Zie duduk di atas bebatuan kerikil di tepi jalan, di bawah tiang lampu malam, bersama Deaveka Jason yang kembali ia panggil untuk menemaninya.
“Selamat ulang tahun, Zie,” ucap Deaveka Jason tiba-tiba. Zie menatapnya dan membalas, “Ulang tahunku bukan hari ini.”
Deaveka Jason tersenyum, “Aku tahu. Besok, kan?”
“Ya, tapi mereka malah mengira sekarang.”
“Bukan begitu, mereka hanya ingin merayakannya dari malam ini. Agar lebih spesial.”
“Cih! Lebih spesial?”
“Ini salahku,” sela Deaveka Jason kemudian. “Mulai besok aku harus mengantarkanmu ke depan pintu rumah. Agar mereka tidak susah mencari.”
Zie berdecak, rasa sebal masih tak hilang dari mimik wajahnya. Sampai saat ini dia masih tak ingin pulang, meskipun udara sangat dingin malam ini, dan piama yang ia pakai berlengan pendek.
Demi mengembalikan mood gadis itu, Deaveka Jason mencoba menggoda, “Besok mau jalan-jalan?”
Senyum Zie seketika merekah, sembari mengangguk cepat. Biasanya dia jarang sekali pergi jalan-jalan. Namun, dia akan sangat senang jika melakukannya dengan pamannya itu.
***
“Kau merusak semuanya!” teriak Livina, kecewa, terutama saat melihat semua persiapan perayaan ulang tahun yang telah mereka rancang gagal total. Sementara Tony bersandar di sofa ruang tamu sembari menyesali apa yang telah ia lakukan tadi. Tak hanya itu, mereka jadi bingung sekarang harus mencari Zie ke mana. Livina semakin geram melihat suaminya yang malah tampak tak berniat untuk bergerak mencari putri mereka.
“Kenapa kau masih diam di sini? Cepat cari Zie! Ayah macam apa kau membiarkan anak gadisnya pergi keluar malam-malam sendirian?!”
Tony menghela napas, memegangi kepalanya yang semakin kacau. Keysha keluar dari kamarnya di lantai atas. Sejak tadi, perasaannya cemas dan ketakutan. Terlebih, keributan antara kedua orangtuanya masih belum usai sampai sekarang. Dia lalu berinisiatif untuk melakukan sesuatu, yakni mencoba masuk ke kamar Zie. Entah mengapa dia berpikir menuju ke situ.
“Ayah! Ibu!” panggilnya setelah keluar dari kamar Zie.
Sepasang suami istri itu menoleh ke arah balkon atas setelah mendapati suara Keysha yang kecil, namun terkesan perih layaknya anak kecil. Tatapan mata gadis kecil berambut hitam pendek itu menuntun Livina dan Tony untuk menghampiri.
“Kakak sudah pulang,” ujar Keysha. Lantas membuat Livina dan Tony terkejut. Dilihat oleh mereka, Zie yang telah tertidur lelap dalam balutan selimut di atas kasurnya. Mereka kebingungan: karena sejak tadi, mereka yang duduk di ruang tamu tidak melihat kedatangan Zie sama sekali. Lalu, dari mana Zie bisa masuk? Mungkinkah pintu belakang?
Ya, Zie lagi-lagi melakukan teleportasi. Dia memohon pada pamannya agar dia diteleport langsung ke kamar, sekali lagi saja, karena dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan orang tuanya saat ini. Sampai di kamar, dia terlelap, tanpa ingat untuk mengunci pintu.
Paginya, seperti yang dikatakan oleh Deaveka Jason semalam. Saat akan berangkat sekolah, Zie harus keluar dari kamar dan rumahnya terlebih dahulu, baru kemudian diteleport oleh Deaveka Jason ke sekolah.
Zie menuruni anak tangga dan melewati ruang tengah. Rumah minimalis yang tak terlalu besar milik mereka itu memiliki ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan di dapur. Saat berlalu, dilihatnya Tony dan Keysha yang duduk di meja makan, serta Livina yang sedang menuangkan minuman. Suasana antara mereka sedikit bisu. Pandangan kecil dari Livina pun terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu yang tak habis dipahaminya sejak semalam, alih-alih curiga.
Awalnya, Zie hanya melihat sekilas dan berniat untuk langsung pergi. Namun, suara Tony tiba-tiba mencegah, “Sarapan dulu.”
Zie berdiri diam sejenak, menoleh ke arah kiri tempat ruang tamu berada, memandang Deaveka Jason yang berdiri di depan pintu utama. Tatapan pria itu memerintahkannya untuk menuruti seruan Tony. Zie melenguh. Padahal baru saja dia sarapan dengan roti yang disiapkan oleh Deaveka Jason di kamar tadi. Dengan malas dia melangkah ke arah meja makan dan mengambil sepotong roti di atas piring, tanpa berniat untuk duduk sebentar saja. Tony kembali mencegah saat dia bermaksud hendak melangkah pergi.
“Duduk. Kita akan berangkat bersama.”
Zie melenguhkan napasnya lagi, kembali memandang Deaveka Jason yang tampak mengangguk, kemudian menghilang. Kepergiannya itu membuat Zie mengerti. Terpaksa dia menuruti perintah ayahnya untuk berangkat bersama. Dia lalu menarik kursi dan duduk. Tak peduli dengan ekspresi keras Zie, Tony dan Livina cukup lega karena berhasil menahannya tetap bersama.
Bukan tanpa alasan Zie terima begitu saja saat disuruh menurut. Ini karena dia mempertimbangkan ucapan Deaveka Jason tadi malam. Jangan sampai keluarga Zie tahu bahwa Zie memelihara Deaveka Jason di kamarnya. Jika ketahuan, urusannya tentu akan jadi lebih rumit, dan Zie benar-benar tidak mau itu terjadi. Karena dia sangat tidak suka jika orang tuanya ikut campur akan urusan dirinya. Bagaimana caranya, dia harus bertahan untuk menamatkan sekolah satu setengah tahun lagi, lalu pergi meninggalkan rumah ini dan membangun hidup baru di luar sana.
***
Siang itu di sekolah, Zie kembali mendapat panggilan dari wali kelasnya, bu guru yang terus-terusan dihubungi oleh orang tuanya Zie.
“Kamu punya masalah? Coba ceritakan. Apa ada yang membebanimu di sekolah?”
Sampai sekarang, Zie masih terus menggeleng saat diberi pertanyaan. Juga terus menjawab, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang terjadi, tidak ada yang menggangguku.”
“Kemarin ayahmu menjemput, ke mana kamu? Kenapa kamu tidak menungggunya?”