Mr. Dav terkejut melihat keadaan kertas ayat-ayatnya yang telah habis terbakar, menyadari bahwa perlawanan memang telah dimulai. Hari ini dia datang bersama 4 orang rekan berpakaian putih—sama dengannya, dengan membawa beberapa jenis perlengkapan seperti air suci dan daun-daun tradisional. Mereka menyebutnya daun pengusir iblis, di mana iblis sangat tidak suka pada baunya. Daun-daun itu cukup diremas dalam mangkuk berisi air, supaya wangi yang dihasilkannya lebih tercium.
Setelah memercikkan air suci ke seluruh sudut, mereka duduk membentuk lingkaran di tengah ruangan. Melafalkan ayat dan doa-doa. Sementara Livina berdiri di depan pintu, berjaga jika sekiranya terjadi sesuatu.
Perasaan terbakar menyengat, mengejutkan Deaveka Jason yang tengah tidur di pangkuan kekasihnya, Anneth.
“Aku … izin sebentar, ya?” ucapnya tiba-tiba.
“Izin? Kenapa? Kamu mau ke mana?” Anneth yang tak ingin ditinggalkan pun jadi gelisah, terlebih saat Deaveka Jason bangkit dan tak menoleh ke arahnya sama sekali. Pria itu justru memunggung dan menunduk. Tak ada yang tahu, saat itu, matanya berubah merah, memandang kulit tangannya yang mulai mengelupas terbakar.
“Sebentar saja, aku akan kembali,” ucapnya melangkah. Namun, suara sosok pria lain membuatnya berhenti. Sosok pria yang adalah suaminya Anneth, yang kini berdiri di depan pintu dan menatap dingin seorang Anneth. Dia tak tahu, tentu saja dia tidak dapat melihat keberadaan Deaveka Jason di situ. Dengan tegas dia melangkah ke arah istrinya sembari menyodorkan map kuning berisi surat cerai.
“Sudahi saja, tak ada gunanya. Untuk apa diam saja seperti ini? Kita benar-benar tidak cocok.”
Anneth tak mengubris perkataan pria itu, pandangnya masih mengikuti arah punggung Deaveka Jason yang berhenti di tengah ruangan.
“Kau tidak dengar kataku?” bentak pria itu. “Apa kau tak mau karena kau bisa jatuh miskin setelah ini? Atau karena kau tak mau menjadi wanita tua yang selamanya akan hidup sendiri?”
Kecutan itu menarik tatapan Anneth. Tatapan yang tak kalah ketusnya dengan tatapan pria itu padanya.
“Kau pikir apa yang kau lakukan dengan tatapan itu, hah?! Cepat tanda tangan ini! Aku sudah muak, tidak tahan lagi!” Pria itu menarik Anneth, memaksa wanita itu untuk memegang pena dan menandatangani suratnya segera. Anneth meringis, perlakuan pria itu kasar sekali. Sampai tiba-tiba, pria itu terdiam kaku sambil memegangi mulutnya. Mual, seperti ada benda besar yang hendak keluar. Hal itu sekaligus menyumpat saluran pernapasannya. Dia mengerang sakit, kemudian memuntahkan sesuatu. Seekor bangkai tikus dipenuhi darah.
Anneth membelalak terkejut. Pandangnya tertuju lagi pada Deaveka Jason yang masih berada di situ, di tengah ruangan. Masih dengan punggungnya, namun kepalanya menoleh ke belakang, memandang datar pria yang telah limbung sekarat, dengan matanya yang bersinar merah. Satu detik setelah menyaksikan itu, Anneth jatuh pingsan.
Sementara itu, para pria berbaju putih masih berdoa di ruang kamarnya Zie, menunggu sosok yang mereka pertanyakan, tak kunjung datang. Ruang itu kini sudah panas, menitikkan keringat pada tubuh para pria berbaju putih. Livina yang masih berdiri di luar mulai cemas. Dia klimaks terkejut saat Zie tiba-tiba datang, berdiri di sampingnya seraya berteriak marah.
“Apa-apaan ini?! Apa yang kalian lakukan di kamarku?!”