Tujuh belas batang lilin putih telah Zie susun rapi di sekeliling dinding kamarnya. Tak ada api, Zie sengaja tidak menyalakannya. Seluruh rongga dan celah telah ia tutupi. Ventilasi, jendela, pintu, kaki pintu, bahkan lubang kunci pun ia tutupi dengan kain. Menurut artikel yang ia baca, tak boleh ada satu pun tempat yang dapat dilalui angin. Zie juga sempat ragu dengan ini, apakah akan berhasil atau tidak. Namun, tak ada salahnya dia berusaha mencoba.
Sambil menarik napas dalam-dalam, dia mematikan lampu dan mulai duduk di tengah-tengah kamar. Satu batang lilin telah ia sisip dan ia letakkan di hadapannya dalam keadaan menyala. Bersama dengan satu bingkai foto seorang pria yang tampak tengah berdiri, menampilkan seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki. Wajah yang tersenyum manis di situ membuat Zie yakin, bahwa yang akan ia lakukan ini pasti berhasil.
“Kembalilah, Paman,” ucapnya saat mengangkat bingkai foto itu, menatap sekali lagi wajah seseorang yang berada di dalamnya, lalu meletakkannya kembali. Tangannya beralih meraih buku catatan di samping. Membuka teks yang telah ia tulis sebelumnya, beberapa baris teks yang berasal dari bahasa Yunani.
‘O prodotikés psychés tou Kyríou. Voíthisé me, me voithíste. Dimiourgíste aftó pou thélo. Tha eímai dikós sou, tha eímai dikós sou.’
Dibacanya teks tersebut, pelan-pelan supaya tidak ada yang salah, dan diulanginya beberapa kali.
‘O prodotikés psychés tou Kyríou.’