Sudah tiga hari berlalu sejak pemakaman suaminya. Jujur, Anneth masih syok akan kejadian waktu itu. Dua hari sebelumnya, rumah itu ramai didatangi orang-orang melayat. Meski begitu, Deaveka Jason masih tampak di sampingnya, membantu menghibur dan menyiapkan perlengkapan. Tentu tak ada yang dapat melihat wujudnya, hanya Anneth seorang.
Belakangan ini, Anneth dan Deaveka Jason mulai jarang bicara. Deaveka Jason mencoba mengerti, mungkin, Anneth masih guncang melihat kematian suaminya. Namun, bukan itu yang sebenarnya dipikirkan oleh Anneth, melainkan kejanggalan dan rasa ingin waspada. Terlebih saat rumah itu sudah tak ada tamu lagi dan hanya tinggal mereka berdua. Sudah beberapa kali Anneth tak sengaja melepas tatapan curiganya pada Deaveka Jason. Akan tetapi, Deaveka Jason masih diam, dan masih bisa tersenyum. Semanis apa pun senyum pria itu, tetap saja, Anneth tak lupa dengan kejadian waktu itu. Terlebih saat mata pria itu mengeluarkan cahaya merah. Itulah bagian yang paling membuatnya heran.
Tak tahan lagi menahan kecanggungan, Anneth lalu mencoba mengeluarkan suara.
“Sudah lewat seminggu, kamu terus saja di sini?”
“Hm? Kenapa? Kamu bosan denganku?”
Anneth sedikit menundukkan kepala. “Bagaimana dengan Zie? Kamu tidak melihatnya?”
“Dia baik-baik saja.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
Deaveka Jason hanya menatap, bahkan tak terlihat ingin mencoba menjawab.
“Aku ingin ke sana. Sudah lama aku tidak melihatnya. Bisa kamu antar aku?”
Tatap Anneth dibalas datar oleh tatapan Deaveka Jason. Pria itu tak menyanggah apa-apa lagi, melainkan hanya mengangguk menuruti.
***
Zie menerima undangan acara ulang tahun Aldy yang akan diadakan malam ini. Undangan itu memutar suasana hatinya 180 derajat. Tak teringat lagi dia akan kejadian di kamarnya beberapa hari yang lalu. Rasa was-was yang sempat menghampiri benaknya tersingkir begitu saja. Sejak kemarin, dia sudah mengobrak-abrik isi lemarinya, mencari pakaian yang cocok untuk dipakai. Dia sampai memanggil Deaveka Jason untuk membantunya. Yang penting saat ini, entah naluri dari mana dia mulai merasakan hal seperti ini, dia ingin tampil cantik di pesta ulang tahun Aldy nanti.
Pamannya itu justru membawanya ke toko baju. Membuat Zie girang bahagia. Dipilihnyalah sebuah dress merah gelap, dengan sepatu hak bertali warna silver. Satu lagi, kalung merah delima yang sempat Zie idamkan di toko aksesoris dekat sekolahnya itu. Hampir saja lupa, Zie tak punya peralatan make-up. Dia perlu membelinya agar penampilannya malam ini sempurna.
Sekembali dari berbelanja, Zie duduk di depan cermin kamarnya dan fokus untuk merias wajah. Sebenarnya Zie tidak pandai ber-make-up. Karena itulah dia nyaris menghabiskan 4 jam waktu hanya untuk bereksperimen riasan wajah. Sementara Deaveka Jason hanya membiarkannya sambil sesekali melirik dan menyeru, memperingatkan tentang waktu yang terulur semakin lama.
Sekarang, Zie rasa semua sudah pas. Dia berdiri dan tersenyum melihat pantulan dirinya di depan cermin. Di mulai dari rambut panjangnya yang tergerai, bulu mata lentik, bibir merona, taburan kilau riasan tipis di wajah, dan lekuk tubuh ramping yang dibalut gaun merah gelap.
Untuk berangkat, dia diteleportasi langsung oleh Deaveka Jason ke tempat acara, yang ternyata adalah sebuah kafe sekaligus diskotik di tengah kota.
Zie tertegun. Diskotik? Yang benar saja? Baru pertama kali dia pergi ke tempat seperti ini. Dia jadi sedikit takut. Akan tetapi, takutnya mereda saat melihat Laudya keluar dari dalam sana dengan senyumannya yang lebar, menyambut Zie dan membawanya masuk ke dalam.
Musik diputar dengan nada sedang. Tamu-tamu yang datang belum ada yang berjoget, masih sekadar mengobrol ria sambil menikmati anggur merah. Bersama Laudya, Zie melewati kerumunan orang-orang dengan sedikit gugup, hingga dia sampai ke tempat di mana Aldy berada.