Hari demi hari berlalu, tak terasa sudah tiga bulan berjalan sejak hari itu. "Ternyata begini rasanya kangen yang sepupuku rasakan. Hmm... apalagi hujan gini jadi melow." kata Sisca pada Indah suatu sore sambil melihat air hujan dari balik jendela.
"Ya ditelepon dong, Mbak!" sarannya.
"Ga punya pulsa, Jeng, hahaha..."
"Ah dasar aneh, sebentar ketawa sebentar melow. Aku mau keluar sama Yohan. Nitip?"
"Ke mana? Ikut ga boleh ya?"
"Mau boncengan bertiga? Dasar."
"Hujan-hujan gini? Wah wah, niat banget. Mau ke mana sih?"
"Ke gereja, ada seminar."
Semenjak Indah sudah punya pacar, Sisca dan Vina jadi penunggu kos di malam minggu, penjaga para adik kos yang senasib.
Hujan, dingin, paling pas bikin mie kuah sambil minum teh hangat. Makan di meja makan sambil nonton tv yang ga jernih penampilannya.
Setelah makan, menyibukkan diri dengan tugas merangkum rumus Matematika dengan kreasinya. Sambil duduk di kursi makan.
"Kak, kamu tu sebenarnya sudah punya pacar belum sih? Kalo belum ga mau sama kakakku aja, hehehe..." tanya Ely.
"Halah, kakakmu ga mungkin cocok sama aku deh. Ada juga ribut terus. Kasihan mama kita, bisa ikut rame, hehehe..."
"Eh, yang waktu itu ke sini anaknya Tante Inge ya? Itu temennya mamaku kalo bener." sambungnya.
"Yang mana?"
"Yang putih, cakep itu."
"Dave kah maksudmu?"
"Iya, bener berarti, anaknya Tante Inge. Dulu pas kecil sering main ke rumahku. Temenku ada yang ngefans berat sama dia. Kamu kok bisa deket, Kak?"
"Pas dulu kenalan."
"Dia ngajak kamu kenalan? Pacarmu kah?"
"Hahahaha...apaan sih? Kenapa memang?"
"Ya gapapa, soalnya temenku kan tetanggaan sama dia. Ga tahu sekarang kabarnya gimana."
"Oooh, ya ya."
Vina yang mendengar pertanyaan adik kos yang berasal sedaerah dengan Sisca tersenyum geli. "Apanya, Sis, yang iya?" pancing Vina.
"Hah? Ga ada, eh, kamu kok ga bikin tugas sih? Ngerangkum rumus, bingung ya mana yang perlu mana yang ga?" Sisca mengalihkan pembicaraan sambil melotot ke arah Vina.
"Kak, handphonemu getar tuh." panggil Ely. Sisca bergegas mengambil ponselnya, takut terbaca si penelepon oleh Ely. Mengemasi barang dan langsung masuk ke kamarnya.
"Lama banget angkat teleponnya. Lagi ngapain?"
"Ada temen kos, inget ga namanya Ely, siapa tahu kenal."
"Siapa ya? Ga kenal kayaknya."
"Lha, anaknya bilang kamu bener anak Tante Inge? Mana kutahu coba ya? Kenal harusnya, katanya mama kalian temenan."
"Yang mana ya? Ga ingat sama sekali."
"Ingatanmu buruk berarti. Kenal lah. Pas kecil katanya kamu sering ke rumahnya."
"Haduh, aku ga ingat. Pas aku kecil, ya kalian lebih kecil lagi lah. Mana ingat kalian kalo aku aja ga ingat."
"Mana kutahu, bener ga tapi kamu anaknya Tante Inge?"
"Bener sih. Trus dia anaknya siapa? Ah sudah, ngapain bahas anaknya siapa? Emang kenapa?"
"Ya ga, dia kenal lho sama kamu. Ingat-ingat deh. Rumahnya dekat sungai, dari perempatan sekolah belok kiri. Kakaknya cowok sepantaran aku, namanya Welly."
"Aduh yang mana sih? Penting banget kah?"
"Penting lah...soalnya temennya itu ngefans sama kamu. Tetanggaan sama kamu."
"Halah, kirain kenapa. Ga penting kalo gitu. Berapa tahun di bawahmu memang?"
"Dua tahun, sekarang masih kelas satu. Baru masuk anaknya."
"Ooh iya kayaknya ingat, anaknya Tante Yani. Iya, temen mamaku. Trus kenapa sekarang kalo udah inget?"
"Ya diingat lagi, siapa temannya yang ngefans sama kamu? Tetanggamu yang seumuran sama dia?"
"Ah, ga ada. Ira itu seumurmu, masak Selvy? Ga tahu deh."
"Hmm...banyaknya yang aku ga tahu. Kok ga pernah diceritakan?"
