."
"Halah, ngomong doang tak pernah terealisasi."
"Lho, beneran, kok ga percaya sih."
"Pacarmu?" tanya Dave sepeninggal Helmi.
"Bukan lah. Teman sekelompok belajar." jawab Sisca.
"Panggilnya kayak gitu? Ckckck... Kamu juga santai aja dipanggil gitu?"
"Halah, ada juga bercanda. Biasa sudah sama dia itu, di kelas juga kayak gitu. Awalnya malu juga, dikira beneran. Lama-lama biasa. Kalo dipikir-pikir, kalo dia serius ga mungkin sevulgar itu."
"Hmm, menurutku dia serius. Kalo ga ada apa-apa jangan kasih harapan lebih."
"Hahaha...orang kesekian yang ngayal kejauhan. Ga gitu kok."
"Aku bukan tipe yang percaya sama hubungan persahabatan antara cewek dan cowok. Jadi aku ga percaya kalian ga ada apa-apa."
"Ya terserah, aku percaya sih masih ada persahabatan jenis itu. Udah cepetan pesen daripada ceramah."
"Hahaha... Ga ceramah, tenang aja." sambil menulis pesanannya, baru melihat tulisannya rapi juga.
"Siang-siang panas pesan juga nasgor, hmm..."
"Trus? Harusnya?"
"Ya makanan yang berkuah."
"Ga suka makanan berkuah. Biarin aja."
"Ya emang, yang makan juga kamu sendiri." sambil berdiri menyerahkan pesanan.
"Panas juga disini, kamu ga kepanasan masih pake jaket, kan ga kena matahari?"
"Hahaha... gapapa, nanti yang lihat bingung."
"Kenapa bingung?"
"Lupakan saja, hahaha..."
"Kebiasaan adem, kena panas gini ampun deh. Btw, gimana kabarmu?"
"Baik gini lho. Kamu sendiri gimana?"
"Baik jugalah, cuma awal kuliah di sana agak kurang baik."
"Kenapa? Dikatai orang ya karena logat ala ketoprak?"
"Ga juga sih."
"Lha trus kenapa? Jangan bilang kangen rumah, hahaha..."
"Iya, kangen."
"Bisa ya cowok kangen rumah? Ada ya? Lucu juga." Dave tak menjawab, hanya tersenyum saja.
"Lha kamu gimana? Senang sekolah di sini?"
"Senang lah, penuh tantangan. Ketemu orang baru, saingan banyak, tapi aku kok malah santai ya? Kelas satu masih berjuang takut ga naik, kelas dua berjuang juga masuk IPA, setelah masuk tahun terakhir, malah hura-hura hahaha... efek sudah ketrima kuliah nih. Padahal kalo ga lulus gimana ya? Mungkin itu ya yang bikin kamu bersantai-santai dulu."
"Hahaha...tahu kan rasanya? Bosan belajar terus. Tapi ya jangan terlalu santai, kelulusan tetep penting."
"Masuk IPA tu ga asyik, ulangan harian plus tugas banyak, praktikum, ditambah lagi orangnya ga seru."
"Trus paling happy pas kelas berapa dong? Kalo kelas 1 dan 2 berjuang gitu, trus sekarang orangnya ga seru?"
"Kelas dua dong, ada banyak kegiatan, karyawisata ke Bali pula. Banyak main-mainnya, anaknya seru-seru. Trus kamu gimana?"
"Ya kuliah kan beda, kegiatan kemahasiswaan juga banyak, tiap semester bisa ketemu orang baru, bisa adik angkatan bisa kakak angkatan. Seru-seru aja."