Hari ini ialah minggu di mana Zie menjalani ujian semester. Biasanya, dia akan belajar dengan rajin di kamarnya. Ranking enam atau lima adalah peringkat yang biasa dia raih. Namun kali ini, dia pikir meminta bantuan pada Deaveka Jason adalah ide yang bagus. Dia tak perlu memaksa otaknya untuk memahami pelajaran. Di dalam kelas, saat sedang melaksanakan ujian nanti, dia akan memanggil Deaveka Jason untuk membantunya menjawab semua soal dengan benar.
Benar saja, peningkatannya di semester ini membuat orang-orang tak menyangka. Dia berhasil meraih peringkat dua di kelasnya. Keluarganya datang membawa karangan bunga sebagai tanda kebanggaan pada hari pengambilan rapor. Orang-orang memandang iri. Namun Zie, memangnya dia suka? Justru rasanya semakin benci. Lebih dari 8 tahun dia menjalani kehidupan tanpa ibu dan ayah. Lalu sekarang, keduanya muncul seolah benar-benar menyayanginya sejak kecil. Sehingga Zie benar-benar durhaka jika menolak mereka.
Zie lalu naik ke kelas tiga. Semakin hari, dia tidak hanya tertutup, tetapi juga asyik dengan dirinya sendiri. Orang-orang merasa aneh saat melihat dirinya yang tidak pernah bicara lagi dan selalu saja tersenyum sendiri seolah ada hal menyenangkan yang barusan ia alami. Ditambah dengan kabar bahwa peringkatnya tiba-tiba naik, membuatnya mulai sering disorot. Sayangnya, dia tidak tahu.
Seperti biasa, usai jam istirahat, Zie yang selalu menghilangkan diri di belakang bangunan sekolah itu kembali lagi ke kelasnya. Di perjalanan, tiba-tiba dia mendengar seseorang menyeru dari belakang.
“Habis jalan-jalan lagi?” Suara pelan itu membuatnya terkejut dan menoleh. Ternyata adalah suara dari seorang siswa perempuan berambut pirang kucir sebahu yang kini tersenyum.
“Seharusnya kamu jangan memanggilnya di depan umum,” ucapnya lagi, lalu pergi melewati tubuh Zie yang kini tertegun menatapnya. Kening Zie menyerngit berpikir, seketika teringat dia akan sebuah fakta mengenai Deaveka Method.
‘Teman imajinasi ini dapat dilihat oleh orang lain yang juga sama-sama memiliki teman imajinasi.’
Zie membenak, “Apa jangan-jangan ....”
***
Pulang ke rumah, bukan ketenangan yang Zie dapat. Dia malah mendengar ibu dan ayahnya yang saling beradu mulut di ruang tengah.
“Kau belum berubah. Masih kekanak-kanakan seperti dulu.”
“Oh, jadi kau menyesal telah kembali? Pergi saja, pergi saja lagi sana!”
“Kenapa kau malah menyuruhku pergi?!”
Zie bersandar di daun ranjang sembari menyumbat telinganya dengan earphone dan memutar musik. Lalu, sebuah pesan tiba-tiba masuk.
-Hai, aku Laudya. Kamu Linzie Particia, kan? Ingat yang menjumpaimu tadi siang? Itu aku. Salam kenal ^o^-
Zie terperangah, mencoba membalas pesan itu.
-Ya, salam kenal-
Tak lama kemudian, pesan kembali masuk.