"Apanya? Ngapain cerita, nanti kamu bilang aku kepedean. Udah dibilang aku ini lumayan tenar, cuma kamu aja yang ga nyadar, hahaha..."
"Aduh jadi eneg, ada ya orang kayak gini? Suka tebar pesona berarti, bahaya."
"Ga usah ditebar sudah mempesona kok, dateng sendiri ga usah dipanggil, hahahaha..."
"Noh, beneran bahaya. Jangan-jangan di sana, temen kosmu juga langsung masuk aja? Kan ga ada yang ngawasin. Atau kamu yang masuk ke kamar temen kosmu?"
"Nah kan, ngawur pikiranmu. Emang ga ada yang ngawasi, kamu dateng nginap kamarku juga ga ada yang nglarang. Tinggal ngaku sodara atau adik, beres."
"Hih, berarti bener dong?"
"Apanya yang bener?"
"Bener berarti kamu pernah memasukkan cewek ato masuk ke kamar temen kos cewek?"
"Emang pernah masuk atau memasukkan. Bantu instal komputer, pasang kipas angin, benerin dispenser. Kalo masuk ke kamarku ya paling mau pinjem barang. Salah?"
"Hmmm...ya itu namanya tebar pesona. Ga ada yang lain apa, harus kamu ya?"
"Ya aku bisa kenapa ga? Lagian cuma diminta tolong."
"Ah ga tau, kalo lebih dari itu juga mana aku tahu. Orang kamu juga ga pernah cerita."
"Lho ya, ga penting soalnya. Gini kan ujungnya kamu jadi ga enak hati sendiri. Makanya aku ga cerita, tahu kamu kayak apa ga percayaan sama aku. Harus kujawab bohongkah pertanyaanmu?"
"Ga tahu, terserah kamu."
"Ayolah, sudah Sabtu malam ga bisa ngapel, masak masih juga diajak berantem?"
"Ga tahu, kesel sama kamu! Benar-benar ga bisa dipercaya!"
"Hmmm...bingung lho aku. Kudu ngapain sekarang?"
"Ini udah ujan, ga bisa ke mana-mana, ga ada siapa-siapa. Kamu pula menyebalkan. Lengkap hari ini!"
"Lha yang salah kan cara mikirmu. Aku ga ngapa-ngapain, kamu mikir aneh-aneh. Harusnya aku yang kesel. Seharian ga ada kabar, ditelepon malah ngajak ribut."
"Ya monggo kalo mau kesel."
"Hmm...ya sudahlah. Aku tutup dulu teleponnya, tenangkan pikiranmu dulu."
Membayangkan kata-kata Dave tentang temannya. Ia merasa terlalu bebas. Makin dipikirkan makin kesal. Saking kesalnya malah tertidur, apalagi rintik hujan mengiringi sejuknya udara malam itu.
Paginya, pergi beribadah bersama temannya. Dilihatlah layar ponsel sepintas ada pesan dari Dave, "Jangan lama-lama kesalnya, mikir juga jangan kebanyakan nanti makin kesel. Semua ga kayak yang kamu bayangkan."
Hari itu belum mengisi pulsa sehingga tak bisa membalas sms. Ketika sedang makan siang di ruang makan, ponselnya berdering. Indah meneriakinya, "Siscaaaaaa, Dave telepon."
Vina yang duduk di sebelahnya tersenyum dan berkata, "Nah, ketahuan kamu. Kalo kedengeran Ely, pasti ditanya lagi."
"Iya. Indah ini ga tahu situasi."
"Ndah, tolong angkatkan bilangin lagi makan." sambungnya.
Kembali ke kamar mengerjakan tugas yang jumlahnya tiada tara sambil ngerumpi bersama Vina dan Indah. Padahal kamar Vina paling nyaman dihuni, entah kenapa ia lebih suka nongkrong di kamar Indah dan Sisca.
Ponsel Sisca kembali berbunyi, jelas masih dicari karena tak juga ada kabar.
"Halo, Sisca, kamu mau sampe kapan marahnya?"
"Sampai kamu datang biar bisa dipukuli secara nyata."
"Hahaha...sudah ga marah kan? Tapi kenapa ga balas smsku?"
"Hoi, aku ga marah tapi ga punya pulsa hahahaha..." sepintas terdengar Vina dan Indah tertawa mendengar jawaban konyol Sisca.
"Ya Tuhan, kenapa ga bilang? Bikin orang kepikiran. Kuisikan kah?"
"Belum waktunya. Masih dua hari lagi baru isi."
"Kenapa harus gitu? Tapi kamu telepon aku juga jarang, smsan juga cuma beberapa kali. Kok bisa habis?"
"Ya kan aku telepon ama smsan sama lainnya juga. Kamu ga pernah kehabisan pulsa ya, jangan-jangan pascabayar?"
"Emang pascabayar sih. Udah kuisikan aja, daripada harus nunggu. Aku minggu depan pulang. Kamu libur berapa hari?"