Dalam keheningan yang dingin dan hampa, rasa kekosongan merajai segala pikiranku. Semua terasa hampa dan tidak ada apapun yang aku rasakan, benar-benar kosong.
"Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" bisikku dengan suara merana.
Perlahan-lahan, kesadaran pun kembali, menemukan diriku terbaring dalam kegelapan, dan dikelilingi oleh keheningan yang mencekam. Dengan penuh kesulitan, aku berusaha bangkit dari posisi berbaring, duduk dengan bertongkat lutut untuk menopang tubuh di lantai yang dingin.
Tak lama kemudian, aku menyadari bahwa tempat ini mungkin adalah alam kubur. Sontak, aku melihat bahwa tubuhku tidak terbungkus oleh seutas benang pun. Namun, apa artinya malu dalam kondisi seperti ini? Di sini, aku hanya sendirian, berkelana dalam kesepian.
Dalam kegelapan ini, banyak pikiran bergelayutan di kepalaku. Aku merenungkan banyak hal, terutama semua penyesalan yang akan terus menghantui jika benar-benar mati. Terasa pahit sekali saat menyadari bahwa aku belum sempat memberikan penghormatan terakhir kepada Ayah-Ibu sebelum pergi selamanya.
"Maaf, Ibu, Ayah! Yudha, belum bisa membuat kalian bangga," ucapku dengan suara lirih, diiringi oleh kesedihan yang melanda hati.
Dalam gelap yang sunyi, aku menyimpan rasa penyesalan yang mendalam. Aku sudah siap untuk mati, entah dalam kondisi apapun sebagai seorang Prajurit. Satu harapan yang pasti, aku ingin mati dalam peperangan, bukan tewas dalam insiden konyol seperti tersambar petir tadi. Tapi apa daya? Takdir sudah terukir dan tak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya.
Dalam keheningan dan kegelapan itu, muncul sebuah pintu bercahaya dari kejauhan. Membuat mataku tertuju padanya, melupakan segala penyesalan yang berkecamuk dalam diriku. Begitu kuat daya tarik pintu itu, hingga langsung membuatku berdiri.
"Pintu apa itu? Apakah itu pintu menuju akhirat?"
Tanpa ragu, aku menghampiri pintu cahaya tersebut dan berhasil mencapainya. Saat melangkah semakin mendekat, kesadaranku perlahan memudar.
***
"Arghh... Kepalaku sakit banget! Heh, sakit? Loh, kok ada angin kenceng gini?"
Aku merasa kebingungan karena tubuhku diterpa angin yang begitu kuat. Aku berusaha untuk mendapatkan kesadaran kembali dengan membuka mata. Saat mataku terbuka, kaget tak terkira. Pandanganku kembali jelas. Aku masih terombang-ambing dalam keadaan terjun bebas di udara.