BRAK! Livina meletakkan kopernya di sisi, lalu duduk di atas kursi panjang yang mengarah ke rel kereta api. Wanita berusia mendekati 30-an itu mengusap rambut sebahunya yang tergerai kusut. Kaos putihnya yang dipenuhi keringat serta Jeans biru yang sedikit hitam membuatnya terlihat menyedihkan. Dia amat sangat kesal.
“Ah, sial. Menyesal aku menikah dengan si bajingan itu. Setelah beberapa tahun berlalu, dia malah meninggalkanku demi perempuan lain,” serapahnya, bengis.
Adiknya, Jason sudah sepuluh kali menelepon tapi tidak dia angkat.
“Apa-apaan kau?!” hardiknya setelah mengangkat telepon itu.
“Kakak ke mana? Kenapa meninggalkan Zie sendiri?” suara dengan nada lengking yang sedikit parau di balik sana. Terdengar pula suara tangisan anak kecil di sisi, membuat Livina semakin geram.
“Aku mau pergi,” kata Livina. “Ke tempat yang jauh, dan bersenang-senang di sana.”
“Hah? Lalu Zie bagaimana, Kak? Kakak tak boleh meninggalkannya.”
“Persetan! Kenapa harus aku yang bertahan mengurusnya? Cari saja pria itu dan berikan padanya! Aku sudah mengikat diriku selama enam tahun, dan sekarang tak bisakah aku menginginkan kebebasan?”
“Kak,”
“Haaaaaaa …, benci sekali. Beraninya dia meninggalkanku demi perempuan itu. Aku benci, aku benci! Haaaaa ….” Livina menangis seraya mengacak rambut sebahunya yang semakin kusut. Jason yang mendengar itu jadi resah. Tentu saja dia iba pada kakaknya itu. Ingin dia bicara lagi, akan tetapi, sambungan telepon itu telah putus. Livina telah menutupnya.