Zie berhasil keluar dari rumahnya tanpa sepengetahuan Anneth, dan tanpa bantuan dari Deaveka Jason juga. Padahal, Anneth sudah berjaga-jaga jika sekiranya Zie benar-benar akan pergi. Namun, Zie berhasil lolos melalui pintu belakang rumahnya. Dengan hanya membawa satu tas ransel besar dan boneka beruang putih kesayangannya, dia kini duduk di halte bus yang sepi.
Sudah pukul 8 malam. Zie tak tahu harus ke mana. Setidaknya, dia sudah berada agak jauh dari rumahnya. Tak ada siapa pun pikir Zie yang bisa dimintai bantuan, hanya Aldy seorang. Dia menatap ponselnya itu cukup lama, sebelum akhirnya menelepon, memutuskan untuk meminta bantuan pada lelaki itu.
Tak lama setelah telepon itu diterima, Zie tiba-tiba melepas tangis. Membuat respons Aldy terdengar cemas dari balik sana.
“Kenapa, Zie? Apa terjadi sesuatu padamu?”
Zie menjawab, nadanya terputus-putus. “Aldy ... tolong aku. Aku ... bertengkar dengan ibuku, dan tidak tahu lagi harus ke mana ....”
Semilir angin di halte yang sepi membuat tangis Zie semakin dalam. Aldy berusaha menenangkannya, dan bersegera datang menjemput.
***
Tepat setelah pintu kamar itu dibuka, segan yang sesaat dirasa oleh Zie ketika dibawa oleh Aldy, lenyap, berubah menjadi keterkejutan yang membuatnya nyaris membeku.
Suasana kamar minimalis bercat abu-abu putih itu tampak penuh dengan kerumunan orang. Perempuan-perempuan muda dengan beberapa orang anak kecil yang bermain. Di sudut pintu, di samping lemari, di kaki sofa, di lantai, dan di bawah meja. Seluruhnya tampak serentak menghentikan aktivitas dan memandang datar ke arah Zie. Menyadari ada yang tidak beres, Zie langsung menetralkan pandangannya dan berpura-pura tidak melihat.
“Masuklah, Zie,” seru Aldy, seraya menunjuk ke arah sofa, lalu berjalan ke arah kulkas di sudut ruangan untuk mengambil beberapa hidangan.
Zie melangkah masuk pelan-pelan. Aldy meletakkan dua buah minuman kaleng dan sepiring roti di atas meja, lalu duduk di atas sofa dengan leluasa.
“Mari Zie, tidak perlu segan seperti itu.”
Sedikit lambat, Zie akhirnya mendudukkan dirinya di atas sofa bersama Aldy. Dia melepas tas ranselnya, sedang boneka beruang putih masih diletakkannya di pangkuan. Lalu sedikit memandang-mandang sekitar saat menyadari keberadaan deretan lilin yang terpasang di sekililing dinding kamar, serta lentera yang terpajang di atas meja—sama seperti miliknya.
“Kamu … tinggal dengan siapa di sini?”
“Sendiri. Kenapa? Kamu tampak tidak nyaman. Sesak, ya? Kamar ini memang seperti ini, aku juga heran kenapa belakangan jadi sesak dan … agak panas.”
Melihat perilaku Aldy, Zie jadi yakin, bahwa benar, orang-orang ini ialah Deaveka milik Aldy. Tapi, bukankah mereka terlalu banyak? Aldy juga sepertinya tidak dapat melihat keberadaan mereka. Ada apa lagi ini?
“Maaf jika sekiranya tempat ini kurang nyaman. Untuk beberapa waktu, kamu bisa tinggal di sini. Anggap saja seperti rumah sendiri. Tidak perlu cemaskan aku, aku bisa tidur di luar, atau menginap di kamar temanku di sebelah.”
“Kamu yakin?”
Aldy terkekeh menatap Zie yang masih tampak begitu tegang, sampai menunduk dan berbicara dengan suara kecil.