Pesta malam itu membuat banyak orang tepar. Mabuk lebih tepatnya, di mana puluhan botol anggur merah tergerus habis. Salah satunya Laudya, tepar di atas sofa dengan beberapa orang yang lain, sementara sisa setengah botol sampanye masih berada di tangannya. Hanya dua orang saja yang masih sadar, dan keduanya adalah Zie dan Aldy.
Bau di ruangan itu membuat Zie mual. Aldy sempat mengajaknya ke kafe bagian depan untuk memesan minuman segar serta steak sebagai makan malam. Setelah akhirnya menawarkan tumpangan pulang kepada Zie menggunakan Ferrari abu-abu metalik miliknya.
Zie sampai di rumahnya sekitar hampir pukul 2 dini hari. Sambil ditunggui oleh Aldy, barulah dia memanggil Deaveka Jason di depan pagar rumah untuk membantunya teleportasi ke dalam kamar.
Sungguh manis rasanya kejadian yang dilaluinya bersama Aldy malam itu. Mungkin, layaknya yang dialami gadis pada umumnya, Zie pun mengalaminya. Senyuman lelaki itu masih terbayang di kepalanya sampai sekarang. Membuat hatinya berdenyut dan tak bisa terima bahwa dirinya sudah kembali ke kamar. Dia pikir dia tak akan bisa tidur.
Rasa itu terus memenuhi suasana hatinya. Hingga dia membuka ponselnya yang sejak tadi terabaikan, bayangan manis itu seketika lenyap.
Dua puluh panggilan tak terjawab dari Anneth, dan beberapa pesan singkat.
-Kamu di mana, Zie? Tolong angkat teleponku. Adikmu meninggal, Zie.-
Pernyataan di pesan itu lantas membuat Zie dirundungi hawa dingin. Dia membeku, dengan insting yang membuatnya memandang sekitar, kemudian mencoba keluar. Tak ada apa-apa di luar—tak ada perubahan atau bekas kejadian apa pun. Membuat Zie seakan tidak percaya bahwa ada yang baru saja meninggal di rumah ini.
Semilir angin di ruangan rumah yang kosong menyentakkan lamunan Zie. Gegas dia berbalik kembali ke kamar.
Langkahnya terhenti ketika merasa ada hal yang belum tuntas diperhatikannya. Dia lalu berbalik lagi memandang ke lantai bawah, mendapati boneka beruang putihnya tergeletak di samping kaki tangga. Keningnya mengerut, berpikir: bagaimana bisa bonekanya ada di luar?
Dengan perasaan kesal dia turun dan mengambil kembali bonekanya. Dia kesal, karena dia pikir, mungkin ada yang masuk ke kamarnya lagi. Atau, dia kesal karena menyadari, semakin hari kejadian di rumah ini semakin tidak mengenakkan. Dia bahkan tak diberi kesempatan bersenang-senang. Benci sekali rasanya pada hidup ini, dia benci.
Diempasnya boneka beruang putih ke atas ranjang. Sembari memegangi kepala yang berat menahan tangis. Zie lalu ikut mengempas tubuhnya ke atas ranjang. Kacau dan pusing. Dia ingin segera tidur. Melupakan semua hal dan tak ingin melakukan apa pun lagi.
***
Pagi-pagi Anneth sudah datang menggedor pintu kamar Zie. Dia sudah lelah mencari anak itu sejak semalam dan jadi kesal karena belum juga menemukannya. Apalagi sudah dihubungi dan dikirimkan pesan masih saja belum merespons.
Sebentar lagi acara pemakaman dimulai. Anneth bergegas keluar menuju mobilnya. Deaveka Jason yang berdiri di teras ia abaikan. Pria itu lalu memanggil, bertanya, "Mau ke mana lagi?”
Anneth menarik kuat napasnya. “Kamu lupa, ya, pada Zie? Kamu itu, kan, pamannya. Kenapa kau masih tenang-tenang saja? Zie tidak ada, kita harus mencarinya!”
“Zie baik-baik saja. Dia sedang di sekolah.”
Anneth terdiam tak dapat berkata saat mendengar jawaban pria itu. Entah mengapa ada sesuatu yang tidak mengenakkan terdengar dari nadanya. Terutama ketika pria itu menjawab dengan wajah datar. Tanpa berkata lagi. Anneth segera menuju mobil, dan menolak saat Deaveka Jason menawarinya bantuan.
“Aku bisa sendiri.”
Anneth pergi, meninggalkan Deaveka Jason yang masih menatap dengan raut wajah datar.
***