Dua gelas hidangan Cappuccino hangat sampai ke meja mereka, di sebuah kafe kecil yang bersebelahan dengan apartemen. Zie dan Aldy duduk berhadapan di sebuah meja dekat jendela kaca, dan mulai berbicara saat suasana sedikit lebih tenang. Sebab, barusan Aldy merasa keadaan wajah Zie tidak baik-baik saja, penuh kecemasan. Sehingga dia perlu membawanya ke tempat yang nyaman sebelum diajak berbicara.
“Tentang Laudya, kamu tidak perlu terlalu cemas. Tunggu saja sampai dia baikan lagi.”
“Kamu yakin tidak apa-apa? Laudya hanya sendiri. Kakaknya tidak ada di sini, dan orangtuanya pun sudah meninggal. Hanya ada kita.”
“Tenang, Zie. Dia tidak akan kenapa-kenapa. Kan, ada Deaveka yang menjaganya.” Aldy tertawa kecil melihat kepedulian Zie. Tawa itu pudar seketika saat dia menatap wajah Zie yang masih terlihat cemas, bukan main.
“Zie? Sebenarnya, kamu kenapa?”
Zie mengelus pundaknya.
“Kemarin malam, adikku meninggal.”
“Hah?” Aldy sontak terkejut. Tak menyangka ternyata ada duka yang dibawa gadis itu kemari.
“Maaf, aku turut berduka. Kamu pasti sedih sekali.”
Zie diam sesaat, menatap ke arah jendela yang tak jauh dari sebelah kirinya, memperhatikan keramaian, di mana tampak beberapa orang tengah berkeliaran, menikmati jalanan sore bersama dengan keluarganya.
“Tidak.”
“Hah?”
“Aku tidak sedih.”
Aldy berpikir keras memahami perkataan gadis itu, menduga, “Ada masalah dengan keluargamu?”
Melihat Zie berdehem, Aldy menarik napas. “Kamu sama sepertiku ternyata. Bagaimana kisahmu? Ceritalah padaku.”
Zie menarik napas, dan mulai bercerita..
“Ibu dan ayahku sempat bercerai dan meninggalkan aku di usia 4 tahun. Jadi, pamanlah yang mengurusku, sampai aku berusia 12 tahun. Lalu, tiba-tiba orangtuaku kembali dan menyebabkan kematian paman. Aku benci mereka. Mereka rujuk, tapi, sampai sekarang masih saja kekanak-kanakan. Sering bertengkar, dan jika mereka tidak bisa berbaikan denganku, selalu aku yang disalahkan.”
Aldy menatapnya dengan mata sendu. “Sebagian orang tidak mengerti bagaimana cara menjadi orangtua. Definisi mereka terhadap makna orangtua hanya melahirkan dan memberi uang. Jika mereka sudah melakukan hal itu saja, maka mereka tidak pernah salah dan anak yang melawan akan durhaka.”
“Hmmh, bagaimana denganmu? Katanya kamu juga sama sepertiku.”
“Sedikit berbeda denganmu, aku ditinggal orangtuaku di sini karena sibuk bekerja. Mereka hanya peduli dengan mengirim uang saja. Cukup dengan uang yang banyak. Jika aku melakukan hal yang tidak mereka sukai, seperti telat mengangkat telepon, mereka langsung marah-marah. Seakan-akan aku anak yang tidak tahu terima kasih.”
Semakin dalam, percakapan mereka terasa hanyut dan menyedihkan. Baru pertama kali ini Zie saling berbagi cerita dengan orang lain. Apalagi sama-sama memiliki masalah dengan orangtua. Rasanya lirih sekaligus lega.
“Ah, tidak heran pengguna Deaveka Method orang-orang seperti kita, ya? Orang-orang yang kesepian dan butuh teman.”
Zie menanggapi itu dengan mengangguk kecil. Kegelisahannya lumayan berkurang setelah obrolan barusan, sampai akhirnya dia teringat lagi.