[Latihan Militer Super Garuda Shield 20XX]
'GREEEEEEEEDD'
Suara deru mesin pesawat menggema keras di telingaku, seakan menembus segala keheningan. Aku, Sapta Yudha, berusia dua puluh empat tahun, seorang prajurit TNI Angkatan Darat (AD) dari satuan penembak runduk atau Sniper Kopassus dengan pangkat Letnan Satu. Saat ini, aku terjun dalam latihan operasi militer Super Garuda Shield, sebuah latihan internasional bergengsi yang diselenggarakan di tanah Indonesia.
Di sini, negara-negara besar seperti Amerika, Jepang, Korea, Inggris, dan beberapa anggota NATO lainnya berkumpul. Namun, sayangnya negara-negara blok timur, seperti Rusia dan China, tidak ambil bagian dalam latihan ini, karena hubungan politik yang kurang bersahabat dengan negara-negara blok barat. Kembali pada situasi kami, bersama rekan-rekanku di Grup Alfa empat Kopassus, kami bersiap untuk terjun bebas dari ketinggian 12.000 meter di atas permukaan laut.
"Ayo bersiap!" teriak Kapten dengan suara yang tegas dan penuh otoritas.
""Siaaaap!"" jawab kami serentak, mengikuti irama perintahnya dengan tekad yang membara. Dalam sekejap, kami mulai terjun bebas secara bergantian dari pesawat C130J-30 Super Hercules dengan nomor pesawat A-1360.
Cuaca siang ini sempurna. Langit cerah dengan sedikit awan menggantung di atas kami, memberikan tanda bahwa kami dapat melaksanakan tugas dengan lancar. Namun, tiba-tiba, suasana berubah drastis. Langit yang tadinya cerah kini diselimuti kegelapan yang mencekam. Awan-awan hitam berputar, seperti formasi monster yang siap menerkam. Sebuah badai besar muncul seketika, membentangkan cakrawala dengan petir yang menyambar-nyambar, angin kencang, dan hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.
Aku merasa ada yang salah. Kami baru saja menerima laporan ramalan cuaca dari BMKG yang mengatakan hari ini akan cerah sepanjang waktu. Tapi ini... ini tidak mungkin. Badai yang muncul begitu tiba-tiba, seperti ada kekuatan lain yang mengendalikan cuaca ini. Kegelapan yang datang begitu cepat menyelimuti kami, membawa ketakutan dan kebingunganku. Rekan-rekan di sekitarku pun terlihat kebingungan. Dalam keadaan seperti ini, komunikasi menjadi sangat krusial.
Aku segera mencoba menghubungi Kapten melalui HT yang tersambung dengan earphone di telingaku. Suara desingan yang menusuk seolah menjawab.
"Kapten, kok bisa begini?" tanyaku dengan nada panik, jantungku berdebar kencang.
"Aku juga bingung! Kenapa bisa begini!? Cepat buat formasi melingkar!" jawab Kapten dengan suara yang penuh perintah, namun terdengar ketegangan yang tak biasa.
""Siap!"" jawab kami serentak, meskipun jarak di antara kami semakin jauh, seperti sekat tak kasat mata yang memisahkan.